Minggu, 01 Juni 2008

Membunuh Televisi

Belum lama ini, Komisi Penyiaran Indonesia Pusat meminta masyarakat untuk mewaspadai 10 program acara yang dianggap bermasalah yang ditayangkan sembilan stasiun TV swasta nasional Indonesia.

Ketua KPI Pusat, Sasa Djuarsa Yahya, dalam jumpa pers di kantor KPI di Jakarta, Jumat, mengatakan 10 program acara TV tersebut yaitu Cinta Bunga (SCTV), Dangdut Mania Dadakan 2 (TPI), Extravaganza (TransTV), Jelita (RCTI), Mask Rider Blade (ANTV), Mister Bego (ANTV), Namaku Mentari (RCTI), Rubiah (TPI), Si Entong (TPI), dan Super Seleb Show (Indosiar).

Sasa mengatakan dari hasil pantauan KPI selama periode 1 - 13 April, 10 acara TV tersebut paling banyak melanggar Standar Program Siaran KPI, antara lain melanggar norma kesopanan dan kesusilaan dengan banyak menampilkan kekerasan, menampilkan kata-kata kasar, merendahkan dan melecehkan orang lain.

Acara variety show Super seleb Show di Indosiar, misalnya, dianggap terlalu menampilkan rangkaian kata-kata kasar, melecehkan dan merendahkan orang lain (secara khusus sering melecehkan orang dengan kelompok dan bentuk fisik tertentu), tidak memperhatikan norma kesopanan dan kesusilaan.

Sudah saatnya kita menjadi pemirsa yang bijak, yang dengan bijak ”membunuh” televisi dengan remote di tangan kita, bila kita menemukan acara-acara yang tidak bermutu dan tidak mendidik.

Kita sadar bahwa, televisi (TV) hadir sebagai salah satu media komunikasi elektronik yang mampu mengubah dunia dan kehidupan masyarakat manusia. Televisi sesuai dengan namanya berarti melihat jauh. Kemampuan melihat jauh yang dahulu dimonopoli ahli-ahli telepati kini menjadi milik semua orang. TV dianggap sebagai ‘kotak ajaib’ yang bisa menyederhanakan dunia ini menjadi begitu sempit dan transparan. Dunia seolah-olah hanya sebuah kampung besar. Manusia di pelosok desa Nangapanda, Ende, Flores dapat melihat apa yang sedang terjadi di pedalaman Kosovo, atau festival film di Cannes, Prancis. Setiap hari orang bisa mendengar dan memantau situasi dunia atau menyaksikan serpihan-serpihan kebrutalan aksi teroris di Amerika Serikat dan di Kuta, Bali. Lantas, adakah televisi sebagai media komunikasi telah menjawabi kebutuhan komunikasi manusia?

Adanya sebuah media komunikasi membawa serta berbagai tujuan dalam dirinya. Tujuan pokok sebuah media komunikasi adalah menyampaikan informasi secara efektif dan efisien serta berfungsi menyampaikan informasi mengenai ’kebenaran’. Kebenaran disederhanakan menjadi semacam kepercayaan yang dianggap masuk akal demi melanggengkan suatu kepentingan. Manusia tidak dapat menutup mata terhadap aspek positif TV.

Dengan adanya TV, dunia memasuki era baru, era elektronik. Dalam konteks ini, perubahan dirasakan sebagai suatu loncatan sebab tidak ada dasar pijak yang kuat. Ketika masyarakat kita belum terbiasa dengan budaya membaca, televisi menawarkan budaya instan, budaya menonton. Dan bagi anak-anak, TV menyebabkan kebuntuan untuk berkreasi. Apa yang disuguhkan TV, semuanya sudah terstruktur dan terprogram. Bukan tidak mungkin bila kreativitas dan imajinasi kita pun terbelenggu dalam struktur ini. Kita sering menjadi penjiplak yang setia. Hal ini menjadi lebih kompleks masalahnya, kalau tendensi menonton seorang anak terpenuhi dalam adegan-adegan asosial yang ditayangkan di TV.

Kehadiran TV dalam hidup manusia sungguh menebar pesona. TV telah menjawabi semua keinginan dan kebutuhan manusia. Ia menyediakan apa yang diharapkan dan dicita-citakan manusia. Sebagai ‘kotak ajaib’, TV menjadi salah satu keajaiban dunia yang menandai civilisasi dan humanisasi manusia. Pesona TV itu nampak melalui kemasan acaranya yang menarik, melalui iklan-iklan yang ditawarkan, melalui bahasa dan simbol yang menarik, mudah dimengerti dan menggugah. Dengan pesonanya, TV telah mendominasi komunikasi manusia. Ia telah mendapat tempat dan posisi strategis dalam tata ruang rumah tangga dan keluarga. Pesona TV yang begitu dahsyat melalui film, telenovela, sinetron, iklan, jurnalisme sangat mempengaruhi sendi-sendi kehidupan umat manusia. Dalam skala prioritas, TV telah menempatkan posisi urgen untuk ditonton dan dinikmati. Di rumah kita, televisi selalu ditempatkan di tempat yang strategis. Televisi telah menjadi pesona.

Pesona TV mewartakan satu kebenaran ini, TV meyakinkan manusia bahwa dia baik. Dia bukanlah suatu ancaman bagi manusia. Pesona ini begitu ampuh justru karena ia merasuki pusat rasionalisasi kita melalui rupa-rupa jalan yang mungkin dengan maksud untuk memikat kita secara sensoris, efektif pun kognitif. Pesona TV sangat menyentuh rasa dan membutakan proses analisis rasio. Seluruh panca indera kita dibuat bereaksi terhadap apa yang ditunjukkan. Afeksi kita ikut tersentuh. Pada umumnya rasio kita hampir tidak ikut bekerja pada saat kita berhadapan dengan program-program tertentu yang ditayangkan di TV. Akal kita baru berfungsi kemudian untuk memberi legitimasi bagi sikap dan perbuatan kita.

Hemat saya, latihan kesadaran ber-TV atau TV-Arwaraness perlu diadakan di dalam keluarga, sekolah dan kelompok-kelompok masyarakat. Latihan ini bertujuan mendidik masyarakat agar menjadi pembaca, mendengar, pemirsa yang aktif. Mereka diajar untuk mengiterpretasi isi media, membuat fokus dan bertanya manakah informasi yang baik dan negatif. Seirama dengan pandangan di atas, kita membutuhkan langkah-langkah praktis.

Pertama dan utama adalah selektif. Kita membuat klasifikasi acara mana yang bisa ditonton, artikel mana yang bisa dibaca, berita apa yang bisa didengar. Di sini urgensitas berita menjadi hal utama. Kita menonton TV dengan acara tertentu karena memiliki pijakan yang jelas. Kedua, tahu melihat prioritas nilai. Kecenderungan terbesar di kalangan generasi muda saat ini adalah kehilangan orientasi hidup yang berakibat pada tiadanya prioritas nilai dalam hidup. Waktu untuk menonton TV lebih banyak ketimbang untuk belajar. Prioritas itu penting karena ia seperti kompas yang mengatur arah kerja dan aktivitas.

Selain itu, sebagai pemirsa yang mengkonsumsi TV dan segala programnya kita mesti berlaku sebagai “penulis kedua”. Maksudnya, pengarang-pengarang acara, pengarah program dan mereka yang menampilkan iklan adalah “penulis pertama”. Mereka hadir dalam prespektif mereka sendiri, dalam hasil studi dan refleksi mereka ketika membaca kenyataan. Sikap kritis kita, kita tampil di sini bahwa tidak semua yang disajikan adalah “makanan bergizi” yang cocok untuk kita. Makanan boleh enak tetapi belum tentu bergizi. Makanan boleh enak, tapi kalau mengandung kadar lemak tinggi, kolesterol kita bakal naik. Itu menyebabkan kita mati muda. Karena itu, kita sendiri mesti memiliki ’preunderstanding’, sebuah pemahaman awal yang sudah ada sebelum menonton sesuatu. Dan kita berada di jalur ini: di satu pihak kita memiliki pemikiran kritis, di pihak lain kita menikmati sajian dalam sebuah konfrontasi yang terus-menerus. Ada suasana diskursus di sini, sebuah dialektika yang memampukan kita tidak duduk sebagai objek melainkan sebagai subjek yang terlibat di dalam sebuah wacana yang ditampilkan.

”Membunuh” televisi dalam pilihan kita untuk sejenak menyisakan waktu untuk membaca buku atau bercengkerama dengan tetangga, atau mulai belajar menulis. Membunuh televisi adalah pilihan. Mesin pembunuh televisi bernama remote controller ada di tangan Anda. Silahkan klik untuk membunuh televisi yang miskin pendidikan, yang miskin pengetahuan.

Salam,

Ferdinandus Setu

Tidak ada komentar: