Selasa, 03 Juni 2008

Mengiklankan Politik

MAKIN dekat pemilu, makin banyak iklan politik di koran dan televisi.

Kita mencatat ada tiga tokoh politik yang tengah melakukan aksi iklan politik yakni Sutrisno Bachir, Wiranto, dan Prabowo Subianto. Sutrisno Bachir, sang ketua umum Partai Amanat Nasional, tampil dengan iklan ”Hidup adalah perbuatan” dan ”puisi Chairil Anwar : sekali berarti sudah itu mati”. Wiranto, pendiri Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) hadir dengan iklan ”makan nasi aking” dan ”menagih janji SBY”. Sementara Prabowo Subianto, sang menantu mendiang Soeharto, tampil dengan ”himpunan kerukunan tani Indonesia”.

Banyak yang sinis dengan iklan politik. Ada yang berpendapat ”mereka telah mencuri start kampanye”. Ada yang berargumen ”percuma saja buang-buang duit untuk iklan, tak ada rakyat yang bisa dibuai janji manis lagi”. Bahkan rubrik Panji Koming di Kompas pernah mengkritik iklan Sustrisno Bachir, bahwa tidak tepat hidup adalah perbuatan, yang tepat: hidup adalah kelakukan. Memang sangat beragam tanggapan publik atas iklan-iklan para politisi ini.

Iklan politik selalu mengundang kontroversi. Menurut catatan saya, sejak pertama kali muncul di televisi tahun 1952, iklan politik selalu mengundang perdebatan, terkait etika dan hukum. Contoh, iklan politik Lyndon B Johnson tahun 1964, yang kondang disebut iklan “Bunga Daisy”. Dalam spot iklan ditayangkan seorang gadis cilik tengah memetik bunga aster (daisy) saat sebuah bom atom meledak dengan jamur api mahadahsyat membumbung tinggi. Iklan politik itu dimaksudkan untuk menyebarkan ketakutan rakyat mengenai kecenderungan Barry Goldwater, lawan politik Johnson, untuk memulai sebuah perang nuklir dengan Uni Soviet.

Iklan politik itu hanya ditayangkan sekali pada 7 September 1964 di televisi CBS sebab Goldwater mengancam menggugat Johnson dengan tuduhan fitnah dan pencemaran nama baik. Meski dicabut, iklan itu berulang-ulang ditayangkan dalam pemberitaan setelah kontroversi menjadi perdebatan publik. “Bunga Daisy” merupakan satu dari ratusan iklan politik sepanjang lebih dari 50 tahun sejarah perkembangannya. Iklan politik selalu menarik perhatian publik AS selama 13 kali pemilihan presiden, meski diperlukan uang luar biasa besar. Pada kampanye Pemilu 1988, tiap calon presiden mengeluarkan dana rata-rata 228 juta dollar AS untuk belanja iklan politik. Jumlah ini sekitar 8,4 persen dari biaya kampanye keseluruhan.

Belakangan, biaya iklan politik meroket. Sutrisno Bachir, melalui iklan hidup adalah perbuatannya dan puisi Chairil, konon, menghabiskan anggaran sebesar Rp 20 miliar. Kabarnya iklan Sutrisno Bachir yang juga pengusaha asal Pekalongan itu, digagas dan dieksekusi oleh Rizal Malarangeng. (Makanya Rizal menampilkan idolanya Chairil Anwar ke dalam iklan politik Sutrisno Bachir). Rp 20 milair, luar biasa besar. Setidaknya besaran angka yang sama harus dikeluarkan oleh Wiranto dan Prabowo Subianto. Pertanyaannya, bisakah uang sebanyak itu membeli suara? Kita tak tahu pasti. Hanya waktu yang bisa menjawabnya kekal, di dua ribu sembilan.

(Kita ingat baha iklan adalah media promosi produk tertentu, dengan tujuan produk yang ditawarkan terjual laris. Untuk itu iklan dibuat semenarik mungkin, sehingga terkadang dapat dinilai terlalu berlebihan, serta mengabaikan sisi psikologis, sosiologis, ekologis, dan estetika penonton atau sasaran produk yang diiklankan).

Kita ingat pula peristiwa perseruan antara Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Hatta Radjasa -mewakili kepentingan Presien Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)- dengan Wiranto terkait iklan Wiranto soal ”menagih janji”. Dalam iklan itu, Wiranto meminta agar SBY menepati janji untuk tidak menaikkan harga BBM. Tapi, menurut Hatta, SBY tidak pernah berjanji untuk tidak menaikkan harga BBM.

Iklan kini tidak lagi sekadar alat promosi barang dan jasa. Fungsinya pun telah bergeser dari alat marketing menjadi instrumen public relations (PR). Bahkan, kini fungsi iklan mendiversifikasi pula dari alat marketing produk barang komersial menjadi instrumen marketing politik. Instrumen yang terakhir ditujukan untuk mengangkat citra dan popularitas tokoh yang sedang berjuang dalam kompetisi politik.

Saat ini misalnya, selain Wiranto, ada Prabowo Subianto dan Soetrisno Bachir yang mengiklankan diri. Siapa pun bisa menduga bahwa iklan marketing politik mereka itu ditujukan untuk "menjual diri" agar citra dan popularitasnya meningkat. Tidak terlalu sulit menebak tujuan para tokoh itu beriklan. Untuk keperluan persaingan dalam pemilu legislatif 2009 dan pemilihan presiden 2009.

Karena iklan tokoh-tokoh politik itu terkait dengan upaya mereka untuk -diperkirakan begitu- menjadi calon presiden, sangatlah mungkin tema-tema iklan pada babak berikutnya akan menggunakan teks, tema, serta gambar yang isinya saling serang. Saling mengkritik. Bahkan, saling melontarkan kecaman untuk menjatuhkan popularitas lawan politik masing-masing.

Kita saksikan bahwa, kualitas pribadi tokoh, seperti postur fisik, kecakapan, hobi, prestasi, rekam jejak, dan kemampuan tertentu yang dianggap istimewa, bisa "dipromosikan" sebagai bentuk pencitraan diri. Sebagai tokoh yang berkapasitas dan berkompetensi untuk menjadi anggota parlemen, perdana menteri (PM), atau calon presiden.

Perbedaannya, jika dalam marketing produk bisnis dan industri ending yang diharapkan dari capaian iklan adalah naiknya omzet atau volume penjualan, dalam marketing politik, ending-nya adalah tercapainya dukungan politik melalui pemilu. Mungkin yang sama adalah harapan untuk meningkatkan image. Baik dalam marketing barang industri komersial maupun marketing politik, capaian lain yang tidak kalah penting diharapkan adalah image (prestise) dan popularitas. Yakni, image tentang merek dagang serta image dan popularitas pribadi tokoh.

Saya berpendapat, siapapun yang ingin melakukan aksi meningklankan dirinya, mengiklankan visi dan misi (juga gisi)-nya kepada publik. Namun perlu diperhatikan bahwa dalam iklan politik, seharusnya yang ditonjolkan adalah progam unggulan tokoh yang bersangkutan. Program politik unggulan itulah yang harus dikemas menjadi komoditas politik. Juga, citra diri, kredibilitas, kapasitas, serta kompetensi tokoh itu sebagai calon pemimpin politik, sehingga apa yang ingin disampaikan benar-benar ”sampai” ke benak dan hati publik.

Ingat, berapapun besar biaya yang dikeluarkan oleh para politisi untuk beriklan, jika tidak ditunjang oleh kemampuan diri, komptensi politik, jaringan politik, serta kekuatan hati nurani, saya yakin tak akan memenangakan hati rakya.

Ingat, rakyat dalam pemilihan presiden tahun depan, adalah hakim yang paling tepat untuk menentukan pilihanya. Sah-sah saja Anda beriklan, tapi yang penting: perhatikan dan dengarkan keluahan dan rintihan penderitaan rakyat.


Salam,

Ferdinandus Setu.

Tidak ada komentar: