Minggu, 01 Juni 2008

Menolak Uang

Sebuah tindakan marketing digelar, Minggu, 1 Juni 2008 di sebuah lapangan terbuka Serang, Banten. Konon, 100 juta rupiah dicurhahkan dari atas pesawat mini ke ratusan orang yang berkumpul di lapangan. Karena saya tidak melihat langsung pembagian uang tersebut, maka ada baiknya kita simak aja laporan wartawan Kompas berikut ini.

Ratusan warga Kota Serang, Banten, berebut uang yang dikabarkan senilai Rp 100 juta yang disebarkan melalui pesawat di Stadion Baladika, Group I Kopassus, Taman, Kecamatan Taktakan, Serang, Banten, Minggu (1/6/08), oleh motivator Tung Desem Waringin. Satu orang pingsan dan beberapa orang luka ringan karena berlarian memperebutkan uang.

Satu warga yang pingsan itu bernama Putri (13), dan langsung dilarikan ke Klinik Kopassus. Putri pingsan setelah berlari-lari mengejar satu lembar uang pecahan Rp 1.000. Salah satu warga yang luka ringan bernama Rian (19). Kuku jempol kaki pemuda asal Purwodadi, Semarang, Jawa Tengah, itu terkelupas karena terinjak-injak sepatu warga lain saat berdesakan. Padahal, dia hanya mendapatkan 30 lembar uang pecahan Rp 1.000.

Sementara itu, pesawat tiba di atas Taman Kopassus sekitar pukul 09.30. Petugas dalam pesawat itu langsung menyebarkan uang pecahan Rp 1.000, Rp 5.000, dan Rp 10.000, sejumlah voucher seminar, voucher pembelian barang, dan sebagainya. Ratusan orang, baik laki-laki maupun perempuan dan juga anak-anak, langsung berebut uang yang disebarkan di udara. Sebagian berlarian di dalam stadion, dan sebagian lainnya berusaha untuk mengejar uang hingga keluar stadion.Sebagian warga memperoleh uang puluhan ribu rupiah per orang. Salah satunya Itoh, warga Perumahan Taman Pesona, Desa Lialang, Kecamatan Taktakan, memperoleh Rp 50.000.

Ada juga warga yang mendapat uang hingga ratusan ribu rupiah. Salah satunya Tati, yang juga bertempat tinggal di Perumahan Taman Pesona. Dia tidak menyangka akan memperoleh segepok uang karena tidak berusaha lari mengejar uang yang disebar. ”Saya itu berdiri saja, enggak lari. Tiba-tiba ada uang segepok jatuh di dekat saya, langsung saya tiduri uang itu biar enggak diambil orang lain,” katanya. Setelah dihitung, jumlah uang yang didapat Tati mencapai Rp 700.000. Selain itu, dia juga memperoleh tiga lembar voucher senilai Rp 3,7 juta per lembar.

Meskipun demikian, banyak juga warga yang sama sekali tidak memperoleh uang. Salah satunya Jumenah, warga Kampung Gurunggui, Desa Lialang, yang datang bersama tiga anaknya. ”Sama sekali enggak dapat, pas lari anak nangis. Orang berebutan begitu,” tutur Jumenah saat berjalan pulang dari stadion.

Hingga penyebaran uang selesai sekitar pukul 10.15 masih banyak warga yang berkumpul di stadion. Mereka sengaja menunggu uang yang tersangkut di pepohonan.

Meski mengaku senang mendapatkan uang secara tidak terduga, warga menyesalkan cara pembagian uang. Menurut warga, seharusnya uang dibagi-bagikan dengan merata sehingga mereka tidak perlu berebutan.

Itulah laporan pandangan mata atau reportase wartawan Kompas yang dimuat pada Kompas, Senin, 2 Juni 2008. Saya sengaja mengutip berita ini secara lengkap, biar kita mendapatkan gambaran utuh atas peristiwa unik dan langka tersebut.

Ada pro dan kontra atas ulah sang motivator. Kita simak beberapa pendapat yang muncul di beberapa blog mengenai peristiwa ini. “….sepertinya nggak ada korelasinya antara bagaimana bukunya bisa laku..apalagi yang bakal rebutan duitnya justru bukan target segmen pemasarannya...” “…Yang pasti acara ini pake izin polisi, kalo enggak bisa ditangkep karena mengacaukan lingkungan...maklum rebutan duit”. “Terlepas tujuannya mau promosi atau ngga, i think it's sad..that somebody as smart as him can come up with such stupid idea, seriously”.Itu beberapa komentar para blogger, yang dapat saya himpun.

Aksi marketing Tung Desem Waringin dalam rangka promosi buku berjudul markeing revolution itu memang revolusioner. Tindakannya mengundang pro dan kontra karena ia memang melakukan aksi yang berhubungan dengan uang, duit, rupiah.

Kita tentu sepakat bahwa, uang ( money ), tentu saja tidak sekadar alat pembayaran yang sah atau sebagai alat tukar resmi di suatu negeri. Uang bagi masyarakat urban dan metropolitan merupakan simbol status sosial dan kesewenang-wenangan. Mungkin juga pertanda keserakahan dan kebinalan bermanipulasi. Ada yang berpendapat bahwa uang itu pendusta sejati! Dia pun pandai menipu, bahkan kepada dirinya sendiri. Dan, Tuhan sekalipun, tega diperdayainya. Saat ini, kita sepakat baha uang begitu berkuasa di Bumi ini.

Mar kita lihat pandangan para filsuf atas uang. Aristoteles (384-322 SM), sang filsuf Yunani Kuno yang pernah mengatakan “ It is better to pay a creditor than to give to a friend ”, dalam karyanya Nichomachean Ethics , menulis: “ Money has become by convention ‘money'—because it is exists not only by nature but by law (nomos) and it is in our power to change it and make it useless ”. Nilai uang itu tidak ditentukan secara kodrati, melainkan oleh hukum yang dibuat sendiri oleh manusia.

Fakta ini tentunya tak dapat dibantah. Dan, Aristoteles benar. Kita tentu masih ingat sejarah gejolak moneter yang pernah terjadi di Indonesia, bagaimana nilai rupiah berfluktuasi (naik turun) terhadap mata uang US$ (dolar Amerika Serikat). Peristiwa moneter ini sebagai akibat dari kebijakan pemerintah, baik dalam sanering (1959 dan 1966) maupun kebijakan devaluasi (1983 dan 1986). Dan nilai mata uang rupiah pun ditentukan oleh pemerintah, terlepas dari nilai intrinsiknya. Hukum pemerintah ( nomos ) memberi nama ( nomina ) kepada uang ( nomisma). Di sini, nomos memberi nomina kepada nomisma .

Georg Simmel (1858-1918), generasi pertama Sosiolag Jerman yang menghabiskan masa hidupnya di Berlin, adalah satu-satunya yang membahas uang (dari perspektif filsafat) dan menuliskan dalam buku monumental, Philosophie des Geldes ( The Philosophy of Money ; Filsafat Uang, 1900. Ia mengatakan
bahwa uang memperbesar kebebasan individu dalam masyarakat. Dan itu berarti uang memberi keleluasaan individu untuk, katakanlah, mengaktualkan diri. Uang memperluas lingkup sosial karena sifatnya yang impersonal, dan karenanya berhubungan dengan semakin ringannya kewajiban sosial. Kita dapat mengatakan bahwa dengan kepemilikan uang akan terjadi apa yang disebut sebagai “ leisure time ”, yang sebenarnya dapat mengaktualkan diri. Misalnya, tugas ronda malam—terutama menjelang Pemilu—yang merupakan salah satu “kewajiban sosial, kini dapat dihindari hanya dengan membayar sejumlah uang.

Terkait uang, ada adagium “ Time is money ” (waktu adalah uang), bagi mereka yang dapat memanfaatkan uang—bukan dimanfaatkan oleh uang; mungkin terjadi kebalikannya.
“ Money is time ”, uang adalah waktu. “ Money is time and energy ”. Kita tentu sepakat dengan apa yang dikatakan essayist Inggris, Samuel Johnson (1709-1784), “ Money and time are the heaviest burdens of life, and... the unhappiest of all mortals are those who have more of either than they know how to use ”.

Kita ingat bahwa “Vita est Militia” hidup adalah perjuangan. Demikian kata sebuah adagium Latin. Itulah hidup. Perjuangan dalam hidup adalah satu hal yang semestinya agar hidup ini layak untuk dihidupi. Perjuangan hidup selalu berkiblat dan berorientasi pada tujuan dari keberadaan manusia itu sendiri. Orientasi hidup manusia adalah kebahagiaan seutuhnya, jasmani-rohani, lahir batin. Karena itulah, manusia mengenakan dalam dirinya identitas makluk pekerja (homo faber). Kebahagiaan hidup diperjuangkan melalui kerja keras, membanting tulang, mencari nafkah dan berbagai aktus kultivasi manusia lainnya. Jadi, untuk mendapatkan kebahagiaan di bumi, kita perlu berjuang. Berjuang dalam pengertian sebenarnya, bukan berjuang mengejar kucuran uang dari langit yang disebarkan oleh Tung Desem Waringin.

Sikap saya atas tindakan Tung Desem Waringin mencurahkan uang dari atas langit kepada warga miskin adalah satu: Memberikan sebagian kekayaan kepada orang lain adalah tindakan yang sangat terpuji. Tapi sekali lagi, memberi demi gimmick marketing dan demi popularitas diri, sangat saya sesali. Apalagi di zaman yang lagi susah seperti ini. Jangan mencederai kemiskinan warga dengan tindakan yang tidak berhatinurani. Marketing yes, tapi jangan menciderai nurani orang miskin.

Mari menolak uang yang diberikan atas gimmick marketing. ( sebab kita dapat seribu rupiah, dia dapat jutaan rupiah). Mari menolak uang yang diberikan demi pamer diri. Mari menolak uang hasil korupsi.

Salam,

Ferdinandus Setu

Tidak ada komentar: