Minggu, 01 Juni 2008

Merindukan Pancasila

Pancasila. Satu, Ketuhanan Yang Maha Esa. Dua, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Tiga, Persatuan Indonesia. Empat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dan perwakilan. Lima, Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Itulah ingatan saya akan bunyi lengkap Pancasila, lambang dasar negara bangsa kita. Tepat 100 pesen ingatan saya ataukah ada beberapa bagian yang terlupan? Seandainya saya salah, saya tak sendiri. Harian Kompas, 1 Juni 2008 melaporkan hasil survei yang dilakukannya pada tanggal 28-29 Mei Mei 2008 melalui telepon pada 835 responden berusia 17 tahun ke atas yang dipilih acak dari Buku Petunjuk Telepon Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Medan, padang, Pontianak, Banjarmasin, Makassar, Manado dan Jayapura. Hasil survey Kompas tersebut menunjukkan bahwa 48,4 persen responden berusia 17-29 tahun menyebutkan kelima Pancasila salah atau tidak lengkap. 42,7 persen responden berusian 30-45 tahun salah menyebutkan kelima Pancasila. Responden berusia 46 tahun ke atas lebih parah, yakni sebanyak 60,6 persen yang salah menyebutkan kelima sila Pancasila.

Mari kita cek ingatan saya akan bunyi lengkap kelima sila Pancasila. Sila pertama benar : Ketuhanan Yang Maha esa. Sila kedua masih benar : Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Sila ketiga tetap benar: Persatuan Indonesia. Sila keempat salah telak. Sila keempat seharusnya berbunyi : Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Sila kelima benar : Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Ternyata sila keempat memang sila yang paling banyak dilupakan. Menurut survey Kompas, sebanyak 39,4 persen responden salah menyebutkan sila yang menjadi dasr kehidupan dsemokrasi tersebut. Sila pertama yang paling tepat disebutkan yakni sebanyak 81,6 persen. Hanya 12,3 persen yang salah menyebutkan.

Dalam tajuk rencana, edisi 2 Juni 2008, Kompas menulis bahwa Pancasila adalah sesuatu yang khas, luar biasa dan mendahului zamannya, suatu sintesis yang dihargai banyak negara. Pancasila adalah suatu faham demokrasi yang sekaligus mengamanatkan kesejahteraan dan keadilan. Bukan saja, kemanusiaan yang adil dan beradab tetapi sekalgius yang beriman. Kebebeasan beriman, kebebasan beragama menurut keyakinan masing-masing dalam kerangka sikap dasar saling menghargai dan menghormati.

Reposisi dan revitalisasi Pancasila akhir-akhir ini banyak disuarakan berbagai kalangan,. Di tengah berbagai kesulitan hidup, kusutnyas benang politik, dan terjangan globalisasi, semangat mencari lagi jiwa dan jati diri bangsa tampak menjadi opsi mujarab mengembalikan asas negeri. Lebih dari tiga perempat responden Kompas merindukan Pancasila, yang meninginkan perlunya dimulai kembali penataran Pancasila, tentu dengan konsep baru yang lebih menjawab persoalan zaman.

Benny Susetyo, Sekretaris Dewan Nasional Setara Institut dan Komisi Hak KWI, bertanya gundah : Masih Saktikah Pancasilan Kita? (Kompas, 2 Juni 2008). Romo Benny pantas bertanya, pantas gundah. Menurut dia, pancasila kita sedang menghadapi krisis multimensional. Pancasila kita tengah berhadapan dengan perilaku elite yang tidak peduli rakyat. Pancasila tengah menghadapi tantangan bagaimana membuat orang-orang beragama lebih toleran terhadap yang lain.

Bagi saya, Pancasila itu sebuah seruan untuk, Satu : tidak makan dan minum di muka umum ketika kawan-kawan saya yang Muslim berpuasa. Dua : berbagi rejeki dengan office boy dan security. Tiga : lahir di Flores, sekolah di Yogya, kerja di Jakarta, menikah di Banjarmasin. (Juga masih terharu tatkala mendengarkan lagu Indonesia Raya dikumandangkan). Empat : mendengarkan pendapat kawan dan lawan meski tidak sependapat. Lima : berbuat adil di rumah sendiri yakni berbagi kerjaan domestik dengan istri.

Pancasila, I Miss U.

Salam penuh rindu:

Ferdinandus Setu

Tidak ada komentar: