Minggu, 01 Juni 2008

Mencontohi Ali

Kali ini saya ingin berkisah tentang Ali. Bukan Ali Sadikin, sang mendiang Bukan Ali Murtopo. Bukan Ali Alatas. Mereka memang pantas diteladani di bidangnya masing-masing. Meski demikian, sudah banyak tulisan dan bahasan tentang mereka. Jadi saya tak mengangkat kisah mereka lagi untuk kali ini.

Ali.Lebih tepatnya Bapak Ali. Ia bukan siapa-siapa. Ia bukan pejabat yang layak diberitakan. Ia bukan pesohor layar kaca yang diinfotainmenkan. Ia hanya rakyat jelata biasa. Ia hanya seorang sopir taksi biasa. Tetapi berjumpa dengan dirinya, saya dibuat kagum, saya dibuat haru, saya dibuat termenung.

Bagaimana tidak! Ia tak punya jari tangan. Ya, saya tak salah. Pak Ali tak punya satu pun jari tangan. Sekali lagi, tak ada satu jari pun ia miliki. Ia cacat sejak lahir. Tapi ia pintar menyetir, ia pintar mengendalikan taksi. Saya tidak terharu karena ia cacat tetapi bisa menyetir mobil, padahal saya memiliki jari lengkap tapi belum bisa menjadi sopir. Bukan itu. Saya terkagum, karena ia tetap bekerja, ia tetap berjuang, bekerja siang malam, untuk menghidupi keluarganya. Terus terang di Jakarta selama dua tahun ini, saya baru sekali menemukan orang yang membuat saya kagum, membuat saya terharu, membuat saya termenung.

Kisah Pak Ali bebanding terbalik dengan wajah buram ibukota, wajah manusia-manusia sehat jiwa raga tapi miskin upaya, miskin usaha, miskin niat. Wajah pengemis jalanan. Wajah pencopet bis kota. Kita perhatikan di jalanan, banyak pemuda yang sehat jiwa dan raga lebih memilih menjadi pengemis dan polisi cepek yang kadang memaksa kita untuk memberikan ”sedekah”. Kita saksikan di angkutan kota, banyak pemuda sehat jiwa dan raga yang memilih mendapatkan uang dengan menjarah tas penumpang.

Saya berjumpa dengan Bapak Ali, Jumat, 30 Mei 2008, sebuah hari yang terik. Nasib mempertemukan kami. Sekali lagi hari begitu terik, ketika saya diminta atasan saya mengantarkan berkas ke gedung wakil rakyat di Senayan (eitsss...saya tak mengantar uang suap kok...hehehehe.) Biasanya kalau ke gedung anggota dewan yang terhormat itu saya selalu naik motor dinas,tapi hari yang terik memaksa saya untuk memanjakan diri : menumpang taksi ke senayan. Sopir taksi ke Senayan, seorang pemuda biasa, yang meski cukup sopan, ia belum layak jadi berita, soalnya ia sehat raganya, tak ada cacat. Ia seperti saya juga yang dianugerahi Tuhan kelengkapan organ raga.

Pak Ali, tokoh kita, adalah sopir taksi Senayan-Merdeka Barat. Seperti biasa, saya mencegat taksi yang lewat, masih di dalam kawasan gedung DPR, seperti biasa saya membuka pintu taksi, seperti biasanya saya mendudukan diriku ke kursi yang tersedia, seperti saya menyebut alamat tujuan saya. Tapi tidak seperti biasanya, ketika mata saya melihat tangan Pak Ali. Pertama saya kaget. (mungkin ada yang bilang, segitu aja kaget, Mas, tapi suer saya cukup kaget). Namun ketika, mobil mulai melaju menembus jalanan Jakarta, mengalirlah percakapan di antara kami.

Begini kisahnya. Pak Ali asli Wonosari, Yogyakarta. Ia merantau ke Jakarta sejak usia remaja. Sejak umur 25 tahun ia mulai menarik taksi. Ketika bertemu saya, usianya 55 tahun. Berarti 30 tahun sudah ia berjuang di jalanan, mengantarkan penumpang ke tujuan. Ia telah berkeluarga. Memiliki lima orang anak. Anak pertama sudah tamat SMA dua tahun silam, dan sekarang belum bekerja, sehingga masih tinggal di rumah. Anak kedua kelas 3 SMA. Anak ketiga kelas 1 SMA. Anak keempat masih duduk di bangku SMP. Anak kelima masih duduk (dan berdiri) di kursi SD. Meski harus menghidupi enam anggota keluarganya, Pak Ali tak pernah mengeluh, tak pernah menuntut. ”Hidup itu harus disyukuri, prinsip hidup kami orang kecil itu nrimo ing pamrih,” kata Pak Ali.

Tak pernah menuntut, tak pernah mengeluh. Satu hal ini yang membuat saya tertegun. Saya tertegun karena malu. Saya sudah diberi banyak kemudahan, sudah diberi banyak anugerah dari Tuhan, masih saja sering menggugat Tuhan: Ah Tuhan tak adil, ah Tuhan pilih kasih.

Telak. Pak Ali telah ”menampar” saya dengan teladannya. Ia tak mau minta belas kasihan orang atas cacat yang ia punya.

Ketika di Amerika berlaku ungkapan Thanks God Its Friday untuk menyambut akhir pekan yang menyenangkan. Maka hari ini, Jumat, 30 Mei 2008, saya pun bersabda : Thanks God Its Friday. Terima kasih Tuhan, karena hari Jumat ini Engkau mempertemukan aku dengan seorang teladan.

Terima kasih Pak Ali, terima kasih atas teladannya hari ini. (Ups kawan, meski saya pulang dari gedung Dewan, saya tak menemukan teladan sang wakil rakyat di sana, teladan itu justru datang dari rakyat jelata).


Salam,

Ferdinandus Setu

Tidak ada komentar: