Kamis, 22 Mei 2008

Menyandra Dewi

Saat ini, siapa yang tidak kenal Sandra Dewi. Perempuan cantik bernama lengkap Monica Nichole Sandra Dewi Gunawan ini telah menyihir publik Indonesia dalam beberapa bulan terakhir. Kecantikannya tak diragukan lagi, yang oleh sebagian penggemar kecantikan, wajah Sandra Dewi adalah gabungan paras ayu dua pesohor layar kaca : Marsya Timothy dan Dian Sastro.

Perempuan kelahiran Pangkal Pinang (Bangka Belitung), 8 Agustus 1983 ini mencuri perhatian publik lewat akting memukaunya sebagai Indah di Sinetron Cinta Indah yang ditayangkan SCTV pada akhir tahun 2007. Sebelumnya dikenal sebagai Lila dalam film bertajuk Quickie Express yang kocak itu. Sejatinya Sandra Dewi telah mebintangi beberapa FTV seperti FTV Kejamnya Dunia, FTV Hidayah, FTV Kasih sebelumnya. Kesuksesan Sinetron Cinta Indah menghantarkan dia kepada publisitas yang luar biasa. Ia kemudian kita lihat berakting di Sinetron Elang yang ditayangkan di Antv, terakhir kita lihat ia nampang di video klip Wonder Woman-nya Mullan Jamilah (bukan Mulan Jamidong).

Keikutsertaan Sandra Dewi di video klip Wonder Woman itu, tentu karena kencantikannya telah menyihir Ahmad Dani, pentolan group band Dewa yang juga pendiri Manajemen Republik Cinta. Dalam suatu wawancara dengan media infotainment, Ahmad Dani pernah mengatakan bahwa kecantikan Sandra Dewi sungguh luar biasa.

Ahmad Dani tak sendirian. Sebagian besar lelaki Indonesia juga mengagumi kecantikan paras putri pasangan Andreas Gunawan Basri dan Catharina Erliani ini. Perempuan bertinggi badan168cm dengan bobot 49kg ini benar-benar menyihir para pria. Para pria yang terhipnotis oleh kejelitaannya, kemudian melakukan aksi ”menyadra Dewi” ke dalam imajinasinya, baik itu imajinasi positif, maupun imajinasi liar yang berujung pada tindakan negatif.

Salah satu aksi negatif yang berpangkal pada keinginan untuk ”Menyandra Dewi” untuk hidup dalam imajinasi pria, adalah dengan melakukan croping foto asli Sanda Dewi dengan foto-foto bugil. Maka beredarlah ”foto-foto” panas yang berwajah Sandra Dewi dengan tubuh wanita lain. Foto-foto tak senonoh itu pun muncul ke publik dan sempat menghebohkan jagat hiburan Indonesia.

Kenapa Sandra Dewi? Foto iseng itu mungkin membuktikan bahwa saat ini perempuan lulusan London School of Public Relation itu yang ada dalam benak banyak lelaki. Dialah nama dan wajah yang menguasai imajinasi para lelaki lajang dan nonlajang. Setelah wajah, yang paling empuk untuk diimajinasikan tentu ”tubuhnya”, bukan?
Siapa yang salah? Ada yang mengatakan bahwa itu kesalahan Dewi Sandra sendiri. Seperti lirik lagu Iwan Fals: Salah sendiri kau manis, punya wajah teramat manis. Orang yang berpendapat demikian menyatakan bahwa karena kecantikannya lah, ia mendapat perlakuan tidak etis tersebut. Sebagian perempuan yang tidak beruntung dilahirkan sebagai ”yang cantik dan ayu” justru beruntung karena tidak direkayasa fotonya untuk kepentingan imajinasi liar para pria.

Kita masih bisa berbeda pendapat apakah selebriti yang fotonya direkayasa itu menjadi korban atau malah diuntungkan. Ada yang berpendapat bahwa, ada sebagian artis yang sengaja melakukannya supaya namanya terdongkrak. Ah, saya tak perlu menyebut namanya. Yang pasti si korban sebenarnya adalah kata “rekayasa”. Ya, kata tersebut maknanya rusak hancur berantakan. ”Foto itu rekayasa...”, kata orang yang kerap disapa pakar Telematika.

Kita gampang saja mendengar kalimat itu bahkan ikut mengucapkannya. Padahal ada kesalahan besar pada pemakaian kata rekayasa di sana. ”Rekayasa”, pada awalnya diperkenalkan oleh Pusat Bahasa sebagai terjemahan kata ”engineering”. Kata itu misalnya dipakai untuk mengalihbahasakan frasa ”biotechnological engineering” menjadi ”rekayasa bioteknologi” atau ”genetical engineering” menjadi ”rekayasa genetika”, atau ”social engineering” menjadi ”rekayasa sosial”.

Tidak ada nada miring pada kata rekayasa dalam frasa-frasa di atas, bukan? Tapi, kini kata ”rekayasa” kita temukan dalam kalimat ”wah, kasus itu sudah direkayasa”, ”ada upaya-upaya merekayasa jalan persidangan”, ”proses pemungutan suara itu sudah tidak murni lagi, ada pihak-pihak yang merekayasa...”Nah, kenapa ada nada negatif pada kalimat-kalimat itu?

Mari kita renungkan bersama. Sandra Dewi atau artis manapun, adalah perempuan-perempuan perkasa yang tidak mau hanya berada di belakang layar, mereka ingin membuktikan kepada dunia bahwa perempuan pun bisa berkarya. Mereka berkarya lewat akting mereka di layar kaca. Mereka tak ingin menjadi perempuan yang selalu ditempatkan sebagai sub-ordinat.

Lewat peran mereka, mereka sejatinya ingin menyuarakan bahwa sudah saatnya bagi kaum perempuan untuk berjuang merebut kebebasan berbicara termasuk kebebasan berpendapat. Mereka mesti keluar dan membebaskan diri sendiri dari pasung pembungkaman yang membelenggunya. Tibalah saatnya untuk perempuan berbicara, menyuarakan hal yang paling mendesak ini “Stop violence against women”. Ini berarti bahwa pengabdian yang diberikan tidak boleh sampai mengorbankan harga diri dan martabat yang berakibat pada penindasan. Pengabdian haruslah menciptakan kebebasan memperoleh peluang dan hak yang sama dengan lelaki. Maka redefinisi pengabdian seorang wanita itu mutlak perlu dibuat. Katakanlah reformasi pengabdian. Sudah saatnya kaum perempuan berbicara dan berjuang bukan dengan perang melawan laki-laki atau mempersatukan kekuatan untuk menghancurkan lelaki, juga bukan untuk membalas dendam atas mereka tetapi bekerja sama dengan kaum lelaki dalam membangkitkan suatu masyarakat yang tanpa hubungan dominasi dan eksploitasi jenis kelamin. Perempuan mesti berbicara atas namanya sendiri tentang segala hal yang menimpa dirinya. Jika tidak mau dikatakan penghianat. Sebab ada diam yang mengkhianati suara batin, harga diri dan martabat. Inilah diam sebagai penghianatan. Wanita tidak perlu terlalu berharap pada bicara lelaki. Kaum wanita hendaknya menjadi tuan atas dirinya sendiri.

Namun, kita, para pria, (atau sebagian dari kita) banyak yang tidak menerima wanita berkarya. Kita menjegal mereka lewat cara-cara kita yang tidak bijak. Hemat saya, salah satu cara untuk menjegal wanita berkarya adalah dengan tindakan merekayasa foto perempuan seperti yang terjadi pada Sandra Dewi di atas. Dengan keisengan yang berlebihan ini, justru membuat langkah perempuan untuk berkarya menjadi sedikit terhambat. ”Lebih baik saya di rumah, kalau ke rumah saya pasti akan dilindas para pria,” guman sebagian perempuan.

Kita tidak sadar, bahwa dengan menindas serta merendahkan wanita dan pengabdiannya, kita sebenarnya kehilangan bagian yang sangat penting dari kekayaan manusia, dari suatu kecerdasan yang dihayati dalam kehidupan, dari semangat nyata untuk berbagi dan bekerja sama, padahal semua masyarakat sangat membutuhkannya. Karena selama masih ada penindasan itu, kaum perempuan harus mempertahankan diri terhadap kekuatan perusak dengan menggunakan kekayaannya yang berwujud kemurahan hati, kesabaran dan ketekunan. Merekalah yang memiliki berbagai kemampuan dan tenaga yang sangat dibutuhkan oleh generasi mendatang.

Siapapun makluk di bumi ini tak dapat menyangkal dan memungkiri keagungan seorang perempuan. Untuk melukiskan citra agung itu, penulis Christanand dalam bukunya Membangun jati diri wanita mengutip tulisan Yosef Mindszenty menulis, “Orang yang paling penting di dunia ini adalah seorang ibu. Ia memang tidak memperoleh kehormatan telah membangun Katedral Notre Dame. Tidak perlu. Ia telah membangun sesuatu yang lebih hebat dari Katedral manapun, sebuah rumah bagi jiwa yang kekal. Bahkan malaikat pun tidak dianugerahi berkat macam itu. Mereka tidak dapat mengambil bagian dalam satu karya ajaib Tuhan menciptakan orang – orang kudus baru bagi surga. Hanya ibu yang dapat…”
Inilah sebuah pengakuan kebenaran yang tulus bagi keagungan seorang ibu yang juga seorang perempuan. Bila direnungkan lebih jauh, keagungan seorang wanita tidak saja terletak dalam aspek prokreasi tetapi dalam pengabdian yang total bagi kehidupan. Perempuan mengabdi karena cintanya pada seorang anak manusia yang dikandung, dilahirkannya, hingga saat ia melihat dan merasakan dunia dengan segala panorama keindahan serta pahit getirnya kehidupan.

Tempora mutantur et nos mutantur in illis (waktu terus berubah dan manusia pun berubah di dalamnya). Paradigma berpikir tentang perempuan dan pengabdiannya pun tak lepas dari imbas perubahan itu. Ia yang kita kagumi, agungkan, sayangi ternyata menyimpan bilur lama dalam sejara pengabdian manusia. Perempuan telah dan sering di perlakukan sebagai the second class, dipandang rendah dan tak berarti di hadapan budayanya sendiri, dalam dunia tempat anak- anaknya yang dilahirkan berdiam. Pertanyaan retoris buat kita, siapah yang menindas perempuan: lelaki? dirinya sendiri? atau pengabdiannya? Perempuan makhluk sejuta misteri yang tak habis dipikirkan dan dipersoalkan.

Banyak sudah ulasan dan reportase yang diterbitkan hanya untuk membahas siapakah perempuan dan kehidupannya. Tak jarang , semua hal di atas hanya merupakan perulangan pembeberan fakta tentang kekerasan yang di alami perempuan serta kuasa patriarkhi diatasnya.
Annie Lecrec dalam bukunya Kalau Perempuan Angkat Bicara mengupas secara lugas dan berani mengenai apa yang ia dan kaum permpuan umumnya rasakan dan alami sebagai sebagai bukti dan wujud pengabdiannya. Dikatakan bahwa “Jika kebajikan lelaki adalah kekuatan, maka kebajikan perempuan disebut pengabdian. Dan yang menindas perempuan sebenarnya bukanlah kekuatan lelaki melainkan kebajikan perempuan sendiri yang yang selalu dianggap sebagai bernilai tertinggi: Pengabdian.” Dengan demikian, segala tugas yang diserahkan pada perempuam entah sebagai kontruksi budaya seperti tugas kerumahtanggaan, mengasuh anak ataupun secara alami seperti melahirkan harus dilaksanakan melalui dan dengan pengabdian.

Sebuah pengabdian yang tidak datang dengan sendirinya tetapi terungkap dalam bentuk tanpah pamrih, kerepotan dan pengorbanan.
Kita pun bisa bertanya , pengabdian macam manakah yang menindas perempuan? Ketika pengabdian perempuan terpasung belenggu domestifikasi perannya sendiri, di sanalah terjadi penindasan perempuan. Ini berarti peran perempuan hanya dibatasi pada urusan seputar rumah tangga (tripel Sur: kasur, dapur, sumur). Akibatnya, perempuan kurang mendapat kesempatan untuk mengembangkan diri sehingga selalu termajinalisasi dalam kemajuan zaman. Kaum perempuan terlena dalam pengabdiannya sampai –sampai ia tak sanggup bicara tentang dirinya. Mereka terbuai angin tradisi yang sudah demikian jadinya. Tanpa disadari perempuan telah terperangkap dalam arus spiral pembodohan oleh pembungkaman yang melingkupi dirinya yang tentu merupakan ulah sebuah konstruksi sosial bernama patriarkhi.

Mari kita buang aksi kita dalam ”menyadra dewi”, menyandra kaum perempuan ke dalam pasungan ”rumah tangga”. Sebab wanita adalah ibu kita, wanita sejawat kita, wanita adalah sahabat kita.

Oh ya, sebelum menutup tulisan ini, saya ingin menyampaikan kabar duka kepada kita kaum pria, bahwa ternyata, Sandra Dewi yang jelita itu telah menikah. Lho kok? Dengan siapa? Masak Anda belum tahu?
Suaminya adalah Fredley Glenn. (Maaf, sekadar bercanda)


Salam,

Ferdinandus Setu

Tidak ada komentar: