Minggu, 18 Mei 2008

Meneladani Sophan

Sophan Sophian mendadak meninggalkan jagat Indonesia, Sabtu, 17 Mei 2008 akibat kecelakaan di sebuah desa di Ngawi, Jawa Timur. Ia telah pergi, agar kita yang hidup makin mencintai kehidupan. Mencintai kehidupan berarti tak takut dinyatakan berbeda dalam situasi apa pun. Sophan Sophian adalah teladan yang berani keluar dari pentas politik setelah menyaksikan dan mengalami sendiri bahwa politik yang dihidupkan di negeri ini adalah politik pentuh intrik, politik yang dijalankan demi kekuasaan semata.

Keteladananan Sophan itulah yang terekam dalam beberapa testimoni yang berhasil dirangkum Kompas Ketua Fraksi PDIP Tjahjo Kumolo menyebut Sophan sebaga pribadi pemegang teguh prinsip. ”Ia cukup unik, kala sudah punya prinsip, ya sudah,” kata Kumolo.

Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa bertutur : Sophan adalah tokoh nasional yang gugur saat sedang menjalankan tugas negara, yakni saat mengemban tugas dalam Kepanitiaan Nasional Peringatan 100 Tahun Kebangkitan Nasional. ”I sangat jujur dan konsisten memegang prinsip baik di dunia politik maupun di dunia seni. Rasa cinta tanah airnya tak perlu diragukan lagi, ” kenang Hatta.

Akbar Tanjung, Doktor Politik lulusan UGM berkomentar : Sophan sesorang yang memiliki idealisme dan jiwa nasionalisme tinggi. Rekan Sophan, Eros Djarot bertestimoni : Ia pribadi Luar biasa dan memegang teguh prinsip.Slamet Rajardjo Djarot punya ungkapan senada : Ia benar-benar putih, putih di hati, putih di ucapan. Itu yang membuat saya kagum dan cemburu

Untuk diingat kembali, sebelum terjun ke dunia politik, Pria kelahiran Makassar, 26 April 1944 itu, menjadi anggota Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pada tahun 1991. Suami Aktris Widyawati ini ini sempat menjadi Ketua UU Parfi (1977-1980) dan Sekjen parfi (1987-1988). Pada tahun 1999, Sophan menjadi Ketua DPP Partai PDIP dan terlilih sebagai ketua fraksi PDI Perjuangan DPR (1999-2004). Sebelum jabatannya berakhir, Sophan mengundurkan diri dari Ketua FPDIP dan angkat kaki dari Senayan. Keputusan mundur ia ambil setelah ia memlihat banyak yang tidak beres di lembaga parlemen itu. Ia menilai kebijakan partai banteng moncong putih sudah tidak sejalan lagi dengan idealismenya untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. Ia kecewa melihat banyak kaum opportunis di lembaga perwakilan rakyat itu.

Apa yang perlu kita teladani dari seorang ”Letnan Harahap” ini? Pengunduran diri Sophan dari PDIP pada tahun 2002 membuktikan bahwa partai politik saat ini masih sibuk dengan urusan mendapatkan kekuasaan dan lupa melaksanakan perannya sebagai sarana pendidikan politik bagi anggotanya dan masyarakat luas.
Untuk mendeteksi kerancuan arah partai politik itulah, kita perlu mengemukakan empat pathologi sosial ketika memotret demokrasi di Indonesia dalam era reformasi. Pertama, hilangnya rasa saling percaya antara berbagai kelompok kekuasaan sosial politik di dalam masyarakat. Kedua, kecenderungan menggunakan kekuatan massa untuk memenangkan bargaining politik. Ketiga, munculnya otoritarianisme populis dalam percaturan politik dan relasi-relasi kekuasaan yang semakin mempersulit proses pembangunan politik sebagai sistem. Keempat, berkaitan dengan demokrasi sebagai nilai, terlihat para aktor politik ibarat hanya memenuhi sebuah undangan dalam suatu resepsi yang segala sesuatunya telah dipersiapkan, dan di sana ia cuma duduk patuh tanpa kritik.

Potret pathologi sosial ini nampak juga dalam kehidupan partai politik. Dan boleh jadi, partai politik saat ini menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya pathologi sosial itu, karenanya Sophan hengkang dari PDIP. Hal ini terjadi karena parpol tidak berjalan sesuai arah dan tujuannya melainkan menyimpang oleh kepentingan sesaat pihak-pihak tertentu.

Peran Parpol

Secara konseptual, agar mampu memainkan perannya dalam penegakan demokratisasi, maka partai politik setidak-tidaknya harus mampu memainkan beberapa fungsi, antara lain: pertama, sebagai sarana komunikasi politik. Dengan fungsi ini partai politik harus mampu berperan sebagai penyalur aspirasi pendapat rakyat, menggabungkan berbagai macam kepentingan (interest aggregation), dan merumuskan kepentingan (interest articulation) yang menjadi dasar kebijakannya.

Kedua, sebagai sarana sosialisasi politik. Dengan fungsi ini partai politik harus mampu berperan sebagai sarana untuk memberikan penanaman nilai-nilai, norma dan sikap serta orientasi terhadap fenomen politik tertentu. Upaya parpol dalam sosialiasi politik antara lain meliputi penguasaan pemerintah dengan memenangkan setiap pemilu, menciptakan image bahwa ia memperjuangkan kepentingan umum, dan mampu menanamkan solidaritas dan tanggung jawab terhadap para anggotanya maupun anggota lain (in group dan out group).

Selain dua fungsi ini, fungsi yang ketiga adalah sebagai sarana rekruitmen politik. Dengan fungsi ini parpol mencari dan mengajak orang berbakat untuk turut aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota partai, baik melalui kontak pribadi maupun melalui persuasi. Fungsi keempat, sarana pengatur konflik. Parpol berfungsi mengatasi berbagai macam konflik yang muncul sebagai konsekuensi dari negara demokrasi yang di dalamnya terdapat persaingan dan perbedaan pendapat (Muhammad Zaenuddin: 2004, 121).

Berdasarkan uraian fungsi parpol di atas, rakyat tentu sangat mengharapkan agar parpol menjadi aktor yang baik dalam proses demokratisasi di negara ini. Artinya, parpol mesti menjadi pisau bedah bagi fenomen pathologi sosial yang kian menggejala di republik ini. Bahkan untuk semakin memperjelas dan mempertegas fungsi parpol, UU No.31 Tahun 2002 tentang Partai Politik menggariskan beberapa fungsi partai politik sebagai sarana:

Pertama, pendidikan politik bagi anggotanya dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Republik Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kedua, menciptakan iklim yang kondusif dan program konkrit serta sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa untuk menyejahterakan masyarakat. Ketiga, penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat secara konstitusional dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara. Keempat, partisipasi politik warga negara dan kelima, rekrutmen politik dalam pengisian politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan gender.

Pengunduran diri Sophan Sophiaan dari kancah PDIP pada tahun 2002, dan kembali kita kenang kini, tentunya patut menjadi pelajaran yang berarti bagi partai politik di negeri ini, yang konon menurut data Departemen Hukum dan HAM terakhir telah mencapai 40 partai.

Setiap kematian, selalu mengingatkan saya pada kata-kata Yukio Mishima (1925-1970) : ”If we value so highly the dignity of life, how can we not also value the dignity of death? No death may be called futile” . Dengan pernyataan itu, Mishima mau mengatakan bahwa apresiasi yang kita berikan pada kehidupan seharusnya berlaku sama pada kematian, karena kematian selalu membawa makna dan bukan hal yang sia-sia. Kematian Sophan bukanlalah hal yang sia-sia jika kita memaknai kematiannya sebagai awal dari perjuangan kita untuk membela kehidupan ini. Kematian hanyalah situasi batas, bukan situasi akhir. Sophan sudah terbatas bagi kita secara fisik, tetapi ia tidak pernah berakhir untuk kita.
Seperti yang dituliskan seorang feminis, Virginia Woolf, kepada Leonard, suaminya sebelum ia menenggelamkan dirinya, “…ada yang harus mati, agar kita semua bisa menghargai hidup.” Saya yakin, Sophan ingin agar kita memaknai kepergiannya seperti itu. Dan mau menunjukkan kepada kita bahwa hidup bisa menjadi sesuatu yang mewah, manakala kita telah berhenti menebarkan harapan dan membiarkan mesin kekerasan terus menggerus rasa kemanusiaan kita. Sophan Sophian, memang bukan sekadar nama. Di dunia lain pun ia tetaplah seorang demokrat tulen dan nasionalis sejati.


Rest in Peace, beristirahatlah dalam damai.

Salam,

Ferdinandus Setu

Tidak ada komentar: