Kamis, 15 Mei 2008

Menatap Perssik

Beberapa pekan lalu, Dewi Perssik, penyanyi dangdut yang terkenal dengan goyang gergajinya itu dilarang ’manggung’ di wilayah Tanggerang. Larangan itu disampaikan langsung oleh sang wali kota Tangerang : Wahidin Halim. Kontroversi pun merebak. Ada pro dan kontra atas larangan sang pemimpin kota tangerang tersebut. Bagi pihak yang pro Walikota, berpendapat bahwa performance sang biduanita Dewi Perssik sudah kelewat batas, sudah terlalu vulgar, dan sudah selayaknya dicekal, sudah selayaknya disensor. Sedangkan pihak yang kontra dengan Walikota, berargumen bahwa tindakan walikota berlebihan, Dewi Perssik tidak bisa disalahkan, dia hanya menjalankan profesinya sebagai penyanyi dangdut. Eksistensinya diakui oleh konstitusi. Dalil : ”setiap orang bebas memilih pekerjaan” (termasuk pekerjaan sebagai penyanyi dangdut) sebagai salah satu butir hak asasi manusia pun disampaikan.

Ada juga pihak yang pro Dewi Perssik yang berpendapat bahwa
“goyangan Dewi” itu menyehatkan. Bukan tidak mungkin goyangan ngebor itu bisa menguatkan otot pinggang dan melangsingkan tubuh. Secara klinis boleh diamini. Apalagi untuk saat ini kita hampir sulit menemukan batas demarkasi antara bergoyang (dangdut, disko, triping) dengan olahraga. Karena “orang” sering berolahraga dengan bergoyang/menari. Bila secara klinis hal ini merupakan sebuah anjuran, kita pun bertanya: apakah secara etis goyang gergaji ala Dewi Perssik’ masih termasuk kategori sehat? Mari kita sedikit membedah fenomena Dewi Perssik ini dengan pisau analisis filsafat dan hukum.

Boleh dikatakan bahwa fenomena ini adalah setitik hitam dari kekelaman sejarah inferioritas kaum hawa. Ada berbagai media massa dan media elektronik yang mengeksploitasi tubuh perempuan. Walau ditampilkan dengan berbagai alasan hingga dengan dalih yang begitu human sekalipun, namun secara etis moral patutlah dipertanyakan. Patut diingat bahwa suatu tindakan akan bernilai etis atau tidak tergantung pada ada atau tidaknya pribadi lain yang menyaksikan dan menilai. Di dalam kamar seorang diri kita dapat duduk dengan berbagai posisi. Namun hal yang sama tidak dapat dibuat dalam kendaraan umum. Yang melakukannya akan dinilai tidak etis. Demikian pun goyang gergaji ala Perssik menjadi soal ketika ia berani mengeksplorasi tubuh dalam gerakan dan goyangan mautnya yang menggoda di hadapan massa. Memperdebatkan Dewi Perssik memang tidak habisnya, apalagi soal goyangnya. Namun, atas peristiwa seperti ini sebuah proses dan tindak pemaknaan sudah semestinya dibuat demi menyelamatkan generasi masa kini dan mungkin bagi generasi pasca-Perssik.

Setiap hari kita membaca di surat kabar atau mendengar siara televisi mengenai tindak kriminal pemerkosaan dengan berbagai sebab. Mungkin tidak sedikit yang terpaksa harus “didiamkan” karena berbagai alasan. Yang selalu menjadi korban pemerkosaan tentulah kaum perempuan. Sulit memang memungkiri hal ini. Namun, pada tataran ini kita berusaha untuk selalu melihat setiap kemungkinan yang bisa menyebabkan terjadinya perkosaan.

Dari dulu masalah pelecehan seksual terhadap kaum perempuan sudah ada. Hanya saja karena perkembangan media massa, maka baru bisa dipublikasikan dan ditonjolkan saat ini. Perempuan selalu dipandang sebagai objek seksual pria. Hal ini menjadi suatu ekses bila kaum perempuan sendiri yang menciptakan kemungkinan bagi terjadinya tindak perkosaan. Seperti dengan mengenakan pakaian yang super mini atau membuat gerakan yang merangsang dan menggoda lawan jenisnya.

Acapkali justru kaum perempuanlah yang dianggap mengundang pria untuk menggoda, sebagaimana goyang gergajinya Dewi Perssik, atau goyang patah-patahnya Anissa Bahar. Perempuan yang mengenakan baju seksi dan bergaya ala artis Barat sering dibilang menggoda. Ternyata, merupakan hak kaum perempuan untuk mengenakan apa yang dikehendaki. Hak kaum perempuan untuk menonjolkan segi feminisnya. Namun haruslah selalu diingat ada hak ada pula risiko. Memang ada pria yang mengatakan bahwa ia terangsang karena si perempuan mengenakan baju yang seksi atau rok mini atau gerakan-gerakan tertentu. Terangsang boleh-boleh saja. Tetapi manusia bukan binatang yang langsung kawin begitu mengenal birahi. Ada norma-norma yang harus ditaati. Namun apakah saat kadar ketergodaan dan rangsangan itu datang, orang masih bisa mengendalikan diri dan mengontrol emosi?

Ketika Dewi Perssik mengguncang pangung dengan goyangan mautnya, mungkin tak disadari bahwa ribuan pasang mata menyaksikan aksinya. Pada saat ini terjadilah momen tatapan. Jean Paul Sartre seorang filsuf eksistensialis jauh-jauh hari telah menelorkan sebuah teori yang disebut Teori Tatapan Mata. Saya menatap orang lain dan saya berusaha untuk tidak ditatap olehnya. Namun orang lain juga sama halnya. Ia menatap saya dan berusaha supaya tidak saya tatap. Jadi saya berusaha menatap tanpa ditatap oleh orang lain. Dan orang lain juga berbuat hal yang sama. Yang terjadi adalah bahwa saya dan orang lain itu mau saling mengobyekkan. Saya menjadikan dia obyek saya, dengan demikian dia juga berusaha mengobyekkan saya. Saya sebagai subyek akan berusaha menjadikan orang lain sebagai obyek tatapanku. Di dalamnya terjadi aksi saling mengobyekkan. Namun saya tidak mau menjadi obyek, maka saya akan memperlakukan orang lain sebagai obyek melulu dengan cara apapun.

Dalam kasus Dewi Perssik, menjadi jelas bahwa ia adalah obyek tatapan ribuan masang mata, dan lebih dari itu ia dipandang sebagai obyek seksual yang pelampiasannya bisa saja pada sesamanya yang lain, yang mungkin inosens namun karena adanya adalah seorang perempuan. Situasi diperparah katika orang yang diperlakukan sebagai obyek tidak menyadarinya bahkan apatis demi kepentingan lain seperti reputasi, prestise dan tentu saja duit. Dewi Perssik adalah korban tatapan. Tatapan mengobyekkan perempuan merupakan sebuah bentuk perendahan fitrah dirinya. Fenomena Dewi Perssik adalah sebuah representasi dari begitu banyak perempuan yang menjadi korban tatapan, yang menjadi obyek kaum lelaki. Ketika kita berbicara tentang perempuan di titik nol, maka menjadi jelas bahwa titik nol adalah situasi pengobyekkan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan. dan tubuhnya dijadikan obyek eksploitasi demi hiburan, bisnis, kesenangan lelaki. Perempuan seringkali tidak berani menatap ketika lelaki menatapnya. Pada titik inilah ia sebenarnya melegalkan status inferior dirinya sebagai obyek dalam konstruksi kultur dan pemikiran lelaki.
Senada dengan hal ini, relasi subyek-obyek juga menjadi salah satu pokok pemikiran Martin Buber. Menurutnya, relasi yang melihat orang lain sebagai obyek semata adalah sebuah relasi berpola Ich-Es atau I-It. Dalam relasi ini selalu ada upaya untuk memiliki, memonopoli, mengeksperimentasi pihak lain sebagai barang atau benda. Erich Formm, membahasakan hal ini sebagai modus memiliki (having). Perempuan belum menjadi dirinya sendiri (being). Ia justru baru menjadi berada ketika ditentukan oleh pihak lain atau oleh kepemilikan orang lain.
Di lain pihak, ketika kita terlibat dalam aksi saling tatap, sadarkah kita bahwa kita sedang diobyekkan pihak lain? Sulit memang menilai hal semacam ini, ketika kita selalu melihat sesuatu berdasarkan pemahaman diri subyektif. Namun, fakta serupa ini jelas ada. Dalam aksi goyang gergaji Dewi Perssik, kita boleh jadi telah menjadi obyek tatapannya. Kita begitu luluh lantak di hadapan sorot matanya. Inilah situasi obyektivitas diri kita. Kita begitu pasrah menuruti emosi dan mungkin naluri. Ratio kita menjadi kurang aktif, ungkapan-ungkapan perasaan sulit dikendalikan, kita menjadi seperti orang mabuk, sulit membedakan mana yang layak dan mana yang tidak layak, yang baik dan yang buruk, mengikuti segala gerak dan apa yang dikatakannya, apalagi kalau sampai mengidolakan Mantan Istri Saiful Jamil tersebut menguasai kita, pun kalau pikiran kita cuma terisi olehnya, kita terbelenggu dalam pengaruhnya. Dia adalah subyek, bukan lagi obyek. Kita tidak mampu menjadi seperti orang lain, seperti Dewi Perssik, bergaya, bergoyang seperti Dewi Perssik. Kita membiarkan diri dibentuk oleh orang lain. Artinya orang lain menguasai kita, memiliki kita. Dewi Perssik telah memiliki kita kalau dirinya menjadi tujuan dan orientasi hidup kita. Dewi Perssik, sebuah paradoks tatapan kita.
Tatapan saya, tatapan kita telah mendatangkan kegelisahan dan kecemasan ketika benturan relasi subyek-obyek tidak dapat dihindari. Kegelisahan mendalam itu berlanjut saat kesadaran setiap kita dibenturkan pada fenomen kematian realitas budaya. Budaya kita mulai permisif, yang menerima semua pengaruh baru atau pengaruh dari luar tanpa filter. Kaum futurolog telah meramalkan kondisi seperti ini sebagai hasil modernitas, ketika ia berkembang terlampau pesat. John Naisbitt menempatkan manusia modern dalam zona yang ditandai oleh adanya hubungan yang rumit dan sering bertentangan antara teknologi dan upaya manusia mencari makna hidupnya.
Dalam bukunya High Tech High Touch, ia menuliskan beberapa gejala manusia mabuk teknologi, seperti lebih suka menyelesaikan masalah secara kilat, mengaburkan perbedaan antara yang nyata dan yang semu, menerima kekerasan akibat teknologi sebagai suatu yang wajar, menjadi hidup yang berjarak. Sadar atau tidak, kita semua tengah digiring ke sebuah situasi mabuk teknologi. Banyak di antara kita yang telah menjadi korban teknologi. Kita menjadi seperti orang mabuk karena teknologi. Teknologi dan modernitas telah memposisikan kita sebagai hamba saat kita menjadikan mereka sebagai orientasi dan tujuan hidup (means), bukannya sebagai sarana (tools) untuk mencapai tujuan hidup itu sendiri. Teknologi telah memperalat manusia dan menjadikannya teralienasi dengan diri, sesama dan lingkungannya. Perkembangan individu dipengaruhi oleh kemajuan dunia elektronik seperti televisi, VCD, internet, yang telah banyak mengeksploitasi tubuh perempuan untuk kepentingan bisnis. Kekerasan terhadap perempuan ditampilkan secara transparan. Ada pemerkosaan yang justru berawal dari menonton blue film yang kini banyak dijual kepingan-kepingan CD-nya secara bebas di lorong-lorong kota tanpa pengawasan yang ketat. Kita adalah korban teknologi ketika tatapan kita selalu mengandung upaya pelampiasan nafsu birahi tanpa sebuah pengendalian yang sehat. Fenomena Dewi Perssik bisa menjadikan kita korban teknologi, korban tatapan.

Lalu salahkan Walikota Tangerang mencekal Dewi Perssik untuk tampil di wilayahnya. Tentu tidak, seara hukum, Kota Tanggerang telah memiliki Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur kesusilaan. Tentu larangan sang walikota tidak hanya ditujukan kepada Dewi Perssik seorang. Bahasa hukum adalah generalis. ”setiap orang dilarang bla bla bla....” atau ”barang siapa yang.....”. Tentu Walikota Tangerang tak ada persoalan pribadi dengan seorang Dewi Perssik. Persoalan goyangan maut Dewi Perssik adalah persoalan hukum, persoalan etika, persoalan moral, yang tentu memerlukan jawaban hukum, jawaban etika, jawaban moral juga.


Salam,

Ferdinandus Setu

Tidak ada komentar: