Kamis, 15 Mei 2008

Menyelami "Memberi"

Pada suatu pagi di bulan Mei, sebuah bungkusan-rapi tiba di ruangan kantor kami yang tak lagi sepi. Seorang petugas Tiki, menghampiri meja seorang ibu pegawai negeri dan menyampaikan: selamat pagi, terima bingkisan ini, tanda tangan di sini. Si pemuda bercelana jins segera angkat kaki. Sang ibu yang kebetulan bernama Kartini segera memeriksa bingkisan dengan teliti. ”Ahai ini ada pemberian dari kawan karib, makanan serba manis, yang harganya cukup selangit”. Kami datang menghampiri dan mulai menikmati. Sang ibu Kartini berdiri dan bersabda sekali lagi : ”Kawanku pantas memberi, dia bergaji sangat tinggi”. Saya diam bagai terpaku mati mendegar sabdanya yang terakhir. Tak terima, saya pun berdiri menatap pasti ke mata ibu berpakaian safari ini, dan keluarlah sebait puisi : ”memberi adalah memberi, memberi tak terkait gaji tinggi, meski bergaji tinggi, kalau pelit ya pelit, ia tak akan berbagi, memberi ya memberi, meski miskin, kalau berniat memberi pasti dilakoni”. Saya diam dan kembali ke kursi, dan kembali mengetik.

Apa arti memberi? Mari kita telisik siji demi siji. Pada bagian kelima kitab Sang Nabi, Khalil Gibran, sang penyair-sufi berpuisi tentang Pemberian-Giving. ”Tidak banyak berarti, bila kita memberi dari harta kita sendiri. Bila kau memberi dari dirimu sendiri, itulah pemberian yang penuh arti”.

Gibran ingin menasihati, harta atau gaji bukanlah esensi dari memberi. Memberi itu mesti niat dari hati. Memberi diri. Memberi senyum lewat bibir. Menyapa kawan dan musuh sejati dengan ucapan: selamat pagi.

Lebih lanjut sang penyair sufi ini merangkai syair : ”Orang yang menumpuk harta duniawi, seperti anjing kikir yang menimbun tulang di bawah pasir. Apa artinya? Karena toh nanti si anjing harus melanjutkan perjalanan bersama musafir tuannya ke kota suci.”

Menyelami arti memberi, saya teringat salah satu cerita sang nabi Isa Almasih yang terpatri di dalam kitab injil. Ada dua warga Yahudi datang ke bait suci untuk menghadap sang Ilahi. Yang satu janda miskin, yang lain orang Farisi. Si janda miskin memasukkan 2 koin sebagai upeti, secara sembunyi, kepada sang ilahi. Sementara si farisi mengambil duit dari peci sejenak menjentikkan jari seakan menunjukkan ke khalayak ramai bahwa dia memberi lebih dari janda miskin.

Kepada dua belas murid, sang nabi pun bertanya retorik : siapa dari kedua orang ini yang upetinya diberkati sang ilahi? Dua belas murid tidak bisa memberi jawaban pasti, mereka tak bisa membuka bibir, mulut mereka terkunci rapi. Sang Nabi pun menjawab sendiri : upeti si janda miskin-lah yang berkenan di hati penghuni surgawi, sebab ia memberi dari hati, memberi dari sedikit yang ia miliki. Upeti si farisi dijauhi sang Ilahi karena memberi demi pamer diri yang berlebih. Si Farisi hanya memberi sedikit dari harta dan gaji-nya yang selangit.
Dua belas murid pun menyimpan di hati nasihat-bajik dari sang guru sejati untuk bekal hidup mereka nanti di kemudian hari, saat sang guru pergi menuju takhta-surgawi.

Setelah menyelami arti memberi, anda masih punya nyali untuk memberi demi gengsi dan pamer diri?

Salam Sejati,

Ferdinandus Setu

Tidak ada komentar: