Rabu, 21 Mei 2008

Menyaksikan Kebangkitan

Lur biasa. 10 Televisi Nasional dan 50 televisi lokal menyiarkan kebangkitan, menyampaikan kepada seluruh pelosok nusantara, sebuah pagelaran akbar bertajuk: Indonesia bangkit, Indonesia Bisa, pada Selasa, 20 Mei 2008. Luar biasa. Selama 90 menit tanpa jedah, dari pukul 19.00 hingga 21.00, setidaknya 250 juta penduduk Indonesia tertuju ke lacar kaya, menyaksikan sebuah pesta akbar satu abad kebangkitan nasional. Luar biasa. Lebih dari 30.000 anak bangsa terlibat dalam pertunjukkan agung mengenang kembali perkumpulan agung : Boedi Utomo 100 tahun silam, yang menjadi cikal bakal persatuan dan kesatuan Indonesia. Sembilan puluh menit penuh sensasi, sembilan puluh menit yang membangkitkan nasionalisme, sembilan puluh menit yang menghipnotis untuk tidak beranjak pergi dari depan televisi.

10 Televisi Nasional dan 50 televisi lokal menyiarkan kebangkitan. Saya menyaksikan kebangkitan nasional. Istriku juga menyaksikan kebangkitan negeri ini. Anda juga telah menyaksikan kebangkitan yang sama, menit demi menit.

Menit pertama. Pengarah acara Tantowi Yahya dan Maudi Kusnaidi membuka pagelaran, sembari menyerukan Indonesia Bangkit, Indonesia Bisa, Indonesia Jaya. Mata saya menatap layar kaca dengan seksama, memperhatikan siapa saja yang datang di Senayan.

Menit kedua. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berserta Ibu Ani Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Nyonya Mufidah Kalla memasuki tribun utama, lalu melambaikan tangan kepada seluruh warga Indonesia, baik di Senayan, maupun di rumah. Mata ini terus menatap layar kaca, namun dari samping, istriku menggerutu : Lihat Presidenmu itu, hanya bisa tersenyum, hanya bisa tersenyum.

Menit ketiga dan menit keempat. Lima penerjun payung dari unsur sipil, polisi, angkatan udara, angkatan darat dan dan angkatan laut mempersiapkan peralatan dan perlengkapan (sepertinya adegan persiapan ini telah dishuting sebelumnya). Saya masih menatap layar kaca, istriku kembali menggerutu: ah paling nanti ada penerjun payung yang jatuh.

Menit kelima. Penerjun payung dari kalangan sipil mulai terlihat di langit Senayan. Jantungku berdegup kencang dan aku pun berdoa : jangan sampai jatuh, jangan sampai jatuh. Kalau jatuh apa kata dunia. Sejurus kemudian, sang penerjun kita mendarat tepat di karpet warna merah yang telah disediakan. Sebuah pendaratan yang sangat indah. Dada ini lega, hati ini senang. Istriku cemberut, si sipil tak jatuh.

Menit keenam hingga menit ke sembilan. Berturut-turut, penerjun payung dari angkatan udara, angkatan darat, angkatan laut dan terakhir dari kepolisian mendarat mulus di landasan yang dituju. Dada ini lega, hati ini senang. Namun istriku makin cemberut, sebab tebakannya keliru, tak ada penerjung payung yang terjatuh.

Waktu melaju hingga menit ke sepuluh, ketika Penyanyi Edo Kondologit tampil dan menyanyikan lagu kabangsaan: Indonesia Raya. Dada ini bergumuruh hebat ketika syair-syair lagu gubahan Wage Rudolf Supratman itu dikumandangkan sang penyanyi asal Papua. Tak terasa, bibir ini turut menggumam : Indonesia tanah airku, tanah tumpah darahku. Istriku tersenyum melihat saya berdengung tak menentu. Edo Kondologit bernyanyi dengan vokal luar biasa. Nampak di layar, pak SBY dan JK turut bergumam Indonesia Raya.

Menit kelima belas adalah menitnya perempuan, ketika Tiga Diva tampil di layar, menyanyikan lagu Bendera ciptaan Eross. Lagu yang dipulerkan grup band Coklat itu kembali menyentak alam bawah sadar, sebuah suasana kebatinan antara aku dan bangsaku. Saya malu, sudah lama saya tak pernah menghormati bendera bangsaku, sudah lama saya tak berdiri mengangkat tanganku untuk menghormati bendera negeriku.

Menit kesembilan belas, rasa maluku memuncak, ketika si cantik Agnes Monica tampil menyanyikan lagu Merah Putih. Lagu penuh hormat terhadap bendera bangsa ciptaah Gombloh itu sangat indah dibawakan sang biduanita kita yang jelita. Yang makin membuat saya terpaku di depan televisi, Agnes tak sendirian melantunkan Merah Putih. Ia ditemani 5.000 anggota paduan suara Mahasiswa Univeritas Indonesia. Istriku yang semula cemberut pun ikut berdengung.

Menit ke dua puluh lima, dimulailah rangkaian tarian terbaik anak bangsa yang dibungkus dalam acara bertajuk: Harmoni Nusantara, yang dibawakan oleh setidaknya 1.000 penari. Tari Saman dari Nanggroe Aceh Darusalam menyapa Indonesia. Sebuah tarian yang mengindikasikan kekompakan dan kerjasama seluruh penarinya yang berjumlah 600 orang. Saya menyaksikan dengan seksama. Baru kali ini, Saman ditarikan oleh 600 orang di lapangan terbuka.

Menit kedua puluh sembilan, Tari Sigulempong dari Sumatera Utara menyusuli napak tilas perjalanan Indonesia dari Pulau Andalas berikutnya. Sekitar 100 penari tampil membawakan tarian sembari diiringi lagu Sigulempong yang berirama Medley. Tarian Lisoy pun ditampilkan untuk menambah semarak suasana Senayan.

Menit ke tiga puluh dua giliran 50 anak Minang, yang menyajikan tarian Tak Tong Tong. Sebuah tarian yang menggabarkan persaudaraan warga Sumatera Barat dalam kerukunan hidup bermasyarakat. Di layar kaca juga nampak konfigurasi tulisan Indonesia Jaya oleh 4.000 tentara. Melihat tarian Minang, saya teringat dongeng Malin Kundang, si anak durhaka. Aku bisa menjadi Malin Kundang, jika tidak mengakui ”ibu” negaraku Indonesia.

Menit ketiga puluh lima, mata dan hati Indonesia beralih ke Jakarta, Ibo kota negara. Sekitar 100 warge Jakarte menampilkan tarian Ronggeng dan tarian khas Ondel-Ondel yang telah melegenda itu. Warna-warni baju khas Betawi terlihat manis di televisi. Saya membangunkan anak kami Serolf dan berbisik di telinganya : Nak, lihat tuh, tarian adatmu. (maklum anak kami lahir di Jakarta, dia tentu warge asli Jakarte).

Menit ke tiga puluh delapan, tradisi Sunda nampak di layar kaya. Tarian Manuk Dadali pun ditampilkan oleh 50 penari. Lewat tarian ini, warga Sunda ingin menyampaikan bahwa kebiasaan tiga A yakni Asah, Asih dan Asuh adalah sebuah kebiasaan yang harus terus dikembangkan. Istri saya sudah gelisah, malas berlama-lama di depan layar kaca.

Menit keempatpuluh dua, tarian Padang Bulan dari Jawa Tengah digelarkan oleh 50 pemuda. Kegembiraan terlihat di Senayan, kamera pun diarahkan ke Presiden kita yang terus bertepuk tangan memberikan penghargaan kepada para pengisi acara.

Menit keempat puluh empat, Tarian Lir Sale dari Jawa Timur pun diperlihatkan, yang dilanjutkan dengan Tari Bali yang diiringi dengan lagu berjudul Janger. Kultur pulau Dewata terlihat jelas lewatn tarian yang telah dikenal di manca negara tersebut. Hati saya tidak sabaran menunggu giliran NTT tiba. Entah kenapa, sukuisme atau rasa kedaerahan masih muncul juga, meski nasionalisme tetap yang utama.

Harmoni Nusantara lansung menuju Kalimantan. Tarian Perang khas adat Dayak pun dipentaskan. Pernak-pernik Burung Enggang yang menjadi khas Borneo pun terpampang. Dan yang menarik, ketika 50 anak-anak ikut ambil bagian dalam tarian ini. Suara Maudy : keterlibatan anak-anak ini adalah simbol regenerasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Patung Mudok yang menjadi menjadi lambang penolak bala juga dihadirkan. Istriku bertutur: semoga tak ada lagi bencana di negeri ini. Empat puluh delapan menit telah beranjak dari pukul sembilan belas malam.

Menit ke lima puluh, Jusuf Kalla tersenyum, ketika lagu Angin Mamiri yang mengiringi tarian khas Makassar dipentaskan. 100 penari memberi hormat kepada pemimpin negara sebelum melanjutkan atraksinya. Saya sudah mengambil kesimpulan: NTT tak akan tampil lagi. Ah sebuah sukuisme yang aneh, atau mungkin tepatnya kerinduan akan kampung halaman yang telah memuncak.

Namun ternyata kesimpulan saya salah, ketika irama lagu Anak Kambing Saya, terdengar jelas. Nah itu dia, sebuah tarian khas Nusa Tenggara Timur pun ditampilkan. Mana di mana anak kambing saya, anak kambing saya ada di kampung baru, caca marica hei hei, cara mari ca hei hei, caca mari ca ada ada di kampung baru. Saya pun tidak malu-malu untuk ikut bernyanyi, meski suara saya tidak mendukung. Waktu menunjukkan pukul 19.55 WIB.

Tari Goro-goro dari Tanah Maluku menjadi tujuan mata berikutnya, yang diikuti dengan Yamko Rambe Yamko dari Papua. Sekitar 100 penari yang didatanagkan langsung dari Papua mewarnai Istora Senayan. Dari Sabang sampai Merauke telah di gelar. Itulah Indonesia. Sebuah zamrud khatulistiwa yang kaya budaya. Di layar kacara terlihat konfigurasi peta kepulauan Indonesia yang ditampilkan oleh 4.000 tentara, berganti-ganti dengan konfigurasi bendera Merah Putih, Garuda Pancasila, bahkan potret Presiden SBY dan Ibu Negara.

Hampir sejam sudah pagelaran kebangkitan nasional ditayangkan. Memupuk nasionalisme lewat lacar kaca ternyata butuh perjuangan. Entah kenapa, acara selanjutnya bagi saya mulai membosankan, atau karena mata saya kelelahan.

Ketika drumband Taruna AU, Taruna dan Taruna AL tampil di Senayan, saya merasa haus, saya merasa dahaga, saya butuh air. Hendak mengambil air di galon, ternyata air minum kami telah kering. Maka, ketika 1.000 personil angkatan darat menampilkan atraksi bela diri, saya mohon pamit kepada televisi kami: ke warung sebelah membeli air minum. Nasionalis tetap butuh air untuk mengusir dahaga, bukan?

Ketika saya kembali dari membeli air, waktu telah menunjukkan pukul 20.35, berarti tinggal 25 menit lagi pagelaran kebangkitan nasional ini akan berakhir. Lalu tiba-tiba kain Merah Putih raksasa mememuhi lapangan Senayan. Bendera hasil karya Pak Sunadi ini diarak membentuk gelombang, sembari diiringi lagu Bangun Pemuda Pemudi. Nasionalisme saya makin memuncak ketika lagu Majulah Negeriku karya Presiden SBY dikumadangkan.

”Majulah Negeriku, bangunlah negeriku, sejahtera semua anak cucu. Rukunlah bangsaku, hidup dalam tanai airku, bangunlah negeriku, merah putih berkibar selamanya. Jangan sia-siakan kesempatan yang kita miliki bersama, untuk mengubah masa depan kita. Bangkitlah bangsaku, mari kita singsingkan lengan baju. Bangunlah negeriku, sejahtera semua anak cucu, rukunklah bangsaku, hidup dalam damai tanah airku. Majulah negeriku. Merah putih berkibar selamanya. Merah putih berkibar selamanya”.

Istri sudah hafal di luar kepala lagu ciptaak kepala negara kita ini. Istana tempat kami berteduh berada di samping markas Pasukan Pengaman Presiden (Paspampres). Nah, lagu yang aslinya dinyanyikan oleh Tantowi Yahya ini menjadi lagu wajib bangun pagi dan dan bangun tidur siangnya para pengawal presiden. Maka ketika lagu itu kembali dinyanyikan di puncak 100 tahun kebangkitan nasional, istri saya tak tinggal diam, dia pun bernyanyi. ”Nasionalis juga nih istriku’, gumam saya dalam hati.

Tepat pukul 21.00 pagelaran akbar itu berakhir. Ucapan terima kasih pun disampaikan kepada seluruh anak negeri yang telah berpartisipasi dalam perhelatan luar biasa tersebut. Saya beruntung masih memiliki mata untuk menyaksikan aneka tradisi negeri ini. Sembilan puluh menit penuh warna telah saya saksikan malam ini. Sebuah karya anak bangsa yang patut dicatat, yang patut dikenang.

Pukul 21.05, Deddy Miswar tampil di layar kaca dengan kata-kata indah : Bangkit itu susah, susah melihat orang susah , senang melihat orang senang. Bangkit itu takut, takut korupsi, takut makan yang bukan haknya. Bangkit itu mencuri, mencuri perhatian dunia dalam prestasi.Bangkit itu marah, marah bila martabat bangsa diinjak. Bangkit itu tidak ada, tidak ada kata menyerah, tidak ada kata putus asa. Bangkit itu malu, malu menjadi benalu, malu karena minta melulu. Bangkit itu aku, untuk bangsaku.

Pada pukul 22.00, ketika saya hendak ke peraduan, setelah menyaksikan sembiln puluh menit atraksi anak pertiwi merayakan kebangkitan nasional, saya menarik sebuah kesimpulan ini: Saya bangga menjadi anak Indonesia. Saya mencintai Indonesia. Saya akan mempersembahkan bakti dan pengabdian terbaikku untuk negeri ini, lewat caraku sendiri.

Salam,

Ferdinandus Setu

Tidak ada komentar: