Senin, 19 Mei 2008

Mengenang Harkitnas

Kita mengenal cukup banyak hari yang diperingati secara nasional. Ada peringatan hari pahlawan, hari ibu, hari anak, hari lingkungan hidup, hari sumpah pemuda, hari proklamasi, hari perempuan, hari buruh, hari kebangkitan nasional dan hari peringatan lainnya. Apa yang kita buat pada hari-hari peringatan semacam itu? Tentu sesuai dengan jenisnya, pelaku peringatan adalah mereka yang menjadi bagian dari hari peringatan bersangkutan. Yang merayakan hari buruh adalah para buruh. Hari perempuan diisi dengan berbagai kegiatan oleh kaum perempuan. Demikian pun hari anak. Lalu untuk hari proklamasi, sumpah pemuda dan hari pahlawan, serta hari kebangkita nasional misalnya, siapa yang merayakannya? Sebagai warga bangsa, kitalah yang memberi makna dan merayakan peringatan hari-hari bersejarah itu.
Bukan para pahlawan, para pendiri bangsa ini dan pemuda era 1908.

Tahun 2008 ini, Indonesia memperingati hari kebangkitan nasional. Tahun ini adalah tahun istimewa, sebab kita mengenang 100 tahun kebangkitan nasional. Sebagai peringatan yang rutin tahunan, boleh jadi konsep kita tentang hari-hari peringatan itu telah membaku. Ada apel bendera, buat perlombaan memasak, lari karung, sepak bola, menulis. Bisa juga demonstrasi menuntut ini dan itu. Ada pula seminar, diskusi, pengobatan gratis. Hal-hal ini memang baik. Namun, merayakan hari-hari peringatan sebatas yang artifisial, seremonial, rutinitas, kontinuitas belum sepenuhnya tercakup dalam konsep memaknai hari peringatan itu. Hari-hari peringatan itu mesti dimaknai lebih dalam, digali lebih jauh dan diartikan lebih luas. Kita mesti sampai pada fokus menemukan spirit, roh, yang transendens, religiositas dari hari-hari peringatan nasional di negeri ini. Salah satu dari fokus itu adalah menyelami kultur ingatan dalam aksi-aksi melawan lupa.

Hari kebangkitan nasional yang dirayakan setiap tanggal 20 Mei merupakan bagian dari ingatan kolektif bangsa Indonesia. Sejarah bangsa ini telah dicatat dengan tinta darah kegigihan para pahlawan mempertahankan negeri ini dari kolonialisme. Sembilan puluh semblan tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 20 Mei 1908, berdirilah organisasi Boedi Oetomo, yang dikemudian dikenang sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Saat itu bangkitlah suatu kesadaran tentang kesatuan kebangsaan untuk menentang kekuasaan penjajahan Belanda yang telah berabad-abad lamanya berlangsung di tanah air Indonesia.
Boedi Oetomo pada saat itu, merupakan perkumpulan kaum muda yang cerdas dan peduli terhadap nasib bangsa, yang antara lain diprakarsai oleh ; Dr. Soetomo, Dr. Wahidin Soedirohoesodo dan Dr. Goenawan dan Suryadi Suryadiningrat (Ki Hadjar Dewantara).

Semangat kebangkitan nasional muncul, ketika bangsa Indonesia mencapai tingkat perlawanannya yang tidak dapat dibendung lagi, untuk menghadapi kekuasaan kolonial Belanda yang tidak manusiawi dan tidak adil. Penegasan tekad bangsa untuk bebas dan merdeka dari belenggu kolonialisme dan imperialisme.

Kebangkitan kesadaran atas kesatuan kebangsaan atau nasionalisme yang lahir pada 20 Mei 1908, kemudian menjadi tonggak perjuangan yang terus berlanjut. Muncullah kemudian Jong Ambon (1909), Jong Java dan Jong Celebes (1917) Jong Sumatera dan Jong Minahasa (1918). Pada tahun 1911 juga berdiri organisasi Sarikat Islam, 1912 Muhammadiyah, 1926 Nahdlatul Ulama, dan kemudian pada tahun 1927 berdiri Partai Nasional Indonesia.

Perjuangan yang panjang itu, akhirnya mencapai puncaknya pada kemerdekaan bangsa, yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Negara kita seperti ditegaskan oleh para pendirinya adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang ditegakkan berdasarkan prinsip Negara Hukum.

Tahun ini, kita mengenang kembali para pemuda era 1908 yang telah berjuang membangkitkan spiprit nasionalisme Indonesia. Beberapa Departemen akan merayakan secara khusus. Departemen Komunikasi dan Informartika juga akan melakukan hal yang sama, menggelar berbagai jenis perlombaan dan permainan untuk mengenang anak-anak muda pemberani kita dahulu.

Upaya kita mengenang, mengingat, menjaga ingatan dan berjuang melawan lupa adalah sebuah proses epistemologis. Bahkan dalam hal yang sangat sederhana, mengingat adalah awal dari proses mengetahui. Ingatan kita adalah pengetahuan kita. Ingatan sebagai pengetahuan adalah proses memuntahkan ke permukaan semua realitas yang telah terjadi yang terkubur dalam file-file memori kita.

Mengenang para pemuda yang menyampaikan spirit bangkit pada era 1908 adalah sebuah upaya yang tidak saja memutar pita memori kita pada deretan para pahlawan bangsa ini yang dikenal, diberi gelar pahlawan dan didokumentasikan dalam arsip-arsip bertinta emas di tumpukan-tumpukan arsip negeri ini. Ada banyak pahlawan yang tidak terdaftar, yang hidup mereka berakhir tragis karena risiko menempatkan kebenaran dan keadilan di atas segala-galanya. Ada banyak figur di negeri ini yang pantas menjadi pahlawan, namun ’dikalahkan’ sejarah bangsa sendiri. Kita kenang pejuang HAM, Munir, yang meninggal dalam kesendirian di atas pesawat dalam penerbangan menuju negeri Belanda.

Membahas ingatan, saya jadi teringat Milan Kundera penulis buku The Book of Laughter and Forgetting. Milan Kundera mengatakan bahwa perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan manusia melawan lupa. Bangsa kita memang kerap jatuh dalam dosa mudah melupakan sejarah, pun sejarah penderitaan. Kita cenderung melupakan dosa-dosa kekerasan masa lalu dan berbagai penyimpangan terhadap martabat manusia entah karena kita takut mengingatnya atau karena kita merasa itu bukan bagian dari sejarah hidup kita. Munir misalnyua selalu tampil mengingatkan kita semua agar tidak lupa. Mereka, seperti juga mendiang Bung Karno selalu berapi-api menggelegarkan jasmerah: jangan sekali-kali melupakan sejarah. Mereka dengan cara perjuangannya yang biasa namun konsisten hingga akhir telah berupaya melawan tindakan ”mematikan ingatan” oleh para penguasa sembari terus ”mempertahankan ingatan” terhadap berbagai penderitaan masa lalu.

Hari Kebangkitan Nasional hanya sehari. Namun, mengenang dan memaknai hari pahlawan haruslah setiap hari. Epistemologi ingatan kita tetap bertahan jika kita selalu me-refresh file memori kita dan bukan meniadakannya. Nilai-nilai kepahlawanan sangat kita butuhkan dalam zaman kita saat ini. Ada banyak penderitaan yang mendera hidup kita saat ini. Para penjajah itu tidak lagi dari negara lain, tetapi lahir dari negeri sendiri bahkan dalam diri pemerintah dan aparat kita. Korupsi masih merajalela. Kesewenangan-wenangan hukum masih berlaku; yang mencuri ayam dihukum, yang korup uang negara ratusan juta dan miliaran rupiah dibiarkan bebas. Para petani dan nelayan kita terus terjajah. Harga ditentukan sepihak oleh tengkulak dan pengusaha. Keringat mereka sering tak dihargai secara pantas. Kaum perempuan kita masih diperlakukan tidak adil, dijual, dijadikan budak seks. Nasib tenaga kerja juga tidak jelas, sering jadi korban di negeri orang.
Siapa yang harus jadi pahlawan untuk mereka-mereka ini? Boedi Oetomo hanyalah nama. Ki Hadjar Dewantara sudah tinggal kenangan. Para pemuda pemberani itu tinggal ingatan semata.

Kita yang hidup di zaman ini dengan berbagai kompleksitas hidup kita mempunyai tugas yang sama yakni melawan lupa, mendobrak aksi mematikan ingatan dan terus melestarikan kultur ingatan khususnya ingatan pada penderitaan itu sendiri, ingatan pada kebangkitan yang menggelorakan darah dan semangat kita.

Kita perlu merayakan kebangkitan nasional yang baru. Kebangkitan dari kebiasaan mengeruk uang rakyat untuk keuntungan pribadi. Mari kita bangkit bersama, kita bangkit bersama rakyat, bangkit untuk menggapai sesuatu yang lebih baik, sesuatu yang lebih indah.

Seabad kebangkitan nasional akan segera kita jelang. Siapkah kita bangkit dari ”tidur panjang” kita. Mari bangkit, mari melawan lupa.

Salam,

Ferdinandus Setu

Tidak ada komentar: