Kamis, 15 Mei 2008

Mencapai Orgasmaya

Saat ini kita hidup dalam sebuah zaman yang kerap disebut sebagai globalisasi. Suatu era di mana telah terjadi proses penyeragaman format budaya, politik, sosial, ekonomi pada masyarakat di belahan dunia manapun. Globalisasi adalah era yang mana jarak, ruang dan waktu tidak lagi membatasi ruang gerak individu untuk menjelajahi setiap sudut bumi yang kita tempati ini dan berinteraksi dengan individu lain dari manapun. Batas-batas geografis telah hilang (borderless); dunia bisa dilipat oleh siapapaun yang berkepentingan dengannya. Kita hidup dalam sebuah Desa Buana (global village), di mana bumi tak lagi bundar, melainkan datar. The world is flat (Thomas Friedman).

Tak dapat dipungkiri bahwa globalisasai telah merombak dan membawa manusia pada kehidupan yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan. Hidup penuh dengan kemudahan-kemudahan berkat terciptanya ragam teknologi canggih. Pertumbuhan ekonomi setiap negara meningkat. Semua pemimpin dunia bisa bersatu dan bekerja sama membangun sebuah narasi besar peradaban yakni kemajuan. Namun dibalik itu semua, globalisasi juga menyimpan ironi tersendiri. Globalisasi yang dibesarkan dalam buaian kapitalisme, ternyata juga membuat manusia kehilangan makna kualitas hidupnya. Ritzer menyebut kondisi saat ini penuh dengan waktu, tidak manusiawi dan hancurnya kearifan lokal di seluruh penjuru dunia.”Globalization is Nothing”, kecam Ritzer.

Kapitalisme global, telah melahirkan masyarakat yang terjebak dalam arus budaya pasar, yang selalu mendasarkan pada logika jual beli pada setiap aktivitasnya dan mengkonsumsi apapun yang ditawarkan pasar. Jean Paul Baudrillard menyebut masyarakat seperti ini dengan masyarakat konsumen (consumer society), atau masyarakat komoditas dalam bahasa Teodore W Adorno. Istilah konsumen dan komoditi sendiri sudah menyiratkan pada suatu mekanisme jual beli barang dagangan yang pasti tujuan akhirnya adalah mencari keuntungan.
Pada masyarakat komoditas, semua hal yang menyangkut kehidupan manusia dikomodifikasikan agar bisa dijual; pendidikan, hiburan, olahraga, informasi, kesehatan, kepribadian, penampilan, ilusi, halusinasi, fantasi, hasrat, seks sampai kematian. Semuanya menjadi barang dagangan (komoditi) yang diciptakan untuk perputaran dan akumulasi kapital sebesar-besarnya. Persoalan seks juga tidak luput dari jamahan tangan rakus kapitalisme. Seks dikomodifikasi sehingga muncul industrialisasi seks dalam berbagai macam bentuknya, baik di media massa maupun dalam masyarakat. Seks menjadi barang yang begitu mudah dijamah, dikonsumsi oleh siapapun yang ingin mengkonsumsinya, dengan hanya menyediakan beberapa lembar rupiah, bahkan gratis.

Dalam media massa, komodifikasi seks menemukan tempatnya yang sempurna untuk mengafirmasikan diri melalui tayangan televisi, media massa cetak dunia cyber. Bahkan dalam cyber space khususnya internet, seks telah mempunyai daya tawar tinggi yang mampu menyedot ribuan orang yang berkeinginan untuk mecicipinya, karena berbagai keunggulannya seperti aman, murah, dan selalu up to date dan tentu saja tidak terbatas ruang dan waktu.
Munculnya teknologi informasi dan komunikasi, sejatinya adalah untuk menjembatani dan melayani manusia kontemporer dalam saling tukar informasi. Awal mula kehadirannya ibarat oase di padang pasir, yang bisa memuaskan kebutuhan manusia akan informai, baik antar daerah dalam suatu negara (domestik) maupun antar negara (internasional). Teknologi cyber telah banyak membantu pertumbuhan ekonomi, sosial dan politik karen aksesibilitasnya dalam proses transaksi dan tukar menukar informasi. Cyber culture bahkan bisa dianalogikan sebagai Juggernaut (meminjam istilahnya Giddens) lokomotif raksasa yang bisa menghancurkan siapa saja yang tidak sanggup mengendalikannya. Kita akan tergilas olehnya, mau tidak mau, sadar atau tidak, jika kita buta informasi, jika kita gaptek alias gagap teknologi.

Pada periode selanjutnya, perkembangan teknologi cyber memunculkan cyber culture atau e-culture yang menjadi alat dominan kapitalis untuk menjual berbagai produknya, termasuk seks. Para pemilik modal mengerti betul bahwa seks dilahirkan dari sisi biologis, sehingga ketika direkayasa akan menjadi sebuah kebutuhan yang selalu dicari manusia. Kondisi inilah yang pada tahap berikutnya melahirkan situs-situs porno di internet, bacaan-bacaan cabul, milis-milis lendir dan chatting sex online di internet yang memang bertugas untuk memuaskan dahaga manusia akan seks.

Cyber sex, seperti terlihat dari namanya, adalah kegiatan virtual, rekaan, ciptaan yang bukan sesungguhnya. Dominannya teknologi virtual, bukan tanpa sebab. Ia menunjukkan keunggulan yang tidak bisa diciptakan teknologi informasi lainnya. Audio, visual, kebaruan, permainan identitas, anonimitas, keterlibatan dan lain-lain semua disediakan cyber space. Kita bisa menjadi pemain dunia maya, bukan hanya penonton. Dalam cyber sex, khususnya ketika melakukan chatting online, permainan identitas memegang peranan penting. Cyber sex sangat memungkinkan pemakainya untuk menggunakan identitas apapaun yang diinginkannya, meski tidak sesuai dengan kenyataan yang melekat pada dirinya. Seseorang bisa dengan mudahnya mengidentifikasikan dirinya sebagai laki-laki atau perempuan. Seseorang yang buruk rupa pun bisa menjelmakan dirinya seperti David Bechkam, karena sifat anonimitasnya dalam cyber sex. On the internet no one knows that you are a dog.On the internet no one knows that you are a ugly duck.

Ketika melakukan cyber sex, seseorang melampiaskan fantasi-fantasi seksualnya secara bebas, gamblang dan vulgar. Karena bersifat fantasional, maka apapun yang terjadi sekali lagi adalah bukan kenyataan (unreal). Fantasi-fantasinya bahkan bisa melebihi kenyataan yang sesungguhnya, karena bisa dilakukan oleh siapapun termasuk orang yang “tidak mengerti” seks sekalipun. Realitas yang terjadi di ruang chatting adalah realitas semu, realitas buatan atau dalam bahasa Baudilard disebut sebagai sebuah simualkrum (kenyataan semu) atau hyper realitas . Meskipun demikian, para pecandu cyber sex menikmati semuanya sebagai sesuatu yang nyata.

Hyper realitas dapat mengaburkan antara duni nyata dan dunia bukan sungguhan (realitas semu). Para pelaku cyber sex, tidak mampu lagi membedakan kebenaran kenyataaan dan kebenaran semu. Mereka terjebak dalam kehidupan sosial baru dalam dunia cyber, dunia sosial yang pasrah menerima pelampiasan sebesar apapaun hasrat yang ingin ditumpahkan para pelaku cyber sex. Dari kondisi ini bisa dikatakan bahwa manusia berada dalam perbudakan teknologi. Teknologi yang diciptakan untuk membantu manusia, justru berbalik memperbudak manusia sebagai penciptanya.

Siapa yang diuntungkan dari industrialisasi seks ini? Tentunya adalah para cukong kapitalis, yang sudah menjadikan uang sebagai tuhan mereka di bumi, para pemburu dolar yang menghalalkan segala cara, termasuk mengkomersialkan seksualitas. Sejatinya seksualitas adalah sesuatu yang suci, sakral. Namun, industriawan seks membelokkan hal yang suci itu menjadi barang dagangan yang dapat dihitung dengan recehan rupiah. Kita sebagai konsumen situs porno, tidak diuntungkan sepeserpun atas komersialiasi selangkangan ini. Kita hanya objek dari lalulintas ”orgasmaya” Terkait orgasme di dunia maya ini, penyair Hasan Aspahani memberi nama orgasmaya.

Atas dasar premis-premis di atas, pemerintah memasukkan larangan penyebaran konten melanggar kesusilaan pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pasal 27 ayat 1 UU ITE berbunyi :Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. Apa artinya bahwa ketika kita dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan konten (baik lewat internet, handphone, media elektronik lainnya) yang melanggar kesusilaan, maka kita akan dikenakan ancaman pidana Pasal 45 ayat (1) UU ITE yakni dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pemerintah berkeyakinan bahwa risiko yang harus dihadapi pelaku cyber sex bukan langsung dari cyber-nya tapi dari efek-efek sosial yang ditimbulkannya. Pertama, seperti telah diungkapkan di atas, risiko kehilangan sentuhan dunia nyata, asosial karena lebih menyukai dunia yang unreal, realita semu daripada kenyataan sesungguhnya. Pemerintah berharap bahwa cyber culture dan cyber sex tidak memasung rasionalitas kita. Pemerintah yakin bahwa teknologi informasi dan komunikasi lebih banyak mendatangkan manfaat ketimbang mudaratnya, bila dikelola dengan baik. Pengaturan larangan penyebaran informasi elektronik ke dalam salah satu ketentuan UU ITE, adalah salah satu langkah untuk memaksimalkan benefit teknologi informasi dan komunikasi.

Bayangkan berapa bandwith yang kita hemat, jika semakin sedikit dari kita yang mengakses situ XXX. Lalu lintas internet kita menjadi lancar, kita bisa mengupload konten-konten lokal secara lebih cepat. Kita beralih dari generasi downloader menjadi generasi uploader, baik lewat media blog, milis, wikipedia, atau youtube. Pemerintah percaya bahwa pengaturan atas ”pornografi” di dunia cyber, bukan untuk memasung kebebasan berkespresi warga negara yang dijamin oleh konstitusi kita. Kita bisa membayangkan betapa dekadensi moral akan lebih cepat terjadi pada generasi kita, bila pemerintah sebagai regulator membiarkan para cukong kapitalis berbulu porno meraja dan melela di dunia cyber. Pemerintah tentu sangat berapresiasi terhadap beberapa situs dewasa dalam negeri yang telah ”menutup” situsnya, setelah UU ITE disahkan. Pemerintah juga berharap situs-situs sejenis yang masih online untuk mengikuti jejak ini. Termasuk forum-forum milis yang masih menjadikan ”sekitar wilayah dada” sebagai tema utama, diminta dengan sangat untuk segera cabut dari ”wilayah cyber”.

Tentu pemerintah bukanlah penjaga moral. Kita semua adalah penjaga moral. Namun upaya pemerintah mengatur pemanfataan teknologi informasi dan komunikasi, termasuk dengan mengatur pornografi online, patut didukung semua pihak. Kita tentu tak ingin anak-anak kita menjadi korban budaya cyber sex, yang membuat mereka teralienasi dari dunia nyata. Kita tak ingin generasi muda kita menghabiskan waktu dengan aktfitas pencapaian orgasmaya yang menjauhkan diri mereka dari lingkungan sosial mereka. Karenanya, pengaturan pornografi online dalam UU ITE menjadi keniscayaan, sebuah hipotesis yang diharapkan bisa diterima oleh semua kita. Karena masih merupakan hipotesis dan bukan aksioma, tentu pemerintah tetap menerima berbagai masukan atas soal ini. Kebenaran bukanlah monopoli pemerintah, karenanya upaya penyempurnaan atas materi-materi cyber law Indonesia selanjutnya, menjadi tanggung jawab kita bersama.

Salam,

Ferdinandus Setu

Tidak ada komentar: