Kamis, 15 Mei 2008

Menjual Kecantikan

Selasa, 13 Mei 2008 tadi malam, RCTI menghadirkan acara Pemilihan Miss Indonesia 2008. Sandra Angelia (Kontestan Jawa Timur) dinobatkan menjadi Miss Indonesia 2008. Ia dipilih menyisihkan 32 kontestan lainnya dari seluruh provinsi di negeri ini. Runner Up I diraih Kartika Indah (Maluku) yang sekaligus mendapatkan selempang Miss Healthy Hari (Rambut Sehat). Runner UP II dicapai oleh Pricilia Ivon (Sulawesi Utara) yang mengantongi predikat Miss Kulit Terindah. Sementara Miss Persahabatan jatuh pada tangan Wayan Macrae (NTB). Sang Miss Indonesia terpilih akan mewakili Indonesia pada kontes Miss World 2008 di Kiev, Ukraina akhir tahun ini.

Saya dan istri menyaksikan kontes kecantikan itu yang ditayangkan RCTI itu. Kami tahu dan sadara bahwa kami sedang menyaksikan sebuah tayangan industrialisasi tubuh global, di mana kecantikan hanya dijadikan nilai ekonomis, di mana kecantikan kulit, rambut, paras dan segenap raga wanita dijadikan komoditas kapitalis global.

Memang benar, saat ini kita berada pada masa di mana setiap hal selalu dikaji, dilihat dari perspektif posmodernisme. Perspektif posmo ini adalah perspektif yang salah satu dalil-nya adalah : bungkus itu lebih penting dari isi. Nah, industri menjual kecantikan adalah industri yang lebih mementingkan bungkus, cover ketimbang bobot, isi, mutu, substansi atas sesuatu hal.

Para penggagas kontes kecantikan seperti Miss Indonesia –yang mengekor pada fenomena global:Miss World) – selalu menyebutkan tiga syarat seorang wanita dinobatkan menjadi Miss atau Putri, yakni Beauty (Kecantikan), Brain (Kecerdasan), dan Behaviour (Karakter/Sikap).

Untuk Beauty, sangat jelas, bahwa kriteria cantik yang dipakai adalah citra cantik yang telah dibentuk oleh media. Bahwa cantik itu mesti berkulit putih, berpostur tinggi, badan langsing, rambut lurus. Kita tak akan menyaksikan di atas panggung berdiri seorang wanita bewarna kulit gelap, atau berbadan tambun, atau berpostur pendek. Tak akan pernah. Padahal, sejatinya, kategori cantik yang ada saat ini adalah hasil konstruksi media, konstruksi global, yang tentu ada motifnya. Apa motifnya? Tentu motif yang paling kasat mata adalah: uang. Para industrialis global ingin menjual kream pemutih untuk kulit, obat pelangsing untuk badan, pelurus rambut dan seterusnya. Padahal, pada zaman abad pertengahan, yang terkategori cantik adalah wanita bertumbuh semok, gemuk. Kita lihat dalam lukisan Monalisa, Cleopatra, dan para istri-istri Firaun di Mesir.

Lalu Brain. Apakah Kontes Miss Indonesia atau kontes sejenis ini sudah menyiapkan instrument utuh untuk mendapatkan kontestan yang cerdas. Kalau ditilik, dari pertanyaan yang diajukan para dewan juri, wah pertanyaan yang itu-itu saja dari tahun ke tahun. Kita lihat beberapa pertanyaan yang diajukan. Apa yang Anda pilih : menjadi ikan besar di kolam kecil atau ikan besar di kolam besar? Memang pertanyaan ini sedikit filosofis, tapi kalau pertanyaan itu diajukan dari tahun ke tahun, kontestan tentu sudah menyiapkan jawaban standar. Kita lihat pertanyaan lain: kalau Anda dilahirkan kembali, apakah Anda akan mengubah sebagian dari kepribadian Anda. Varian dari pertanyaan ini : Jika Anda terlahir kembali, Anda akan menjadi siapa? Maka keluarlah jawaban-jawaban standar yang terus sama dari tahun ke tahun, baik di Miss Indonesia ataupun Putri Indonesia : Jika terlahir kembali, saya tak akan mengubah diri saya, sebab apa yang saya terima sekarang adalah anugerah terindah yang diberikan Tuhan kepada saya. Atau jawaban ini : Kalau terlahir kembali, saya akan menjadi diri saya sendiri, saya tak akan menjadi orang lain. Jawaban ini memang terlihat sangat pas. Tapi bukankah Anda akan menjawab yang sama ketika Anda sudah mengetahui jawaban itu sebelumnya? Atau pertanyaan ini : Jika Anda disakiti apakah Anda akan memamaafkan orang yang menyakiti Anda? Apakah korupsi adalah budaya bangsa Indonesia? What is your pation in your life? Apa penyesalan terbesar dalam hidupmu? Deskripsikan diri Anda dalam 4 kata, 3 kata, atau 1 kata! Apa arti kedewasaan bagi Anda ? Anda lebih memilih cara sopan atau jujur ketika mengkritik teman Anda. Lalu sebua pertanyaan pamungkas yang disampaikan Tantowi Yahya sang host : Indonesia dikenal sebagai negara kaya, tapi masih banyak warga miskin. Dikenal sebagai negara agraris, tapi sembako susah didapat, pendidikan bermutu tidak mudah dan sulit dicapai, korupsi masih merajalela, hukum masih sulit ditegakkan. Apabila Anda terpilih jadi pemimpin, Anda akan mulai dari sektor mana? Jadi, di mana letak kecerdasan yang ingin ditunjukkan?

Terakhir, soal Behaviour. Apakah sebegitu mudahnya, dewan juri bisa menilai, menjudge karakter atau sikap kontestan hanya dalam beberapa pekan? Berbicara soal karakter, saya jadi teringat sebuah sticker yang dipasang di sebuah kamar kos sahabat saya di Jogja dahulu : character is what you are in the dark. Jadi ketika berada dalam pengawasan ataupun kamera, sang kontestan tentu menampilkan sisi baik dari karakternya dan menyimpan sementara sisi gelapnya, dia akan menjaga image-nya, untuk mendongkrak nilai behaviour-nya.

Mari melihat kontes kecantikan ini dalam konteks industri tubuh global. Dalam kacamata industri tubuh global, tubuh perempuan diposisikan sebagai instrumen, alat, barang, benda, yang boleh dinikmati, dieksploitasi demi kepentingan pelaku pemerkosaan.

Produk utama industri tubuh global adalah tubuh manusia terutama tubuh kaum perempuan. Dalam situasi demikian, tubuh telah menjadi komoditas yang harus dipersiapkan demi ‘nilai jual’ tertentu. Sebagai contoh, perusahaan-perusahaan kosmetik gencar mencecar tubuh dengan produk yang seolah-olah harus diterima dan dipakai kalau orang ingin agar tubuhnya diterima oleh publik. Budaya selebriti menyediakan contoh seperti apa tubuh itu mesti ditampilkan. Belum lagi membanjirnya produk kecantikan/kedokteran yang dapat terjangkau masyarakat lapisan bawah dengan harga murah seperti suntikan silikon, dan berbagai produk lainnya.

Industri tubuh global yang pangsanya meluas di pasaran dewasa ini betul-betul memanfaatkan tubuh perempuan sebagai komoditi dan produk unggulan. Lihat saja, industri ini gencar mengeksploitasi kemolekan tubuh perempuan, memajang kepolosan dan ketelanjangan tubuh perempuan dalam gambar dan lukisan di etalase-etalase supermarket, mall, hingga kios-kios kecil, dalam iklan-iklan televisi, dalam lembaran-lembaran majalah dewasa hingga majalah porno. Tubuh perempuan dikomersialisasi dalam kepingan-kepingan CD blue, dalam aneka model pornoaksi dan pornografi. Hal semacam ini diperparah lagi ketika kaum perempuan yang cenderung dijadikan korban itu kurang menyadari kebertubuhannya. Artinya bahwa pengaruh industri tubuh global menyeret pola pikiran (mindset) mereka pada model berpikir hedonis mengadopsi gaya hidup metropolis-selebritis. Kaum perempuan serta-merta mesti mengenakan rok mini bahkan super mini agar up to date. Model baju pun kian mini-minian. Bagian- bagian tubuh yang dulunya ditutup-tutupi perlahan-lahan mulai disingkap dan ditonjolkan. Anggota-anggota tubuh diberi aksesoris agar kian estetis. Tidak puas telinga dan jari orang mulai melubangi pusar, hidung dan lidah untuk diberi anting.

Tubuh yang sejak Maurice Merleau-Ponty dengan filsafat fenomenologinya mendapat perhatian besar perlahan-lahan mengalami devaluasi. Ponty dalam kajian filosofis dan psikologisnya melihat tubuh sebagai subyek dari kesadaran manusia itu sendiri atas kebertubuhannya. Terkait dengan tubuh kaum perempuan, maka dapat dikatakan bahwa telah terjadi obyektivitas martabat kebertubuhan perempuan. Dengan tidak lagi memposisikan tubuh perempuan sebagai subyek kesadarannya, keberadaannya, maka kemurnian dan keluhuran tubuh perempuan sebagai insan ciptaan Tuhan ternoda dan terluka.

Industri tubuh global kini merasuki dunia kita hingga ke pelosok-pelosok desa melalui kehadiran alat-alat hiburan seperti televisi dan VCD yang bisa disalah gunakan untuk memenuhi hasrat seksual kaum remaja dan kaum muda kita. Pemerkosaan yang marak terjadi akhir-akhir ini mencemaskan kita. Soalnya, sementara kita berusaha mencari jalan keluar dan solusi untuk mencegah dan menghilangkan perilaku bejat ini, industri tubuh global di satu pihak pun gencar menawarkan berbagai produk menarik dengan memanfaatkan dan mengeksploitasi tubuh seperti melalui gambar-gambar porno, tingkah laku porno yang bisa memicu tindak pemerkosaan.

Setelah kebertubuhan manusia khususnya kaum perempuan babak-belur oleh industri tubuh hedonis, saya merasa perlu mengajak pembaca sekalian untuk melihat lebih jauh mengenai makna tubuh secara teologis. Inilah filter pertama yang saya pikir bisa menahan dan meredam laju industri tubuh hedonis. Tubuh teologis mengumandangkan semboyan ini ‘marilah mengakrabi tubuh’. Tubuh teologis menyingkap satu hal bahwa manusia dan tubuhnya merupakan ciptaan Tuhan. Karena itu, dengan mengakrabi tubuh kita bisa berjumpa dengan Tuhan. Melalui tubuh, kita berelasi dengan Tuhan. Kalau begitu, tindakan yang merendahkan tubuh merupakan tindakan yang melukai keberadaan Tuhan yang hadir dalam tubuh mereka yang menjadi korban.

Pemerkosaan merupakan kegagalan manusia dalam mengenal, mencintai dan mengakrabi Tuhan dalam kebertubuhan orang lain. Allah menyapa manusia melalui tubuhnya karena tubuh bukanlah entitas terpisah dari manusia, melainkan karena manusia adalah makhluk yang utuh. Gagasan melihat tubuh secara teologis mengajak kita untuk menghargai dan menghormati tubuh orang lain. Kaum perempuan mesti dihargai dengan seluruh keberadaan tubuhnya dan kemanusiaannya. Jika demikian maka pemerkosaan sebenarnya tidak perlu terjadi.

Filter kedua yang perlu diperhatikan dalam mengantisipasi dan membendung arus deras industri tubuh hedonis adalah memberikan pendidikan seksualitas kepada anak-anak kita. Orangtua dan para pendidik memiliki tugas berat dalam memberikan pendidikan seksualitas pada anak-anak. Sejauhmana efektivitasnya kedua filter ini, semuanya kembali kepada kita. Dalam pergulatan dengan tubuhnya, Yohanes Climacus, seorang teolog abad ke-7 berseru mengenai tubuhnya, ‘Tubuhku adalah penolongku dan musuhku, pembantuku dan seteruku, pelindungku dan pengkhianatku’.

Jadi, marilah kita tetap berjaga-jaga agar tidak terseret arus industri tubuh hidonis yang melingkupi kita hic et nunc, kini dan di sini.

Salam,

Ferdinandus Setu

Tidak ada komentar: