Kamis, 15 Mei 2008

Membaca Nasionalisme

Nasionalisme Indonesia bangkit dari alam baka. Nasionalisme yang telah lama hilang itu kembali menyapa kita dari gelaran piala uber-thomas di Senayan, Jakarta. Sebuah rasa aneh-tapi nyata yang hadir menggelorakan dada untuk membela bangsa hadir dari permainan bulu-angsa. Ah, sebuah rasa yang syarat makna, ketika anak bangsa sedang gelisah menunggu sang kepala negara meneken surat keputusan menaikkan harga bahan bakar minyak di akhir bulan lima. Nasionalisme yang untuk sementara mengobati kekecewaan warga nusantara atas melambungnya harga sembilan-bahan-utama gara-gara sang kepala negara tidak tegas menaikkan bahan bakar minyak.

Nasionalisme Indonesia adalah semangat dan gemuruh di dada Agum Gumelar sang pria yang tak pernah menang, Sutiyoso-sang mantan kepala daerah khusus ibukota Jakarta, Agnes Monica sang biduanita yang punya cita-cita go-interasional, Ishadi Es-Ka sang kepala pemberitaan tv-trans, dan Ari Dagink-Desta sang penghibur di layar kaca.

Nasionalisme adalah isme yang memantapkan langkah Agum Gumelar untuk sejenak melupakahan kekalahannya yang ketiga dalam pemilihan kepala daerah Jabar - kita ingat kekalahan pertama Ayah Mertua Taufik Hidayat itu adalah ketika ia bersama Hamzah Haz gagal melaju ke putaran kedua pemilihan presiden di tahun dua ribu empat. Kita ingat kekalahan kedua ayah Ami Gumelar ini adalah ketika dia gagal melaju dalam putaran pilkada DKI Jakarta- ia benar-benar melupakan sejenak kegagalan demi kegagalannya dan datang menyaksikan perjuangan Pia Zubaidah dan kawan-kawan di Senayan guna merebut tiket emas ke babak final, hari kamis, tanggal lima belas, di bulan lima, dua ribu delapan, tadi malam.

Nasionalisme adalah isme yang menggelorakan semangat sang mantan kepala daerah khusus ibukota jakarta, Sutiyoso untuk bergabung bersama ribuan masyarakat Indonesia menyorakkan yel-yel kemenangan bagi srikandi-Indonesia. Sang penggagas bus-transjakarta sejenak melupakan agenda politiknya , sebuah agenda yang akan menghantarkan sang mantan tentara ini ke dalam kancah pertarungan kursi Indonesia-esa di tahun depan. Atau jangan-jangan nampang di senayan adalah salah satu ajang buat dia menjual nama kepada anak muda demi dua ribu sembilan, ah entahlah, saya tak mau berburuk sangka.

Nasionalisme adalah isme yang menguatkan tekad dan niat Agnes Monica untuk bergabung di istora senayan menyampaikan dukungan moral untuk pasukan garuda pancasila yang sedang berjuang melawan sang panser-jerman. Permainan dari India bernama poena telah menorehkan semangat membela bangsa sang biduanita kita sehingga untuk sementara dia lupa hasratnya berkarya di mancanegara yang masih kandas.

Nasionalisme adalah isme yang membuat bapak ishadi es-ka rela tertawa lepas-bebas-puas atas kemenangan srikandi-indonesia melaju ke babak final dalam empat pertandingan sahaja. Nasionalisme itu kuat membekap nafas bos-besar tv-trans untuk tidak menjaga citra, meski telah menjadi pengusaha kelas atas, tertawa di ramai-khalayak guna merayakan sebuah kemenangan.

Nasionalisme yang sama hadir merasuki urat syaraf sang pelawak ari dagink dan desta untuk membuat tawa para bulutangkis-mania di senayan dengan ulah-jenaka tanpa harus meminta bayaran seperti biasanya. Nasionalisme adalah isme yang menghadirkan jenaka-tawa di lapangan dalam sorak gegap gempita masyarakat khatulistiwa atas kedigdayaan putri-jelita indonesia mengkandaskan impian terliar Jerman masuk ke babak final.

Nasionalisme yang sama yang memaksa saya untuk segera menghilang dari kantor di merdeka barat jam tujuh malam, pulang ke rumah menatap lacar kaca, menyaksikan sang bulu angsa terbang di atas langit-langit istora senayan. Nasionalisme itu memaksa saya berteriak kegirangan ketika sang bulu angsa tepat menghujam sasaran lawan, dan sejenak mengacuhkan anak tercinta yang tak paham atas ulag sang ayah yang girang meloncat atas kemenangan wanita-Indonesia. Nasionalisme itu yang menyebabkan sang istri tercinta ngambek-marah lantaran harus kalah melawan saya memperebutkan saluran tv-trans dan tivi-wan.

Ah nasionalisme yang aneh, yang membuat saya harus mandi pada jam setengah sepuluh malam setelah memastikan kemenengan tim uber kita melaju ke babak final. Sebuah rasa yang telah lama pergi menghilang, kini datang menyapa saya, anda, kita semua yang masih bangga dengan sebutan warga Indonesia. Sebuah doa terlintas di kepala, bangkitlah indonesia, jayalah nusantara.

Salam,
Ferdinandus Setu

Tidak ada komentar: