Minggu, 18 Mei 2008

Menulis Indonesia

Vokalis Band Letto, Noe, ternyata tak hanya pandai mencipta lagu dan mengolah vokal, tapi ternyata juga penulis yang baik. Tak tanggung-tanggung, topik yang ditulisnya adalah : Indonesia. Ya, Noe menulis artikel berbahasa Indonesia tentang Indonesia, dengan tajuk : Generasi Larva : Memulai 100 Tahun Kedua. Tulisan yang rupanya ditujukan untuk memoret kaum muda Indonesia pada saat merayakan 100 tahun kebangkita nasional itu, dimuat di harian Kompas, Minggu, 18 Mei 2008.

Ia mengawali tulisannya dengan menyampaikan idiom ”Indonesia banget” yang belakangan ini cukup mengemuka dan mengganggunya. Idiom Indonesia banget adalah merujuk pada konotasi perilaku negatif sebagian anak negeri ini. Perilaku-perlilaku negatif dan miring yang terkategorikan sebagai Indonesia Banget, menurut Noe, adalah : buang sampah sembarangan, merokok di kawasan no smoking, tidur saar rapat, koruptor tak terhukum, umbar janji saat pemilihan, bahkan ngiler. Kita mungkin bisa menambahkan sendiri list Indonesia Banget yang kita temukan sehari-hari: main hakim sendiri alias eigenrechtig, ugal-ugalan di jalan raya, bermain bola di jalan raya, dan seterusnya.

Menurut Noe, saat ini generasi muda Indonesia terkategorikan sebagai generasi larva. Mengapa generasi larva? Noe melihat siklus kehidupan nyamuk yang terus berulang dari : telur-larva-pupa-nyamuk-telur-larva, dan seterusnya, sebagai analaogi yang cukup pas untuk memotret peta permasalahan Indonesia dewasa ini. Generasi 100 tahun kedua setelah kebangkitan nasional, 20 Mei 1908, adalah generasi larva. Generasi larva akan memulai siklusnya mulai 20 Mei 2008 sampai dengan 20 Mei 2108.

Apa yang harus dilakukan generasi larva ini untuk men-delete idion megatif : Indonesia banget? Yang paling pertama menurut Noe Letto, generasi larva harus menolak menjadi nyamuk. Nyamuk adalah adalah kata yang merujuk pada generasi pertama Indonesia, yang menyebabkan terciptanya idiom Indonesia banget. Generasi larva adalah generasi baru dengan sikap dan pemikiran yang baru, generasi yang harus memiliki sikap dan pemikiran antitesis dari permasalahan yang melilit negeri ini selama ini. Untuk itu, dibutuhkan sikap yang mandiri, yang mau dan mampu mengubah dirinya sendiri untuk melepaskan diri dari lingkaran setan Indonesia Banget Generasi Nyamuk dan bisa mengubah pengertian atas idiom tersebut menjadi pengertian : sopan-santun, gotong-royong, saling memaafkan, cinta damai, tak main hakim sendiri, koruptor dihukum dan dikutuk, dan litani sikap positif lainnya. Litani karakter positif inilah yang menjadi idiom Indonesia Banget versi Generasi Larva.

Apakah kita bisa menjadi generasi larva yang sesakti garuda pancasila? Noe menjawab : tidak mudah itu pasti. Tidak mungkin itu salah persepsi. Artinya bukan mustahil bagi kita bisa mencapai hal itu.

Itulah gambaran Noe, vokalis Band Letto yang belakangan ini sangat populer di blantikan musik Indonesia, atas Generasi Larva dan Indonesia Banget. Noe yang lulusan sebuah univeritas di Edmonton, Kanada, membuat sebuah gambaran yang cukup simpel bagi generasi muda dalam melihat persoalan besar bangsa ini, sebuah persoalan yang berawal dari pilihan bernegara yakni : demokrasi. Tapi tentu kita bertanya apakah pilihan kita atas demokrasi adalah pilihan yang salah sehingga kita terjebak dalam praktik-praktik kehidupan berbangsa dan bernegara yang menciptakan sebuah idiom Indonesia Banget?

Persepsi Demokrasi

Hemat saya, untuk memulai 100 tahun kedua pasca kebangkitan nasional, Indonesia perlu kembali menata konsep demokrasinya. Konsep demokrasi Indonesia saat ini sudah keluar jalur (out of track) dari konsep demokrasi murni yang pernah diajarkan para bijak bestari demokrasi. Untuk itu, konsepsi John Locke dapat menjadi pisau bedah untuk melihat konteks demokrasi Indonesia hic et nunc, kini dan di sini.

John Locke merupakan salah seorang tokoh perintis Zaman Pencerahan (Enlightenment). Ia lahir di Wrington, dekat Bristol, Inggris, pada tahun 1632. Ia menempuh pendidikan dengan disiplin ketat di Westminster School dari tahun 1646 – 1652. Ia lalu melanjutkan ke Oxford dan menyelesaikan gelar B.A.-nya pada tahun 1656, dan gelar M.A pada tahun 1658. Di Oxford, ia juga belajar ilmu kimia dan fisika, bahkan ilmu kedokteran. Ijazah dan izin praktik baru diperoleh pada tahun 1674. Ia menduduki beberapa jabatan penting pada masa pemerintahan Pangeran William dari Oranje. Meninggal tahun 1704. Tulisan Locke yang terpenting adalah Essay Concerning Human Understanding, yang terbit pada tahun 1690. Ia juga menerbitkan karya dalam bidang politik, Two Treatises on Civil Governments.

Konsepsi Locke menjadi kiblat bagi demokrasi kerakyatan. Ia berpendapat bahwa terbentuknya dunia politik atau negara didahului oleh keberadaan individu-individu yang memiliki hak-hak kodrati. Baginya, pembentukan negara tidak berarti pengalihan semua hak warga negara kepada negara. Hak membuat undang-undang, yakni hak legislatif dan eksekutif serta pelaksanaannya diserahkan kepada negara, tetapi seluruh proses harus didasarkan pada syarat yang harus dipenuhi negara yakni: kelangsungan hak hidup, hak kebebasan dan hak milik. Kekuasaan tertinggi yaitu kedaulatan tetap menjadi milik rakyat (Locke: 2002, 11).

Menurut Locke, ada empat kewajiban pemerintah yang harus dipegang untuk menjamin fungsi pemerintahan demi kepentingan masyarakat. Pertama, kekuasaan legislatif tidak boleh digunakan untuk mengatur hidup dan nasib rakyat secara sembarangan. Kedua, kekuasaan tidak boleh dijalankan tanpa pertimbangan. Ketiga, pemerintah tidak boleh mengambil hak milik orang lain tanpa persetujuan; hal ini berlaku pula bagi pajak. Keempat, kekuasaan legislatif tidak dapat dialihkan kepada orang lain dan harus tetap berada pada kelompok yang menjadi wakil rakyat.

Locke membedakan secara jelas apa yang disebut ”masyarakat alamiah” (civil society) dan ”masyarakat politik” (civil government) atau negara. Pembedaan ini menjadi dasar demokrasi dan kedaulatan rakyat. Dengan demikian, ada pembatasan kewenangan negara. Tindakan politik bersifat instrumental, dalam arti menjamin terciptanya kondisi bagi kebebasan sehingga tujuan individu dapat terwujud dalam civil society. Oleh karena itu, pembentukan pemerintah diadakan untuk menjamin hak dan kebebasan warga negara. Warga negara itu sendirilah yang paling berkompeten dalam menentukan apa yang merupakan kepentingannya. Dengan itu, negara harus dibatasi ruang lingkupnya sehingga dapat menjamin semaksimal mungkin kebebasan warga negara.

Dalam praksis kehidupan berdemokrasi di Indonesia, telah terjadi apa yang disebut paradoks kedaulatan rakyat, yakni sebuah proses politik di mana prinsip kedaulatan rakyat mengalami pembalikkan dalam praktiknya (Dadang. J: 1998,21).

Pertama, dalam teori Locke tentang demokrasi, rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi dan kehadiran negara (baca: pemerintah) adalah untuk melayani kepentingan rakyat. Tetapi kepentingan yang dimaksud adalah kepentingan yang ditentukan sendiri oleh rakyat selaku pihak yang berkompeten atas kepentingannya. Rakyat dalam mekanisme demokrasi menyalurkan kepentingannya melalui wakil-wakilnya di legislatif. Namun, sikap pemerintah yang mengabaikan legislatif dan memanipulasi suara rakyat, menciptakan konflik antar kelompok massa adalah bukti bahwa pemerintah belum paham betul apa itu demokrasi kerakyatan. Pemerintah dalam hal ini sebenarnya sedang mempertontonkan paradoks penghayatan demokrasi.

Kedua, pemerintah yang dipilih melalui mekanisme demokratis justru jatuh dalam sikap dan pelayanan yang tidak demokratis (paradoks demokrasi). Pemerintah masih menghayati demokrasi dalam arti staatsform, demokrasi dalam forma suatu negara, demokrasi dalam undang-undang, demokrasi dalam peraturan, demokrasi di atas kertas. Bukan sebaliknya demokrasi dihayati sebagai staatsinhalt, penghayatan makna dan isi demokrasi atau tepatnya eine Lebenshaltung zu jeder Stunde, demokrasi dihayati sebagai sikap hidup pada setiap saat (Shindunata: 2000, 10).

Pendekatan dengan pola otoritas juga dilakoni pemerintah. Pendekatan model ini inilah yang mematikan gerakan civil society yang seharusnya lebih diaktifkan dalam mekanisme demokrasi yang jujur karena merekalah pemegang kedaulatan itu. Penguatan otoritas itu nampak dalam mekanisme defensif atau pola anti kritik yang kerap dilakukan pemerintah. Merasa sebagai yang punya otoritas, pemerintah alergi terhadap kritikan, meski kritik yang disampaikan adalah kritik yan g membangun (correctio critica).

Keempat, arus penyempitan ruang partisipasi masyarakat. Banyak kasus penolakan warga atas suatu produk hukum atau kebijakan di negeri ini yang berimbas pada konflik vertikal dan horizontal karena pemerintah lupa melakukan sosialisasi terkait suatu proyek atau program kepada masyarakat. Saat ini, kita lihat dan rasakan betapa pemerintah tengah mencari sebuah alasan yang paling tepat atau prinsipium (sumber sebagai dasar untuk melakukan sesuatu) yang pas untuk menjustifikasi rencana kenaikan tarif bahan bakar minyak. Kita saksikan di media massa, bahwa alasan ”penyelamatan APBN” menjadi prinsipium yang paling sering dikemukakan pemerintah. Saya ingatkan kembali bahwa tanpa melakukan sosialisasi atas program dan pilihan pembangunan kepada rakyat mengakibatkan ruang partisipasi rakyat menyempit. Sering ada argumentasi rakyat tunggu terima hasil. Prosesnya pemerintah yang atur. Ini justru keliru. Sebagaimana kata Locke, rakyatlah yang menentukan apa kepentingannya, maka rakyat harus diberi ruang gerak yang luas untuk terlibat dalam proses mewujudkan kepentingannya. Sering terjadi setelah proses mulai baru ada sosialisasi. Maka lahirlah penolakan rakyat karena apa yang dibuat itu tidak sesuai harapan dan kepentingan mereka. Nah protes rakyat yang marah atas kebijakan pemerintah tengah kita saksikan belakangan ini. Aksi demonstrasi menentang rencana pemerintah menaikkan harga BBM terjadi di mana-mana. Demonstrasi juga menolak solusi Bantuan Lansung Tunai (BLT) yang ditawarkan pemerintah, meski pemerintah mengiming-iming bahwa BLT kali ini adalah BLT Plus. Kita tak tahu, apa yang dimaksudkan dengan BLT Plus ini, apakah BLT Plus Penderitaan atau BLT Plus Kesejahteraan.

Dalam konsepsinya tentang ”masyarakat alamiah” (civil society) dan ”masyarakat politik” (civil government) atau negara, Locke sudah mengingatkan bahwa tindakan politik bersifat instrumental, dalam arti menjamin terciptanya kondisi bagi kebebasan sehingga tujuan individu dapat terwujud dalam civil society. Oleh karena itu, pembentukan pemerintah diadakan untuk menjamin hak dan kebebasan warga negara. Warga negara itu sendirilah yang paling berkompeten dalam menentukan apa yang merupakan kepentingannya. Dengan itu, negara harus dibatasi ruang lingkupnya sehingga dapat menjamin semaksimal mungkin kebebasan warga negara. Pemerintah adalah sarana politik yang bertujuan menggolkan kepentingan rakyat. Karena itu, ruang partispasi rakyat harus dibuka selebar mungkin. Sebab ketika ruaangan partisipasi rakyat dibuka, maka rakyat sebagai anak sah dari demokrasi tak lagi marah, tak lagi protes.

Itulah catatan saya atas demokrasi, merespon artikel positif dan menarik Noe Letto. Lamat-lamat terdengar suara Noe dari televisi di ruang tamu yang menyanyikan bait-bait Permintaan Hati dari album Don’t Make Me Sad:

......
Dengarkan permintaan hati
yang teraniaya sunyi
Dan berikanlah hati pada hidupku
yang terhempas, yang terlepas
pelukanmu ...bersamamu.
dan tanpamu aku hilang selalu .....

Jika pemerintah mendengarkan permintaah hati rakyatnya yang teraniaya oleh beban ekonomi tentu pemerintah akan menempuh kebijakan politik ekonomi yang prorakyat. Jika pemerintah mendengarkan permintaan hati rakyat yang teraniaya, tentu pemerintah akan menerapkan prinsip-prinsip demokrasi yang benar, yang tak akan membuat rakyatnya teraniaya, sebab negara tanpa rakyat, negara tanpa pelukan rakyat, negara tersebut akan ”hilang selalu”.

Salam,

Ferdinandus Setu

Tidak ada komentar: