Saya berteriak kegirangan ketika TvOne, Rabu (4/6), melalui program berita Kabar Malam, menyiarkan kemenangan Barrack Obama (46) atas rivalnya Hilarry Clinton pertarungan menjadi calon presiden Amerika Serikat Partai Demokrat. Berita kemenangan ini adalah salah satu peristiwa penting yang paling saya tunggu sejak konvensi Partai Demokrat digelar. Benar-benar penantian yang panjang sejak awal Januari 2008. Saya memang pengagum senator Illinois itu. Kekaguman saya akan senator afro-amerika ini justru mendapat perlawanan serius dari istri saya. Pasalnya, ia adalah pendukung Hillary Clinton. Kemenangan Obama menggembirakan saya sekaligus membuat istri saya sedih sebab jagoannya kalah dalam pertarungan tersengit itu.
Ia menjadi sebatang kara setelah ibunya memilih berangkat ke Indonesia, mengikuti suami kedua. Ikhwal bahwa Obama memiliki seorang ayah tiri berkebangsaan Indonesia, mungkin salah satu faktor saya mengidolakan dan mendukung Obama. Setelah sempat tinggal di Indonesia, Obama memilih kembali ke Hawaii, tinggal bersama kakek dan nenek kulit putih. Pergulatan hidup dimulai karena hidup tanpa orangtua kandung, diiringi segregasi ras lingkungan di Punahou, Hawaii.
Banyak orang mencatat bahwa Obama berprestasi di sekolah. Hal ini mungkin turun dari ibunya yang cerdas dan pendobrak kebuntuan politik AS. Ayahnya juga pintar, mendapatkan beasiswa pada era Presiden John F Kennedy, yang merupakan salah tokoh idola Obama.
Dunia mencatat bahwa para wanita AS, yang menjadi ibu tunggal, menjadikan Obama sebagai pemberi semangat. Tanpa orangtua lengkap, Obama bangkit dan kini jadi calon presiden. Kita tahu bahwa Obama tak mengenal ayah secara dekat, tetapi ia selalu mengingat petuah ayahnya untuktidak menangis dan menatap masa depan. Air matanya mengalir ketika pesawat ayahnya lenyap di Samudra Pasifik saat terakhir kali menemui Obama di Hawaii tahun 1971.
Wall Street Journal Edis Asia, Kamis, 5 Juni menjadikan kemenangan Obama sebaga headline. Tulisan-tulisan lainnya di surat kabar itu juga menjadikan Obama sebagai topic of to day. Koran itu mencatat bahwa Obama yang suka bergaul kemudian melanjutkan sekolah ke California, kemudian ke Columbia University (New York, lulus 1983) dan Harvard University (Cambridge, lulus 1991).
Pada 1992, ia menikahi Michelle Robinson, lulusan Princeton dan Harvard, dengan latar belakang keluarga yang harmonis. Mereka dikaruniai dua orang putri, Malia Ann (9 tahun) dan Natasha (7 tahun). Kehidupan dengan Michelle,menutupi babak kegelisahan hidup Obama yang sempat terjerumus narkoba.
Wartawan Kompas, Simon Saragih, pada Kompas, edisi Kamis, 5 Juni 2008 menulis soal Obama, dalam tajuk ”Sejarah Mencatat Prestasi Obama”. Saragih menulis, mengutip laporan jurnalistik Associated Press, bahwa Obama bukan menemukan jati diri sebagai kulit hitam, tetapi mencoba membuat kehidupan Amerika Serikat tidak dipecah oleh ras. Awalnya, ia tak terpikir menjadi presiden, walau ketika sekolah di SD Asisi Jakarta, dalam pelajaran mengarang ia menuliskan ingin menjadi presiden.
Sebagai aktivis sosial di Chicago, ia melihat kemiskinan dan ketertinggalan warga kulit hitam. Sistem adalah penyebab semua itu. Untuk mengubahnya, Obama sadar hal itu harus dilakukan melalui gerakan politik.
Pada 2004, ia bertarung menjadi Senat AS dan menang. Hal ini tak lepas dari ketenaran yang diraihnya ketika menyampaikan pidato pada konvensi Partai Demokrat tahun 2004, mengantar John F Kerry sebagai nomine presiden Demokrat. Dari sinilah ia memutuskan diri menjadi calon presiden. Dan ternyata pilihannya tidak salah. Setelah melalui pertarungan yang sangat seru dan sengit dengan bakal calon presiden yang lain, termasuk dengan sang nyonya Clinton, pujaan dan idola istri saya, Obama akhirnya berhasil membuktikan diri bahwa bahwa angin perubahan itu kini menghembusi negeri Uncle Sam itu.
Ferdinandus Setu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar