Kamis, 05 Juni 2008

Saya berteriak kegirangan ketika TvOne, Rabu (4/6), melalui program berita Kabar Malam, menyiarkan kemenangan Barrack Obama (46) atas rivalnya Hilarry Clinton pertarungan menjadi calon presiden Amerika Serikat Partai Demokrat. Berita kemenangan ini adalah salah satu peristiwa penting yang paling saya tunggu sejak konvensi Partai Demokrat digelar. Benar-benar penantian yang panjang sejak awal Januari 2008. Saya memang pengagum senator Illinois itu. Kekaguman saya akan senator afro-amerika ini justru mendapat perlawanan serius dari istri saya. Pasalnya, ia adalah pendukung Hillary Clinton. Kemenangan Obama menggembirakan saya sekaligus membuat istri saya sedih sebab jagoannya kalah dalam pertarungan tersengit itu.

Pagi ini, Kamis saya segera mencek inbox email saya. Sudah ada tiga email dari Barack Obama, tepatnya dari pengelola situs www.BarrackObama.com untuk saya. Masing-masing dengan subjek : the nomination, its our time, dan almost there. Ketiga email itu menyampaikan kemenangan Obama atas Hillary. Obama telah mengumpulkan 2.179 delegasi. Ia telah melewati angka 2.118 yang ditetapkan Partai Demokrat. (Untuk diketahui sejak bulan Oktober 2007, saya telah bergabung dengan situs resmi Barrack Obama, sehingga setiap saat dikirim email tentang perkembangan pemilihan pendahuluan di Negeri Paman Sam itu).

Pagi ini, saya ingin mencatat tentang Obama. Sosok politisi yang telah membuat saya terpikat. Slogan: Change yang menjadi tagline politik tahun ini merasuk benak dan hati setiap manusia yang menghendaki perubahan, termasuk saya. Obama benar-benar membara. Ia telah mencatat sejarah, menjadi calon presiden AS kulit hitam pertama dari Partai Demokrat. Ini terjadi di negara yang selama ratusan tahun telah menjadikan kulit hitam sebagai budak dan sempat melahirkan perlawanan. Ia menapaki kehidupan pahit, ditinggal ayahnya, Barack Hussein Obama asal Kenya, yang punya tiga istri lain, selain ibu kandung Obama, Stanley Ann Dunham. Ibu kandungnya pun kemudian menikah dengan Lolo Soetoro.

Ia menjadi sebatang kara setelah ibunya memilih berangkat ke Indonesia, mengikuti suami kedua. Ikhwal bahwa Obama memiliki seorang ayah tiri berkebangsaan Indonesia, mungkin salah satu faktor saya mengidolakan dan mendukung Obama. Setelah sempat tinggal di Indonesia, Obama memilih kembali ke Hawaii, tinggal bersama kakek dan nenek kulit putih. Pergulatan hidup dimulai karena hidup tanpa orangtua kandung, diiringi segregasi ras lingkungan di Punahou, Hawaii.

Banyak orang mencatat bahwa Obama berprestasi di sekolah. Hal ini mungkin turun dari ibunya yang cerdas dan pendobrak kebuntuan politik AS. Ayahnya juga pintar, mendapatkan beasiswa pada era Presiden John F Kennedy, yang merupakan salah tokoh idola Obama.

Dunia mencatat bahwa para wanita AS, yang menjadi ibu tunggal, menjadikan Obama sebagai pemberi semangat. Tanpa orangtua lengkap, Obama bangkit dan kini jadi calon presiden. Kita tahu bahwa Obama tak mengenal ayah secara dekat, tetapi ia selalu mengingat petuah ayahnya untuktidak menangis dan menatap masa depan. Air matanya mengalir ketika pesawat ayahnya lenyap di Samudra Pasifik saat terakhir kali menemui Obama di Hawaii tahun 1971.

Wall Street Journal Edis Asia, Kamis, 5 Juni menjadikan kemenangan Obama sebaga headline. Tulisan-tulisan lainnya di surat kabar itu juga menjadikan Obama sebagai topic of to day. Koran itu mencatat bahwa Obama yang suka bergaul kemudian melanjutkan sekolah ke California, kemudian ke Columbia University (New York, lulus 1983) dan Harvard University (Cambridge, lulus 1991).

Pada 1992, ia menikahi Michelle Robinson, lulusan Princeton dan Harvard, dengan latar belakang keluarga yang harmonis. Mereka dikaruniai dua orang putri, Malia Ann (9 tahun) dan Natasha (7 tahun). Kehidupan dengan Michelle,menutupi babak kegelisahan hidup Obama yang sempat terjerumus narkoba.

Wartawan Kompas, Simon Saragih, pada Kompas, edisi Kamis, 5 Juni 2008 menulis soal Obama, dalam tajuk ”Sejarah Mencatat Prestasi Obama”. Saragih menulis, mengutip laporan jurnalistik Associated Press, bahwa Obama bukan menemukan jati diri sebagai kulit hitam, tetapi mencoba membuat kehidupan Amerika Serikat tidak dipecah oleh ras. Awalnya, ia tak terpikir menjadi presiden, walau ketika sekolah di SD Asisi Jakarta, dalam pelajaran mengarang ia menuliskan ingin menjadi presiden.

Sebagai aktivis sosial di Chicago, ia melihat kemiskinan dan ketertinggalan warga kulit hitam. Sistem adalah penyebab semua itu. Untuk mengubahnya, Obama sadar hal itu harus dilakukan melalui gerakan politik.

Pada 2004, ia bertarung menjadi Senat AS dan menang. Hal ini tak lepas dari ketenaran yang diraihnya ketika menyampaikan pidato pada konvensi Partai Demokrat tahun 2004, mengantar John F Kerry sebagai nomine presiden Demokrat. Dari sinilah ia memutuskan diri menjadi calon presiden. Dan ternyata pilihannya tidak salah. Setelah melalui pertarungan yang sangat seru dan sengit dengan bakal calon presiden yang lain, termasuk dengan sang nyonya Clinton, pujaan dan idola istri saya, Obama akhirnya berhasil membuktikan diri bahwa bahwa angin perubahan itu kini menghembusi negeri Uncle Sam itu.

Pagi ini saya begitu bersemangat. Pagi ini saya begitu bergembira. Barrack Obama, idola saya, telah memastikan langkahnya untuk menjadi Calon Presiden Amerika Serikat dari Partai Glokar. Ia akan bertarung ke kursi AS-1 melawan calon presiden dari partai Republik John McCain pada Selasa Pertama November tahun ini. Doa dan harapan saya : Obama akan menang dan menjadi Presiden kulit hitam pertama bagi Amerika Serikat, sebuah negara yang pernah melanggengkan praktik diskriminasi warna kulit.

Barrack Obama. Obama membara. Membara Obama.

Salam,

Ferdinandus Setu

Tidak ada komentar: