Kamis, 05 Juni 2008

Menjadi Dadang

Anda kenal Dadang? Ia muncul di layar kaca Trans-TV saban hari Senin hingga Jumat pukul 18.00 s.d. pukul 19.00. Ia adalah salah satu karakter Siitkom Suami-Suami Takut Istri. Mbak Ira Meida pernah menulis ikhwal sitkom ini di situs www.wikimu.com, pada tanggal 13 November 2007 dalam tajuk ”Sitkom Suami-Suami Takut : Menggusur Dominasi Para Pria??? Banyak pembaca Wikimu yang memberikan komentar atas sitkom andalan Trans TV tersebut. Ada yang menyatakan sangat menyukai sitkom yang benar-benar komikal itu.

Perihal sitkom ini mari kita lihat catatan situs Wikipedia. Suami-suami Takut Istri adalah sebuah sitkom yang ditayangkan di Trans TV. Seri ini digarap oleh rumah produksi Multivision Plus di bawah arahan sutradara Sofyan De Surza. Program ini tayang setiap Senin hingga Jumat, pukul 18.00 WIB, sejak 15 Oktober 2007. Sitkom ini diperankan oleh Otis Pamutih sebagai Sarmili (Pak RT), Aty Fathiyah sebagai Sarmila (Bu RT), Marissa sebagai Sarmilila, Irvan Penyok sebagai Karyo, Putty Noor sebagai Sheila, Yanda Djaitov sebagai Tigor, Asri Pramawati sebagai Welas, Ramdan Setia sebagai Faisal, Melvy Noviza sebagai Deswita, Epy Kusnandar sebagai Mang Dadang, Desi Novitasari sebagai Pretty, Ady Irwandi sebagai Garry.

Suami-suami Takut Istri mengangkat fenomena suami-suami yang tinggal di suatu area perumahan. Mereka semua memiliki kesamaan yaitu berada di bawah dominasi istri-istri mereka. Perasaan ‘senasib sepenanggungan’ ini tumbuh makin kuat, sehingga mereka membentuk aliansi tidak resmi bagi suami-suami yang takut istri ini.

Mereka saling mendukung dan mencela. Saling menguatkan agar tidak lagi mau ditindas, walaupun seringkali sang pemberi nasihat justru masih takut istri juga. Para istri di komplek perumahan tersebut juga membentuk perkumpulan yang sama. Mereka saling memberi dukungan agar tidak kehilangan kendali atas suami-suami mereka.

Salah satu karakter yang telah saya sebut di awal tulisan ini adalah Dadang, seorang Satpam Perumahan. Karakter ini diperankan oleh komedian Epy Kusnandar. Sepanjang amatan saya, sejak Oktober 2007 hingga awal Juni 2008 ini, karakter Dadang tak pernah berubah: Ia benar-benar manusia yang mendewakan uang, menempatkan uang di atas segala-galanya. Bagi Dadang, uang memang benar-benar tak punya saudara, money have no brother and sister.

Dalam sebuah episode, ketika hendak menyampaikan informasi penting kepada Pak RT and the gank, mang Dadang pura-pura keselak, tenggorokannya tiba-tiba macet. Itu adalah satu bahasa isyarat Dadang untuk meminta uang dari Pak Sarmili, Mas Karyo, Bang Tigor, dan Uda Faisal.

Pada episode yang lain ketika hendak mengambil gambar Bu RT, Welas, Deswita dan Sheila, Dadang tiba-tiba seperti orang stroke, ia tidak bisa menggerakan jari tangannya. Para ibu kompleks perumahan itu pun mahfum bahwa Dadang meminta upeti sebelum mengambil gambar mereka. Maka ceban atau goban pun melayang ke saku Mang Dadang. Hampir setiap episode mang Dadang selalu berulah untuk mendapatkan rupiah dari siapapun, setiap penghuni komplek perumahan itu, setiap tamu yang datang, setiap orang yang menanyakan alamat rumah. pokoknya, siapapu pasti harus menyetor rupiah ke Dadang sebelum mendapatkan bantuan atau pertolongan ringan darinya. Dengan begitu, kita lihat, Dadang bisa menghidupi ketiga istrinya dan keenam anaknya. Uang, bagi Dadang, adalah segalanya.

Ah Dadang. Ah Uang. Mengingat Dadang, mengingat uang saya selalu teringat pada sebuah proverbia Cina. With money you can buy a house, but not a Home .With money you can buy a clock, but not Time .With money you can buy a bed, but not Sleep.With money you can buy a book, but not Knowledge .With money you can see a doctor, but not Good health.With money you can buy a position, but not Respect .With money you can buy blood, but not Life.With money you can buy sex, but not Love.

Saya merindukan sebuah adegan Sitkom Suami-Suami Takut Istri yang mengambarkan Dadang berubah sikapnya, ia tak lagi matre, ia tak lagi mata duitan. Tapi kayaknya rindu saya tak bakal terwujud. Pasalnya, saat ini semua orang berlomba-lomba mendapatkan uang, berlomba-lomba mengumpulkan uang. Dari yang paling halal, hingga yang haram sekalipun. Dari yang masuk akal, hingga yang tidak masuk akal sekalipun. Dari yang harus berjuang memeras keringat, hingga yang tinggal menunggu hujan uang dari Tung Desem Waringin, sang hartawan dan motivator.

Dadang adalah perwujudan manusia kapitalis, manusia yang menempatkan uang, duit, rupiah alias dolar di atas segalanya. Bahkan ada yang telah menjadikan uang sebagai tuhan di muka bumi. Ia disembah, ia dipuja bak dewa.

Jika kita merenungkan proverbial Cina di atas, kita dapat mendapatkan gambaran bahwa sejatinya, uang bukanlah segalanya. Uang hanya bisa diapakai untuk membeli rumah, tapi bukan kenyamanan. Duit hanya bisa dipakai untuk membeli sex tapi bukan cinta. Rupiah hanya bisa untuk membeli obat, tapi bukan kesehatan. Dollar hanya bisa dipakai untuk membeli jabatan, tapi bukan respek. Dan seterusnya.

Saya pikir, jika kita telah paham dan mau menghayati proverbial Cina ini, kita tak akan pernah menjadi Dadang. Kita akan menempatkan uang pada porsi yang tepat, pada porsi yang sewajarnya, dan tidak menjadikannya sebagai tuhan di jagat raya ini.


Salam,

Ferdinandus Setu

Saya berteriak kegirangan ketika TvOne, Rabu (4/6), melalui program berita Kabar Malam, menyiarkan kemenangan Barrack Obama (46) atas rivalnya Hilarry Clinton pertarungan menjadi calon presiden Amerika Serikat Partai Demokrat. Berita kemenangan ini adalah salah satu peristiwa penting yang paling saya tunggu sejak konvensi Partai Demokrat digelar. Benar-benar penantian yang panjang sejak awal Januari 2008. Saya memang pengagum senator Illinois itu. Kekaguman saya akan senator afro-amerika ini justru mendapat perlawanan serius dari istri saya. Pasalnya, ia adalah pendukung Hillary Clinton. Kemenangan Obama menggembirakan saya sekaligus membuat istri saya sedih sebab jagoannya kalah dalam pertarungan tersengit itu.

Pagi ini, Kamis saya segera mencek inbox email saya. Sudah ada tiga email dari Barack Obama, tepatnya dari pengelola situs www.BarrackObama.com untuk saya. Masing-masing dengan subjek : the nomination, its our time, dan almost there. Ketiga email itu menyampaikan kemenangan Obama atas Hillary. Obama telah mengumpulkan 2.179 delegasi. Ia telah melewati angka 2.118 yang ditetapkan Partai Demokrat. (Untuk diketahui sejak bulan Oktober 2007, saya telah bergabung dengan situs resmi Barrack Obama, sehingga setiap saat dikirim email tentang perkembangan pemilihan pendahuluan di Negeri Paman Sam itu).

Pagi ini, saya ingin mencatat tentang Obama. Sosok politisi yang telah membuat saya terpikat. Slogan: Change yang menjadi tagline politik tahun ini merasuk benak dan hati setiap manusia yang menghendaki perubahan, termasuk saya. Obama benar-benar membara. Ia telah mencatat sejarah, menjadi calon presiden AS kulit hitam pertama dari Partai Demokrat. Ini terjadi di negara yang selama ratusan tahun telah menjadikan kulit hitam sebagai budak dan sempat melahirkan perlawanan. Ia menapaki kehidupan pahit, ditinggal ayahnya, Barack Hussein Obama asal Kenya, yang punya tiga istri lain, selain ibu kandung Obama, Stanley Ann Dunham. Ibu kandungnya pun kemudian menikah dengan Lolo Soetoro.

Ia menjadi sebatang kara setelah ibunya memilih berangkat ke Indonesia, mengikuti suami kedua. Ikhwal bahwa Obama memiliki seorang ayah tiri berkebangsaan Indonesia, mungkin salah satu faktor saya mengidolakan dan mendukung Obama. Setelah sempat tinggal di Indonesia, Obama memilih kembali ke Hawaii, tinggal bersama kakek dan nenek kulit putih. Pergulatan hidup dimulai karena hidup tanpa orangtua kandung, diiringi segregasi ras lingkungan di Punahou, Hawaii.

Banyak orang mencatat bahwa Obama berprestasi di sekolah. Hal ini mungkin turun dari ibunya yang cerdas dan pendobrak kebuntuan politik AS. Ayahnya juga pintar, mendapatkan beasiswa pada era Presiden John F Kennedy, yang merupakan salah tokoh idola Obama.

Dunia mencatat bahwa para wanita AS, yang menjadi ibu tunggal, menjadikan Obama sebagai pemberi semangat. Tanpa orangtua lengkap, Obama bangkit dan kini jadi calon presiden. Kita tahu bahwa Obama tak mengenal ayah secara dekat, tetapi ia selalu mengingat petuah ayahnya untuktidak menangis dan menatap masa depan. Air matanya mengalir ketika pesawat ayahnya lenyap di Samudra Pasifik saat terakhir kali menemui Obama di Hawaii tahun 1971.

Wall Street Journal Edis Asia, Kamis, 5 Juni menjadikan kemenangan Obama sebaga headline. Tulisan-tulisan lainnya di surat kabar itu juga menjadikan Obama sebagai topic of to day. Koran itu mencatat bahwa Obama yang suka bergaul kemudian melanjutkan sekolah ke California, kemudian ke Columbia University (New York, lulus 1983) dan Harvard University (Cambridge, lulus 1991).

Pada 1992, ia menikahi Michelle Robinson, lulusan Princeton dan Harvard, dengan latar belakang keluarga yang harmonis. Mereka dikaruniai dua orang putri, Malia Ann (9 tahun) dan Natasha (7 tahun). Kehidupan dengan Michelle,menutupi babak kegelisahan hidup Obama yang sempat terjerumus narkoba.

Wartawan Kompas, Simon Saragih, pada Kompas, edisi Kamis, 5 Juni 2008 menulis soal Obama, dalam tajuk ”Sejarah Mencatat Prestasi Obama”. Saragih menulis, mengutip laporan jurnalistik Associated Press, bahwa Obama bukan menemukan jati diri sebagai kulit hitam, tetapi mencoba membuat kehidupan Amerika Serikat tidak dipecah oleh ras. Awalnya, ia tak terpikir menjadi presiden, walau ketika sekolah di SD Asisi Jakarta, dalam pelajaran mengarang ia menuliskan ingin menjadi presiden.

Sebagai aktivis sosial di Chicago, ia melihat kemiskinan dan ketertinggalan warga kulit hitam. Sistem adalah penyebab semua itu. Untuk mengubahnya, Obama sadar hal itu harus dilakukan melalui gerakan politik.

Pada 2004, ia bertarung menjadi Senat AS dan menang. Hal ini tak lepas dari ketenaran yang diraihnya ketika menyampaikan pidato pada konvensi Partai Demokrat tahun 2004, mengantar John F Kerry sebagai nomine presiden Demokrat. Dari sinilah ia memutuskan diri menjadi calon presiden. Dan ternyata pilihannya tidak salah. Setelah melalui pertarungan yang sangat seru dan sengit dengan bakal calon presiden yang lain, termasuk dengan sang nyonya Clinton, pujaan dan idola istri saya, Obama akhirnya berhasil membuktikan diri bahwa bahwa angin perubahan itu kini menghembusi negeri Uncle Sam itu.

Pagi ini saya begitu bersemangat. Pagi ini saya begitu bergembira. Barrack Obama, idola saya, telah memastikan langkahnya untuk menjadi Calon Presiden Amerika Serikat dari Partai Glokar. Ia akan bertarung ke kursi AS-1 melawan calon presiden dari partai Republik John McCain pada Selasa Pertama November tahun ini. Doa dan harapan saya : Obama akan menang dan menjadi Presiden kulit hitam pertama bagi Amerika Serikat, sebuah negara yang pernah melanggengkan praktik diskriminasi warna kulit.

Barrack Obama. Obama membara. Membara Obama.

Salam,

Ferdinandus Setu

Selasa, 03 Juni 2008

Mengiklankan Politik

MAKIN dekat pemilu, makin banyak iklan politik di koran dan televisi.

Kita mencatat ada tiga tokoh politik yang tengah melakukan aksi iklan politik yakni Sutrisno Bachir, Wiranto, dan Prabowo Subianto. Sutrisno Bachir, sang ketua umum Partai Amanat Nasional, tampil dengan iklan ”Hidup adalah perbuatan” dan ”puisi Chairil Anwar : sekali berarti sudah itu mati”. Wiranto, pendiri Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) hadir dengan iklan ”makan nasi aking” dan ”menagih janji SBY”. Sementara Prabowo Subianto, sang menantu mendiang Soeharto, tampil dengan ”himpunan kerukunan tani Indonesia”.

Banyak yang sinis dengan iklan politik. Ada yang berpendapat ”mereka telah mencuri start kampanye”. Ada yang berargumen ”percuma saja buang-buang duit untuk iklan, tak ada rakyat yang bisa dibuai janji manis lagi”. Bahkan rubrik Panji Koming di Kompas pernah mengkritik iklan Sustrisno Bachir, bahwa tidak tepat hidup adalah perbuatan, yang tepat: hidup adalah kelakukan. Memang sangat beragam tanggapan publik atas iklan-iklan para politisi ini.

Iklan politik selalu mengundang kontroversi. Menurut catatan saya, sejak pertama kali muncul di televisi tahun 1952, iklan politik selalu mengundang perdebatan, terkait etika dan hukum. Contoh, iklan politik Lyndon B Johnson tahun 1964, yang kondang disebut iklan “Bunga Daisy”. Dalam spot iklan ditayangkan seorang gadis cilik tengah memetik bunga aster (daisy) saat sebuah bom atom meledak dengan jamur api mahadahsyat membumbung tinggi. Iklan politik itu dimaksudkan untuk menyebarkan ketakutan rakyat mengenai kecenderungan Barry Goldwater, lawan politik Johnson, untuk memulai sebuah perang nuklir dengan Uni Soviet.

Iklan politik itu hanya ditayangkan sekali pada 7 September 1964 di televisi CBS sebab Goldwater mengancam menggugat Johnson dengan tuduhan fitnah dan pencemaran nama baik. Meski dicabut, iklan itu berulang-ulang ditayangkan dalam pemberitaan setelah kontroversi menjadi perdebatan publik. “Bunga Daisy” merupakan satu dari ratusan iklan politik sepanjang lebih dari 50 tahun sejarah perkembangannya. Iklan politik selalu menarik perhatian publik AS selama 13 kali pemilihan presiden, meski diperlukan uang luar biasa besar. Pada kampanye Pemilu 1988, tiap calon presiden mengeluarkan dana rata-rata 228 juta dollar AS untuk belanja iklan politik. Jumlah ini sekitar 8,4 persen dari biaya kampanye keseluruhan.

Belakangan, biaya iklan politik meroket. Sutrisno Bachir, melalui iklan hidup adalah perbuatannya dan puisi Chairil, konon, menghabiskan anggaran sebesar Rp 20 miliar. Kabarnya iklan Sutrisno Bachir yang juga pengusaha asal Pekalongan itu, digagas dan dieksekusi oleh Rizal Malarangeng. (Makanya Rizal menampilkan idolanya Chairil Anwar ke dalam iklan politik Sutrisno Bachir). Rp 20 milair, luar biasa besar. Setidaknya besaran angka yang sama harus dikeluarkan oleh Wiranto dan Prabowo Subianto. Pertanyaannya, bisakah uang sebanyak itu membeli suara? Kita tak tahu pasti. Hanya waktu yang bisa menjawabnya kekal, di dua ribu sembilan.

(Kita ingat baha iklan adalah media promosi produk tertentu, dengan tujuan produk yang ditawarkan terjual laris. Untuk itu iklan dibuat semenarik mungkin, sehingga terkadang dapat dinilai terlalu berlebihan, serta mengabaikan sisi psikologis, sosiologis, ekologis, dan estetika penonton atau sasaran produk yang diiklankan).

Kita ingat pula peristiwa perseruan antara Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Hatta Radjasa -mewakili kepentingan Presien Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)- dengan Wiranto terkait iklan Wiranto soal ”menagih janji”. Dalam iklan itu, Wiranto meminta agar SBY menepati janji untuk tidak menaikkan harga BBM. Tapi, menurut Hatta, SBY tidak pernah berjanji untuk tidak menaikkan harga BBM.

Iklan kini tidak lagi sekadar alat promosi barang dan jasa. Fungsinya pun telah bergeser dari alat marketing menjadi instrumen public relations (PR). Bahkan, kini fungsi iklan mendiversifikasi pula dari alat marketing produk barang komersial menjadi instrumen marketing politik. Instrumen yang terakhir ditujukan untuk mengangkat citra dan popularitas tokoh yang sedang berjuang dalam kompetisi politik.

Saat ini misalnya, selain Wiranto, ada Prabowo Subianto dan Soetrisno Bachir yang mengiklankan diri. Siapa pun bisa menduga bahwa iklan marketing politik mereka itu ditujukan untuk "menjual diri" agar citra dan popularitasnya meningkat. Tidak terlalu sulit menebak tujuan para tokoh itu beriklan. Untuk keperluan persaingan dalam pemilu legislatif 2009 dan pemilihan presiden 2009.

Karena iklan tokoh-tokoh politik itu terkait dengan upaya mereka untuk -diperkirakan begitu- menjadi calon presiden, sangatlah mungkin tema-tema iklan pada babak berikutnya akan menggunakan teks, tema, serta gambar yang isinya saling serang. Saling mengkritik. Bahkan, saling melontarkan kecaman untuk menjatuhkan popularitas lawan politik masing-masing.

Kita saksikan bahwa, kualitas pribadi tokoh, seperti postur fisik, kecakapan, hobi, prestasi, rekam jejak, dan kemampuan tertentu yang dianggap istimewa, bisa "dipromosikan" sebagai bentuk pencitraan diri. Sebagai tokoh yang berkapasitas dan berkompetensi untuk menjadi anggota parlemen, perdana menteri (PM), atau calon presiden.

Perbedaannya, jika dalam marketing produk bisnis dan industri ending yang diharapkan dari capaian iklan adalah naiknya omzet atau volume penjualan, dalam marketing politik, ending-nya adalah tercapainya dukungan politik melalui pemilu. Mungkin yang sama adalah harapan untuk meningkatkan image. Baik dalam marketing barang industri komersial maupun marketing politik, capaian lain yang tidak kalah penting diharapkan adalah image (prestise) dan popularitas. Yakni, image tentang merek dagang serta image dan popularitas pribadi tokoh.

Saya berpendapat, siapapun yang ingin melakukan aksi meningklankan dirinya, mengiklankan visi dan misi (juga gisi)-nya kepada publik. Namun perlu diperhatikan bahwa dalam iklan politik, seharusnya yang ditonjolkan adalah progam unggulan tokoh yang bersangkutan. Program politik unggulan itulah yang harus dikemas menjadi komoditas politik. Juga, citra diri, kredibilitas, kapasitas, serta kompetensi tokoh itu sebagai calon pemimpin politik, sehingga apa yang ingin disampaikan benar-benar ”sampai” ke benak dan hati publik.

Ingat, berapapun besar biaya yang dikeluarkan oleh para politisi untuk beriklan, jika tidak ditunjang oleh kemampuan diri, komptensi politik, jaringan politik, serta kekuatan hati nurani, saya yakin tak akan memenangakan hati rakya.

Ingat, rakyat dalam pemilihan presiden tahun depan, adalah hakim yang paling tepat untuk menentukan pilihanya. Sah-sah saja Anda beriklan, tapi yang penting: perhatikan dan dengarkan keluahan dan rintihan penderitaan rakyat.


Salam,

Ferdinandus Setu.

Minggu, 01 Juni 2008

Menolak Uang

Sebuah tindakan marketing digelar, Minggu, 1 Juni 2008 di sebuah lapangan terbuka Serang, Banten. Konon, 100 juta rupiah dicurhahkan dari atas pesawat mini ke ratusan orang yang berkumpul di lapangan. Karena saya tidak melihat langsung pembagian uang tersebut, maka ada baiknya kita simak aja laporan wartawan Kompas berikut ini.

Ratusan warga Kota Serang, Banten, berebut uang yang dikabarkan senilai Rp 100 juta yang disebarkan melalui pesawat di Stadion Baladika, Group I Kopassus, Taman, Kecamatan Taktakan, Serang, Banten, Minggu (1/6/08), oleh motivator Tung Desem Waringin. Satu orang pingsan dan beberapa orang luka ringan karena berlarian memperebutkan uang.

Satu warga yang pingsan itu bernama Putri (13), dan langsung dilarikan ke Klinik Kopassus. Putri pingsan setelah berlari-lari mengejar satu lembar uang pecahan Rp 1.000. Salah satu warga yang luka ringan bernama Rian (19). Kuku jempol kaki pemuda asal Purwodadi, Semarang, Jawa Tengah, itu terkelupas karena terinjak-injak sepatu warga lain saat berdesakan. Padahal, dia hanya mendapatkan 30 lembar uang pecahan Rp 1.000.

Sementara itu, pesawat tiba di atas Taman Kopassus sekitar pukul 09.30. Petugas dalam pesawat itu langsung menyebarkan uang pecahan Rp 1.000, Rp 5.000, dan Rp 10.000, sejumlah voucher seminar, voucher pembelian barang, dan sebagainya. Ratusan orang, baik laki-laki maupun perempuan dan juga anak-anak, langsung berebut uang yang disebarkan di udara. Sebagian berlarian di dalam stadion, dan sebagian lainnya berusaha untuk mengejar uang hingga keluar stadion.Sebagian warga memperoleh uang puluhan ribu rupiah per orang. Salah satunya Itoh, warga Perumahan Taman Pesona, Desa Lialang, Kecamatan Taktakan, memperoleh Rp 50.000.

Ada juga warga yang mendapat uang hingga ratusan ribu rupiah. Salah satunya Tati, yang juga bertempat tinggal di Perumahan Taman Pesona. Dia tidak menyangka akan memperoleh segepok uang karena tidak berusaha lari mengejar uang yang disebar. ”Saya itu berdiri saja, enggak lari. Tiba-tiba ada uang segepok jatuh di dekat saya, langsung saya tiduri uang itu biar enggak diambil orang lain,” katanya. Setelah dihitung, jumlah uang yang didapat Tati mencapai Rp 700.000. Selain itu, dia juga memperoleh tiga lembar voucher senilai Rp 3,7 juta per lembar.

Meskipun demikian, banyak juga warga yang sama sekali tidak memperoleh uang. Salah satunya Jumenah, warga Kampung Gurunggui, Desa Lialang, yang datang bersama tiga anaknya. ”Sama sekali enggak dapat, pas lari anak nangis. Orang berebutan begitu,” tutur Jumenah saat berjalan pulang dari stadion.

Hingga penyebaran uang selesai sekitar pukul 10.15 masih banyak warga yang berkumpul di stadion. Mereka sengaja menunggu uang yang tersangkut di pepohonan.

Meski mengaku senang mendapatkan uang secara tidak terduga, warga menyesalkan cara pembagian uang. Menurut warga, seharusnya uang dibagi-bagikan dengan merata sehingga mereka tidak perlu berebutan.

Itulah laporan pandangan mata atau reportase wartawan Kompas yang dimuat pada Kompas, Senin, 2 Juni 2008. Saya sengaja mengutip berita ini secara lengkap, biar kita mendapatkan gambaran utuh atas peristiwa unik dan langka tersebut.

Ada pro dan kontra atas ulah sang motivator. Kita simak beberapa pendapat yang muncul di beberapa blog mengenai peristiwa ini. “….sepertinya nggak ada korelasinya antara bagaimana bukunya bisa laku..apalagi yang bakal rebutan duitnya justru bukan target segmen pemasarannya...” “…Yang pasti acara ini pake izin polisi, kalo enggak bisa ditangkep karena mengacaukan lingkungan...maklum rebutan duit”. “Terlepas tujuannya mau promosi atau ngga, i think it's sad..that somebody as smart as him can come up with such stupid idea, seriously”.Itu beberapa komentar para blogger, yang dapat saya himpun.

Aksi marketing Tung Desem Waringin dalam rangka promosi buku berjudul markeing revolution itu memang revolusioner. Tindakannya mengundang pro dan kontra karena ia memang melakukan aksi yang berhubungan dengan uang, duit, rupiah.

Kita tentu sepakat bahwa, uang ( money ), tentu saja tidak sekadar alat pembayaran yang sah atau sebagai alat tukar resmi di suatu negeri. Uang bagi masyarakat urban dan metropolitan merupakan simbol status sosial dan kesewenang-wenangan. Mungkin juga pertanda keserakahan dan kebinalan bermanipulasi. Ada yang berpendapat bahwa uang itu pendusta sejati! Dia pun pandai menipu, bahkan kepada dirinya sendiri. Dan, Tuhan sekalipun, tega diperdayainya. Saat ini, kita sepakat baha uang begitu berkuasa di Bumi ini.

Mar kita lihat pandangan para filsuf atas uang. Aristoteles (384-322 SM), sang filsuf Yunani Kuno yang pernah mengatakan “ It is better to pay a creditor than to give to a friend ”, dalam karyanya Nichomachean Ethics , menulis: “ Money has become by convention ‘money'—because it is exists not only by nature but by law (nomos) and it is in our power to change it and make it useless ”. Nilai uang itu tidak ditentukan secara kodrati, melainkan oleh hukum yang dibuat sendiri oleh manusia.

Fakta ini tentunya tak dapat dibantah. Dan, Aristoteles benar. Kita tentu masih ingat sejarah gejolak moneter yang pernah terjadi di Indonesia, bagaimana nilai rupiah berfluktuasi (naik turun) terhadap mata uang US$ (dolar Amerika Serikat). Peristiwa moneter ini sebagai akibat dari kebijakan pemerintah, baik dalam sanering (1959 dan 1966) maupun kebijakan devaluasi (1983 dan 1986). Dan nilai mata uang rupiah pun ditentukan oleh pemerintah, terlepas dari nilai intrinsiknya. Hukum pemerintah ( nomos ) memberi nama ( nomina ) kepada uang ( nomisma). Di sini, nomos memberi nomina kepada nomisma .

Georg Simmel (1858-1918), generasi pertama Sosiolag Jerman yang menghabiskan masa hidupnya di Berlin, adalah satu-satunya yang membahas uang (dari perspektif filsafat) dan menuliskan dalam buku monumental, Philosophie des Geldes ( The Philosophy of Money ; Filsafat Uang, 1900. Ia mengatakan
bahwa uang memperbesar kebebasan individu dalam masyarakat. Dan itu berarti uang memberi keleluasaan individu untuk, katakanlah, mengaktualkan diri. Uang memperluas lingkup sosial karena sifatnya yang impersonal, dan karenanya berhubungan dengan semakin ringannya kewajiban sosial. Kita dapat mengatakan bahwa dengan kepemilikan uang akan terjadi apa yang disebut sebagai “ leisure time ”, yang sebenarnya dapat mengaktualkan diri. Misalnya, tugas ronda malam—terutama menjelang Pemilu—yang merupakan salah satu “kewajiban sosial, kini dapat dihindari hanya dengan membayar sejumlah uang.

Terkait uang, ada adagium “ Time is money ” (waktu adalah uang), bagi mereka yang dapat memanfaatkan uang—bukan dimanfaatkan oleh uang; mungkin terjadi kebalikannya.
“ Money is time ”, uang adalah waktu. “ Money is time and energy ”. Kita tentu sepakat dengan apa yang dikatakan essayist Inggris, Samuel Johnson (1709-1784), “ Money and time are the heaviest burdens of life, and... the unhappiest of all mortals are those who have more of either than they know how to use ”.

Kita ingat bahwa “Vita est Militia” hidup adalah perjuangan. Demikian kata sebuah adagium Latin. Itulah hidup. Perjuangan dalam hidup adalah satu hal yang semestinya agar hidup ini layak untuk dihidupi. Perjuangan hidup selalu berkiblat dan berorientasi pada tujuan dari keberadaan manusia itu sendiri. Orientasi hidup manusia adalah kebahagiaan seutuhnya, jasmani-rohani, lahir batin. Karena itulah, manusia mengenakan dalam dirinya identitas makluk pekerja (homo faber). Kebahagiaan hidup diperjuangkan melalui kerja keras, membanting tulang, mencari nafkah dan berbagai aktus kultivasi manusia lainnya. Jadi, untuk mendapatkan kebahagiaan di bumi, kita perlu berjuang. Berjuang dalam pengertian sebenarnya, bukan berjuang mengejar kucuran uang dari langit yang disebarkan oleh Tung Desem Waringin.

Sikap saya atas tindakan Tung Desem Waringin mencurahkan uang dari atas langit kepada warga miskin adalah satu: Memberikan sebagian kekayaan kepada orang lain adalah tindakan yang sangat terpuji. Tapi sekali lagi, memberi demi gimmick marketing dan demi popularitas diri, sangat saya sesali. Apalagi di zaman yang lagi susah seperti ini. Jangan mencederai kemiskinan warga dengan tindakan yang tidak berhatinurani. Marketing yes, tapi jangan menciderai nurani orang miskin.

Mari menolak uang yang diberikan atas gimmick marketing. ( sebab kita dapat seribu rupiah, dia dapat jutaan rupiah). Mari menolak uang yang diberikan demi pamer diri. Mari menolak uang hasil korupsi.

Salam,

Ferdinandus Setu

Membunuh Televisi

Belum lama ini, Komisi Penyiaran Indonesia Pusat meminta masyarakat untuk mewaspadai 10 program acara yang dianggap bermasalah yang ditayangkan sembilan stasiun TV swasta nasional Indonesia.

Ketua KPI Pusat, Sasa Djuarsa Yahya, dalam jumpa pers di kantor KPI di Jakarta, Jumat, mengatakan 10 program acara TV tersebut yaitu Cinta Bunga (SCTV), Dangdut Mania Dadakan 2 (TPI), Extravaganza (TransTV), Jelita (RCTI), Mask Rider Blade (ANTV), Mister Bego (ANTV), Namaku Mentari (RCTI), Rubiah (TPI), Si Entong (TPI), dan Super Seleb Show (Indosiar).

Sasa mengatakan dari hasil pantauan KPI selama periode 1 - 13 April, 10 acara TV tersebut paling banyak melanggar Standar Program Siaran KPI, antara lain melanggar norma kesopanan dan kesusilaan dengan banyak menampilkan kekerasan, menampilkan kata-kata kasar, merendahkan dan melecehkan orang lain.

Acara variety show Super seleb Show di Indosiar, misalnya, dianggap terlalu menampilkan rangkaian kata-kata kasar, melecehkan dan merendahkan orang lain (secara khusus sering melecehkan orang dengan kelompok dan bentuk fisik tertentu), tidak memperhatikan norma kesopanan dan kesusilaan.

Sudah saatnya kita menjadi pemirsa yang bijak, yang dengan bijak ”membunuh” televisi dengan remote di tangan kita, bila kita menemukan acara-acara yang tidak bermutu dan tidak mendidik.

Kita sadar bahwa, televisi (TV) hadir sebagai salah satu media komunikasi elektronik yang mampu mengubah dunia dan kehidupan masyarakat manusia. Televisi sesuai dengan namanya berarti melihat jauh. Kemampuan melihat jauh yang dahulu dimonopoli ahli-ahli telepati kini menjadi milik semua orang. TV dianggap sebagai ‘kotak ajaib’ yang bisa menyederhanakan dunia ini menjadi begitu sempit dan transparan. Dunia seolah-olah hanya sebuah kampung besar. Manusia di pelosok desa Nangapanda, Ende, Flores dapat melihat apa yang sedang terjadi di pedalaman Kosovo, atau festival film di Cannes, Prancis. Setiap hari orang bisa mendengar dan memantau situasi dunia atau menyaksikan serpihan-serpihan kebrutalan aksi teroris di Amerika Serikat dan di Kuta, Bali. Lantas, adakah televisi sebagai media komunikasi telah menjawabi kebutuhan komunikasi manusia?

Adanya sebuah media komunikasi membawa serta berbagai tujuan dalam dirinya. Tujuan pokok sebuah media komunikasi adalah menyampaikan informasi secara efektif dan efisien serta berfungsi menyampaikan informasi mengenai ’kebenaran’. Kebenaran disederhanakan menjadi semacam kepercayaan yang dianggap masuk akal demi melanggengkan suatu kepentingan. Manusia tidak dapat menutup mata terhadap aspek positif TV.

Dengan adanya TV, dunia memasuki era baru, era elektronik. Dalam konteks ini, perubahan dirasakan sebagai suatu loncatan sebab tidak ada dasar pijak yang kuat. Ketika masyarakat kita belum terbiasa dengan budaya membaca, televisi menawarkan budaya instan, budaya menonton. Dan bagi anak-anak, TV menyebabkan kebuntuan untuk berkreasi. Apa yang disuguhkan TV, semuanya sudah terstruktur dan terprogram. Bukan tidak mungkin bila kreativitas dan imajinasi kita pun terbelenggu dalam struktur ini. Kita sering menjadi penjiplak yang setia. Hal ini menjadi lebih kompleks masalahnya, kalau tendensi menonton seorang anak terpenuhi dalam adegan-adegan asosial yang ditayangkan di TV.

Kehadiran TV dalam hidup manusia sungguh menebar pesona. TV telah menjawabi semua keinginan dan kebutuhan manusia. Ia menyediakan apa yang diharapkan dan dicita-citakan manusia. Sebagai ‘kotak ajaib’, TV menjadi salah satu keajaiban dunia yang menandai civilisasi dan humanisasi manusia. Pesona TV itu nampak melalui kemasan acaranya yang menarik, melalui iklan-iklan yang ditawarkan, melalui bahasa dan simbol yang menarik, mudah dimengerti dan menggugah. Dengan pesonanya, TV telah mendominasi komunikasi manusia. Ia telah mendapat tempat dan posisi strategis dalam tata ruang rumah tangga dan keluarga. Pesona TV yang begitu dahsyat melalui film, telenovela, sinetron, iklan, jurnalisme sangat mempengaruhi sendi-sendi kehidupan umat manusia. Dalam skala prioritas, TV telah menempatkan posisi urgen untuk ditonton dan dinikmati. Di rumah kita, televisi selalu ditempatkan di tempat yang strategis. Televisi telah menjadi pesona.

Pesona TV mewartakan satu kebenaran ini, TV meyakinkan manusia bahwa dia baik. Dia bukanlah suatu ancaman bagi manusia. Pesona ini begitu ampuh justru karena ia merasuki pusat rasionalisasi kita melalui rupa-rupa jalan yang mungkin dengan maksud untuk memikat kita secara sensoris, efektif pun kognitif. Pesona TV sangat menyentuh rasa dan membutakan proses analisis rasio. Seluruh panca indera kita dibuat bereaksi terhadap apa yang ditunjukkan. Afeksi kita ikut tersentuh. Pada umumnya rasio kita hampir tidak ikut bekerja pada saat kita berhadapan dengan program-program tertentu yang ditayangkan di TV. Akal kita baru berfungsi kemudian untuk memberi legitimasi bagi sikap dan perbuatan kita.

Hemat saya, latihan kesadaran ber-TV atau TV-Arwaraness perlu diadakan di dalam keluarga, sekolah dan kelompok-kelompok masyarakat. Latihan ini bertujuan mendidik masyarakat agar menjadi pembaca, mendengar, pemirsa yang aktif. Mereka diajar untuk mengiterpretasi isi media, membuat fokus dan bertanya manakah informasi yang baik dan negatif. Seirama dengan pandangan di atas, kita membutuhkan langkah-langkah praktis.

Pertama dan utama adalah selektif. Kita membuat klasifikasi acara mana yang bisa ditonton, artikel mana yang bisa dibaca, berita apa yang bisa didengar. Di sini urgensitas berita menjadi hal utama. Kita menonton TV dengan acara tertentu karena memiliki pijakan yang jelas. Kedua, tahu melihat prioritas nilai. Kecenderungan terbesar di kalangan generasi muda saat ini adalah kehilangan orientasi hidup yang berakibat pada tiadanya prioritas nilai dalam hidup. Waktu untuk menonton TV lebih banyak ketimbang untuk belajar. Prioritas itu penting karena ia seperti kompas yang mengatur arah kerja dan aktivitas.

Selain itu, sebagai pemirsa yang mengkonsumsi TV dan segala programnya kita mesti berlaku sebagai “penulis kedua”. Maksudnya, pengarang-pengarang acara, pengarah program dan mereka yang menampilkan iklan adalah “penulis pertama”. Mereka hadir dalam prespektif mereka sendiri, dalam hasil studi dan refleksi mereka ketika membaca kenyataan. Sikap kritis kita, kita tampil di sini bahwa tidak semua yang disajikan adalah “makanan bergizi” yang cocok untuk kita. Makanan boleh enak tetapi belum tentu bergizi. Makanan boleh enak, tapi kalau mengandung kadar lemak tinggi, kolesterol kita bakal naik. Itu menyebabkan kita mati muda. Karena itu, kita sendiri mesti memiliki ’preunderstanding’, sebuah pemahaman awal yang sudah ada sebelum menonton sesuatu. Dan kita berada di jalur ini: di satu pihak kita memiliki pemikiran kritis, di pihak lain kita menikmati sajian dalam sebuah konfrontasi yang terus-menerus. Ada suasana diskursus di sini, sebuah dialektika yang memampukan kita tidak duduk sebagai objek melainkan sebagai subjek yang terlibat di dalam sebuah wacana yang ditampilkan.

”Membunuh” televisi dalam pilihan kita untuk sejenak menyisakan waktu untuk membaca buku atau bercengkerama dengan tetangga, atau mulai belajar menulis. Membunuh televisi adalah pilihan. Mesin pembunuh televisi bernama remote controller ada di tangan Anda. Silahkan klik untuk membunuh televisi yang miskin pendidikan, yang miskin pengetahuan.

Salam,

Ferdinandus Setu

Mencintai Buku

Suatu kebiasaan yang ingin saya tumbuhkan kepada putra kami adalah kecintaan kepada buku. Saban hari Sabtu dan/atau Minggu, saya dan istri mengajak buah hati kami yang masih berusia 6 bulan berkunjung ke Perpustakaan Kota Jakarta Pusat, di Jalan Tanah Abang I. Jarak tempuh 5 menit jalan kaki dari istana kami di Petojo Enclek XIII. Meski anak kami benar-benar masih belum paham benar apa itu buku, apa itu perpustakaan, kami tetap nekat mengajak dia turut serta ke rumah buku itu. Alasannya, kami ingin mengenalkan suasana buku, suasana perpustakaan kepadanya.

Sebuah keadaan miris terjadi di perpustakaan. Saban kami di sana, pengunjung tak pernah banyak. Kadang hanya kami sendiri bertiga, kadang ditambah dua atau tiga anak SD yang lebih banyak bermain di dalam perpustakaan ketimbang duduk membaca. Perpustakaan dengan ribuan judul buku itu sepi pengunjung. Iseng-iseng bertanya ke petugas. Ia menuturkan bahwa hari Sabtu dan Minggu paling maksimal 20 orang. Hari biasa pun kurang lebih sama.

Kondisi perpustakaan yang sepi berbanding terbalik dengan kolam renang yang berada tepat di depan hidung gedung perpustakaan. Lebih dari 100 orang, separuhnya anak-anak bermain-main di kolam. Untuk menikmati kolam, pengunjung harus merogoh kocek Rp1.600. Bagi yang membawa kendaraan harus membayar parkir. Padahal masuk perpustakaan gratis. Aneh bin ajaib. Orang lebih senang bermain-main ketimbang menghabiskan waktu dengan membaca.

Hemat saya, Membaca buku bisa mengubah pola pikir seseorang untuk meningkatkan wawasan dan pengetahuan. Membaca buku juga bagian dari proses pendidikan bagi pembacanya. Hanya saja, sebagian besar kegiatan membaca selama ini kerap diterima sebagai kewajiban atau keharusan. Hal itu dikatakan pakar pendidikan Arief Rachman. Menurutnya, orang tua dan guru harus terlibat aktif menumbuhkan minat baca di kalangan anak dan siswa. Jangan biarkan anak menonton tayangan televisi yang tidak jelas. Menyalahkan anak dan siswa saja tentu tidak bijak, apabila orang tua dan guru tidak memberikan teladan. Sangat indah ketika kita menyaksikan anak-anak sejak dini sudah dibiasakan untuk membaca

Membaca buku erat kaitannya dengan menulis. Keduanya adalah elemen yang saling mendukung dan tidak dapat dipisahkan. Menulis tanpa membaca ibarat orang buta yang sedang berjalan. Artinya, dalam proses penulisan, seseorang akan mengalami banyak kesulitan, tertatih-tatih dan sekali berjalan lantas berhenti karena tidak tahu tujuannya. Sementara itu, membaca tanpa menulis ibarat orang pincang. Pengetahuan yang kita miliki tidak dimanfaatkan untuk kepentingan banyak orang. Karena ilmu pengetahuan yang tidak dikembangkan dan disampaikan kepada orang lain secara lisan atau tulisan terasa kurang memberikan makna dalam kehidupan.

Membaca tidak lain adalah supplement food atau energy drink bagi para penulis. Kalau ada penulis yang mengaku bisa produktif tanpa membaca sama sekali, hemat saya ada dua kemungkinan. Pertama, ia memang sudah mencapai tahap ‘manusia guru’ atau manusia setengah dewa. Kedua, ia berbohong, dan ini rupanya lebih masuk akal. Menulis bisa gampang kalau suplai informasi ke otak dan batin kita memadai. Proses pemasukan informasi itu berasal terutama dari aktivitas membaca. Membaca berarti memberi makna. Dengan membaca kita menafsirkan teks sekaligus belajar memahami konteks. Kita mencoba memahami apa yang tersurat sekaligus apa yang tersirat. Ini menjadi bagian pemulihan energi untuk penulis.

Buku adalah jendela dunia. Dengan membaca buku, kita menimba banyak manfaat. Membaca itu memperluas wawasan dan memperkaya perspektif kita, memperoleh banyak solusi atas berbagai masalah yang dihadapi, mengatasi trauma atau frustrasi, memadukan kerja pikiran sadar dan tidak sadar. Selain itu, membaca berarti mengolahragakan pikiran dan menimba kesegaran baru.

Sudah saatnya budaya membaca itu menjadi budaya kita. Anak-anak dilatih untuk membaca dan mencintai bacaan sejak dini. Perpustakaan yang ada di mana-mana bukanlah museum bagi buku-buku bacaan. Itu universitas rakyat, seperti moto perpustakaan umum di daerah-daerah. Ada banyak buku menarik dan berguna di perpustakaan-perpustakaan kita yang ada saat ini. Namun, tak ada artinya jika tidak dibaca. Benar kata-kata Joseph Brodsky, pengarang asal Rusia: “Ada beberapa kejahatan yang lebih buruk daripada membakar buku. Salah satunya adalah tidak membaca buku.” Bahkan ada anekdot satir untuk kita: “Kalau orang Jepang tidur sambil membaca, sedangkan orang Indonesia membaca sambil tidur.”

Masyarakat membaca (reading society) bisa dimulai dari kebiasaan membaca. Mencintai buku adalah awal dari kebiasaan gemar membaca. Sudahkan Anda membaca hari ini?

Salam,

Ferdinandus Setu

Merindukan Pancasila

Pancasila. Satu, Ketuhanan Yang Maha Esa. Dua, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Tiga, Persatuan Indonesia. Empat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dan perwakilan. Lima, Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Itulah ingatan saya akan bunyi lengkap Pancasila, lambang dasar negara bangsa kita. Tepat 100 pesen ingatan saya ataukah ada beberapa bagian yang terlupan? Seandainya saya salah, saya tak sendiri. Harian Kompas, 1 Juni 2008 melaporkan hasil survei yang dilakukannya pada tanggal 28-29 Mei Mei 2008 melalui telepon pada 835 responden berusia 17 tahun ke atas yang dipilih acak dari Buku Petunjuk Telepon Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Medan, padang, Pontianak, Banjarmasin, Makassar, Manado dan Jayapura. Hasil survey Kompas tersebut menunjukkan bahwa 48,4 persen responden berusia 17-29 tahun menyebutkan kelima Pancasila salah atau tidak lengkap. 42,7 persen responden berusian 30-45 tahun salah menyebutkan kelima Pancasila. Responden berusia 46 tahun ke atas lebih parah, yakni sebanyak 60,6 persen yang salah menyebutkan kelima sila Pancasila.

Mari kita cek ingatan saya akan bunyi lengkap kelima sila Pancasila. Sila pertama benar : Ketuhanan Yang Maha esa. Sila kedua masih benar : Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Sila ketiga tetap benar: Persatuan Indonesia. Sila keempat salah telak. Sila keempat seharusnya berbunyi : Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Sila kelima benar : Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Ternyata sila keempat memang sila yang paling banyak dilupakan. Menurut survey Kompas, sebanyak 39,4 persen responden salah menyebutkan sila yang menjadi dasr kehidupan dsemokrasi tersebut. Sila pertama yang paling tepat disebutkan yakni sebanyak 81,6 persen. Hanya 12,3 persen yang salah menyebutkan.

Dalam tajuk rencana, edisi 2 Juni 2008, Kompas menulis bahwa Pancasila adalah sesuatu yang khas, luar biasa dan mendahului zamannya, suatu sintesis yang dihargai banyak negara. Pancasila adalah suatu faham demokrasi yang sekaligus mengamanatkan kesejahteraan dan keadilan. Bukan saja, kemanusiaan yang adil dan beradab tetapi sekalgius yang beriman. Kebebeasan beriman, kebebasan beragama menurut keyakinan masing-masing dalam kerangka sikap dasar saling menghargai dan menghormati.

Reposisi dan revitalisasi Pancasila akhir-akhir ini banyak disuarakan berbagai kalangan,. Di tengah berbagai kesulitan hidup, kusutnyas benang politik, dan terjangan globalisasi, semangat mencari lagi jiwa dan jati diri bangsa tampak menjadi opsi mujarab mengembalikan asas negeri. Lebih dari tiga perempat responden Kompas merindukan Pancasila, yang meninginkan perlunya dimulai kembali penataran Pancasila, tentu dengan konsep baru yang lebih menjawab persoalan zaman.

Benny Susetyo, Sekretaris Dewan Nasional Setara Institut dan Komisi Hak KWI, bertanya gundah : Masih Saktikah Pancasilan Kita? (Kompas, 2 Juni 2008). Romo Benny pantas bertanya, pantas gundah. Menurut dia, pancasila kita sedang menghadapi krisis multimensional. Pancasila kita tengah berhadapan dengan perilaku elite yang tidak peduli rakyat. Pancasila tengah menghadapi tantangan bagaimana membuat orang-orang beragama lebih toleran terhadap yang lain.

Bagi saya, Pancasila itu sebuah seruan untuk, Satu : tidak makan dan minum di muka umum ketika kawan-kawan saya yang Muslim berpuasa. Dua : berbagi rejeki dengan office boy dan security. Tiga : lahir di Flores, sekolah di Yogya, kerja di Jakarta, menikah di Banjarmasin. (Juga masih terharu tatkala mendengarkan lagu Indonesia Raya dikumandangkan). Empat : mendengarkan pendapat kawan dan lawan meski tidak sependapat. Lima : berbuat adil di rumah sendiri yakni berbagi kerjaan domestik dengan istri.

Pancasila, I Miss U.

Salam penuh rindu:

Ferdinandus Setu

Mencontohi Ali

Kali ini saya ingin berkisah tentang Ali. Bukan Ali Sadikin, sang mendiang Bukan Ali Murtopo. Bukan Ali Alatas. Mereka memang pantas diteladani di bidangnya masing-masing. Meski demikian, sudah banyak tulisan dan bahasan tentang mereka. Jadi saya tak mengangkat kisah mereka lagi untuk kali ini.

Ali.Lebih tepatnya Bapak Ali. Ia bukan siapa-siapa. Ia bukan pejabat yang layak diberitakan. Ia bukan pesohor layar kaca yang diinfotainmenkan. Ia hanya rakyat jelata biasa. Ia hanya seorang sopir taksi biasa. Tetapi berjumpa dengan dirinya, saya dibuat kagum, saya dibuat haru, saya dibuat termenung.

Bagaimana tidak! Ia tak punya jari tangan. Ya, saya tak salah. Pak Ali tak punya satu pun jari tangan. Sekali lagi, tak ada satu jari pun ia miliki. Ia cacat sejak lahir. Tapi ia pintar menyetir, ia pintar mengendalikan taksi. Saya tidak terharu karena ia cacat tetapi bisa menyetir mobil, padahal saya memiliki jari lengkap tapi belum bisa menjadi sopir. Bukan itu. Saya terkagum, karena ia tetap bekerja, ia tetap berjuang, bekerja siang malam, untuk menghidupi keluarganya. Terus terang di Jakarta selama dua tahun ini, saya baru sekali menemukan orang yang membuat saya kagum, membuat saya terharu, membuat saya termenung.

Kisah Pak Ali bebanding terbalik dengan wajah buram ibukota, wajah manusia-manusia sehat jiwa raga tapi miskin upaya, miskin usaha, miskin niat. Wajah pengemis jalanan. Wajah pencopet bis kota. Kita perhatikan di jalanan, banyak pemuda yang sehat jiwa dan raga lebih memilih menjadi pengemis dan polisi cepek yang kadang memaksa kita untuk memberikan ”sedekah”. Kita saksikan di angkutan kota, banyak pemuda sehat jiwa dan raga yang memilih mendapatkan uang dengan menjarah tas penumpang.

Saya berjumpa dengan Bapak Ali, Jumat, 30 Mei 2008, sebuah hari yang terik. Nasib mempertemukan kami. Sekali lagi hari begitu terik, ketika saya diminta atasan saya mengantarkan berkas ke gedung wakil rakyat di Senayan (eitsss...saya tak mengantar uang suap kok...hehehehe.) Biasanya kalau ke gedung anggota dewan yang terhormat itu saya selalu naik motor dinas,tapi hari yang terik memaksa saya untuk memanjakan diri : menumpang taksi ke senayan. Sopir taksi ke Senayan, seorang pemuda biasa, yang meski cukup sopan, ia belum layak jadi berita, soalnya ia sehat raganya, tak ada cacat. Ia seperti saya juga yang dianugerahi Tuhan kelengkapan organ raga.

Pak Ali, tokoh kita, adalah sopir taksi Senayan-Merdeka Barat. Seperti biasa, saya mencegat taksi yang lewat, masih di dalam kawasan gedung DPR, seperti biasa saya membuka pintu taksi, seperti biasanya saya mendudukan diriku ke kursi yang tersedia, seperti saya menyebut alamat tujuan saya. Tapi tidak seperti biasanya, ketika mata saya melihat tangan Pak Ali. Pertama saya kaget. (mungkin ada yang bilang, segitu aja kaget, Mas, tapi suer saya cukup kaget). Namun ketika, mobil mulai melaju menembus jalanan Jakarta, mengalirlah percakapan di antara kami.

Begini kisahnya. Pak Ali asli Wonosari, Yogyakarta. Ia merantau ke Jakarta sejak usia remaja. Sejak umur 25 tahun ia mulai menarik taksi. Ketika bertemu saya, usianya 55 tahun. Berarti 30 tahun sudah ia berjuang di jalanan, mengantarkan penumpang ke tujuan. Ia telah berkeluarga. Memiliki lima orang anak. Anak pertama sudah tamat SMA dua tahun silam, dan sekarang belum bekerja, sehingga masih tinggal di rumah. Anak kedua kelas 3 SMA. Anak ketiga kelas 1 SMA. Anak keempat masih duduk di bangku SMP. Anak kelima masih duduk (dan berdiri) di kursi SD. Meski harus menghidupi enam anggota keluarganya, Pak Ali tak pernah mengeluh, tak pernah menuntut. ”Hidup itu harus disyukuri, prinsip hidup kami orang kecil itu nrimo ing pamrih,” kata Pak Ali.

Tak pernah menuntut, tak pernah mengeluh. Satu hal ini yang membuat saya tertegun. Saya tertegun karena malu. Saya sudah diberi banyak kemudahan, sudah diberi banyak anugerah dari Tuhan, masih saja sering menggugat Tuhan: Ah Tuhan tak adil, ah Tuhan pilih kasih.

Telak. Pak Ali telah ”menampar” saya dengan teladannya. Ia tak mau minta belas kasihan orang atas cacat yang ia punya.

Ketika di Amerika berlaku ungkapan Thanks God Its Friday untuk menyambut akhir pekan yang menyenangkan. Maka hari ini, Jumat, 30 Mei 2008, saya pun bersabda : Thanks God Its Friday. Terima kasih Tuhan, karena hari Jumat ini Engkau mempertemukan aku dengan seorang teladan.

Terima kasih Pak Ali, terima kasih atas teladannya hari ini. (Ups kawan, meski saya pulang dari gedung Dewan, saya tak menemukan teladan sang wakil rakyat di sana, teladan itu justru datang dari rakyat jelata).


Salam,

Ferdinandus Setu

Kamis, 22 Mei 2008

Menyandra Dewi

Saat ini, siapa yang tidak kenal Sandra Dewi. Perempuan cantik bernama lengkap Monica Nichole Sandra Dewi Gunawan ini telah menyihir publik Indonesia dalam beberapa bulan terakhir. Kecantikannya tak diragukan lagi, yang oleh sebagian penggemar kecantikan, wajah Sandra Dewi adalah gabungan paras ayu dua pesohor layar kaca : Marsya Timothy dan Dian Sastro.

Perempuan kelahiran Pangkal Pinang (Bangka Belitung), 8 Agustus 1983 ini mencuri perhatian publik lewat akting memukaunya sebagai Indah di Sinetron Cinta Indah yang ditayangkan SCTV pada akhir tahun 2007. Sebelumnya dikenal sebagai Lila dalam film bertajuk Quickie Express yang kocak itu. Sejatinya Sandra Dewi telah mebintangi beberapa FTV seperti FTV Kejamnya Dunia, FTV Hidayah, FTV Kasih sebelumnya. Kesuksesan Sinetron Cinta Indah menghantarkan dia kepada publisitas yang luar biasa. Ia kemudian kita lihat berakting di Sinetron Elang yang ditayangkan di Antv, terakhir kita lihat ia nampang di video klip Wonder Woman-nya Mullan Jamilah (bukan Mulan Jamidong).

Keikutsertaan Sandra Dewi di video klip Wonder Woman itu, tentu karena kencantikannya telah menyihir Ahmad Dani, pentolan group band Dewa yang juga pendiri Manajemen Republik Cinta. Dalam suatu wawancara dengan media infotainment, Ahmad Dani pernah mengatakan bahwa kecantikan Sandra Dewi sungguh luar biasa.

Ahmad Dani tak sendirian. Sebagian besar lelaki Indonesia juga mengagumi kecantikan paras putri pasangan Andreas Gunawan Basri dan Catharina Erliani ini. Perempuan bertinggi badan168cm dengan bobot 49kg ini benar-benar menyihir para pria. Para pria yang terhipnotis oleh kejelitaannya, kemudian melakukan aksi ”menyadra Dewi” ke dalam imajinasinya, baik itu imajinasi positif, maupun imajinasi liar yang berujung pada tindakan negatif.

Salah satu aksi negatif yang berpangkal pada keinginan untuk ”Menyandra Dewi” untuk hidup dalam imajinasi pria, adalah dengan melakukan croping foto asli Sanda Dewi dengan foto-foto bugil. Maka beredarlah ”foto-foto” panas yang berwajah Sandra Dewi dengan tubuh wanita lain. Foto-foto tak senonoh itu pun muncul ke publik dan sempat menghebohkan jagat hiburan Indonesia.

Kenapa Sandra Dewi? Foto iseng itu mungkin membuktikan bahwa saat ini perempuan lulusan London School of Public Relation itu yang ada dalam benak banyak lelaki. Dialah nama dan wajah yang menguasai imajinasi para lelaki lajang dan nonlajang. Setelah wajah, yang paling empuk untuk diimajinasikan tentu ”tubuhnya”, bukan?
Siapa yang salah? Ada yang mengatakan bahwa itu kesalahan Dewi Sandra sendiri. Seperti lirik lagu Iwan Fals: Salah sendiri kau manis, punya wajah teramat manis. Orang yang berpendapat demikian menyatakan bahwa karena kecantikannya lah, ia mendapat perlakuan tidak etis tersebut. Sebagian perempuan yang tidak beruntung dilahirkan sebagai ”yang cantik dan ayu” justru beruntung karena tidak direkayasa fotonya untuk kepentingan imajinasi liar para pria.

Kita masih bisa berbeda pendapat apakah selebriti yang fotonya direkayasa itu menjadi korban atau malah diuntungkan. Ada yang berpendapat bahwa, ada sebagian artis yang sengaja melakukannya supaya namanya terdongkrak. Ah, saya tak perlu menyebut namanya. Yang pasti si korban sebenarnya adalah kata “rekayasa”. Ya, kata tersebut maknanya rusak hancur berantakan. ”Foto itu rekayasa...”, kata orang yang kerap disapa pakar Telematika.

Kita gampang saja mendengar kalimat itu bahkan ikut mengucapkannya. Padahal ada kesalahan besar pada pemakaian kata rekayasa di sana. ”Rekayasa”, pada awalnya diperkenalkan oleh Pusat Bahasa sebagai terjemahan kata ”engineering”. Kata itu misalnya dipakai untuk mengalihbahasakan frasa ”biotechnological engineering” menjadi ”rekayasa bioteknologi” atau ”genetical engineering” menjadi ”rekayasa genetika”, atau ”social engineering” menjadi ”rekayasa sosial”.

Tidak ada nada miring pada kata rekayasa dalam frasa-frasa di atas, bukan? Tapi, kini kata ”rekayasa” kita temukan dalam kalimat ”wah, kasus itu sudah direkayasa”, ”ada upaya-upaya merekayasa jalan persidangan”, ”proses pemungutan suara itu sudah tidak murni lagi, ada pihak-pihak yang merekayasa...”Nah, kenapa ada nada negatif pada kalimat-kalimat itu?

Mari kita renungkan bersama. Sandra Dewi atau artis manapun, adalah perempuan-perempuan perkasa yang tidak mau hanya berada di belakang layar, mereka ingin membuktikan kepada dunia bahwa perempuan pun bisa berkarya. Mereka berkarya lewat akting mereka di layar kaca. Mereka tak ingin menjadi perempuan yang selalu ditempatkan sebagai sub-ordinat.

Lewat peran mereka, mereka sejatinya ingin menyuarakan bahwa sudah saatnya bagi kaum perempuan untuk berjuang merebut kebebasan berbicara termasuk kebebasan berpendapat. Mereka mesti keluar dan membebaskan diri sendiri dari pasung pembungkaman yang membelenggunya. Tibalah saatnya untuk perempuan berbicara, menyuarakan hal yang paling mendesak ini “Stop violence against women”. Ini berarti bahwa pengabdian yang diberikan tidak boleh sampai mengorbankan harga diri dan martabat yang berakibat pada penindasan. Pengabdian haruslah menciptakan kebebasan memperoleh peluang dan hak yang sama dengan lelaki. Maka redefinisi pengabdian seorang wanita itu mutlak perlu dibuat. Katakanlah reformasi pengabdian. Sudah saatnya kaum perempuan berbicara dan berjuang bukan dengan perang melawan laki-laki atau mempersatukan kekuatan untuk menghancurkan lelaki, juga bukan untuk membalas dendam atas mereka tetapi bekerja sama dengan kaum lelaki dalam membangkitkan suatu masyarakat yang tanpa hubungan dominasi dan eksploitasi jenis kelamin. Perempuan mesti berbicara atas namanya sendiri tentang segala hal yang menimpa dirinya. Jika tidak mau dikatakan penghianat. Sebab ada diam yang mengkhianati suara batin, harga diri dan martabat. Inilah diam sebagai penghianatan. Wanita tidak perlu terlalu berharap pada bicara lelaki. Kaum wanita hendaknya menjadi tuan atas dirinya sendiri.

Namun, kita, para pria, (atau sebagian dari kita) banyak yang tidak menerima wanita berkarya. Kita menjegal mereka lewat cara-cara kita yang tidak bijak. Hemat saya, salah satu cara untuk menjegal wanita berkarya adalah dengan tindakan merekayasa foto perempuan seperti yang terjadi pada Sandra Dewi di atas. Dengan keisengan yang berlebihan ini, justru membuat langkah perempuan untuk berkarya menjadi sedikit terhambat. ”Lebih baik saya di rumah, kalau ke rumah saya pasti akan dilindas para pria,” guman sebagian perempuan.

Kita tidak sadar, bahwa dengan menindas serta merendahkan wanita dan pengabdiannya, kita sebenarnya kehilangan bagian yang sangat penting dari kekayaan manusia, dari suatu kecerdasan yang dihayati dalam kehidupan, dari semangat nyata untuk berbagi dan bekerja sama, padahal semua masyarakat sangat membutuhkannya. Karena selama masih ada penindasan itu, kaum perempuan harus mempertahankan diri terhadap kekuatan perusak dengan menggunakan kekayaannya yang berwujud kemurahan hati, kesabaran dan ketekunan. Merekalah yang memiliki berbagai kemampuan dan tenaga yang sangat dibutuhkan oleh generasi mendatang.

Siapapun makluk di bumi ini tak dapat menyangkal dan memungkiri keagungan seorang perempuan. Untuk melukiskan citra agung itu, penulis Christanand dalam bukunya Membangun jati diri wanita mengutip tulisan Yosef Mindszenty menulis, “Orang yang paling penting di dunia ini adalah seorang ibu. Ia memang tidak memperoleh kehormatan telah membangun Katedral Notre Dame. Tidak perlu. Ia telah membangun sesuatu yang lebih hebat dari Katedral manapun, sebuah rumah bagi jiwa yang kekal. Bahkan malaikat pun tidak dianugerahi berkat macam itu. Mereka tidak dapat mengambil bagian dalam satu karya ajaib Tuhan menciptakan orang – orang kudus baru bagi surga. Hanya ibu yang dapat…”
Inilah sebuah pengakuan kebenaran yang tulus bagi keagungan seorang ibu yang juga seorang perempuan. Bila direnungkan lebih jauh, keagungan seorang wanita tidak saja terletak dalam aspek prokreasi tetapi dalam pengabdian yang total bagi kehidupan. Perempuan mengabdi karena cintanya pada seorang anak manusia yang dikandung, dilahirkannya, hingga saat ia melihat dan merasakan dunia dengan segala panorama keindahan serta pahit getirnya kehidupan.

Tempora mutantur et nos mutantur in illis (waktu terus berubah dan manusia pun berubah di dalamnya). Paradigma berpikir tentang perempuan dan pengabdiannya pun tak lepas dari imbas perubahan itu. Ia yang kita kagumi, agungkan, sayangi ternyata menyimpan bilur lama dalam sejara pengabdian manusia. Perempuan telah dan sering di perlakukan sebagai the second class, dipandang rendah dan tak berarti di hadapan budayanya sendiri, dalam dunia tempat anak- anaknya yang dilahirkan berdiam. Pertanyaan retoris buat kita, siapah yang menindas perempuan: lelaki? dirinya sendiri? atau pengabdiannya? Perempuan makhluk sejuta misteri yang tak habis dipikirkan dan dipersoalkan.

Banyak sudah ulasan dan reportase yang diterbitkan hanya untuk membahas siapakah perempuan dan kehidupannya. Tak jarang , semua hal di atas hanya merupakan perulangan pembeberan fakta tentang kekerasan yang di alami perempuan serta kuasa patriarkhi diatasnya.
Annie Lecrec dalam bukunya Kalau Perempuan Angkat Bicara mengupas secara lugas dan berani mengenai apa yang ia dan kaum permpuan umumnya rasakan dan alami sebagai sebagai bukti dan wujud pengabdiannya. Dikatakan bahwa “Jika kebajikan lelaki adalah kekuatan, maka kebajikan perempuan disebut pengabdian. Dan yang menindas perempuan sebenarnya bukanlah kekuatan lelaki melainkan kebajikan perempuan sendiri yang yang selalu dianggap sebagai bernilai tertinggi: Pengabdian.” Dengan demikian, segala tugas yang diserahkan pada perempuam entah sebagai kontruksi budaya seperti tugas kerumahtanggaan, mengasuh anak ataupun secara alami seperti melahirkan harus dilaksanakan melalui dan dengan pengabdian.

Sebuah pengabdian yang tidak datang dengan sendirinya tetapi terungkap dalam bentuk tanpah pamrih, kerepotan dan pengorbanan.
Kita pun bisa bertanya , pengabdian macam manakah yang menindas perempuan? Ketika pengabdian perempuan terpasung belenggu domestifikasi perannya sendiri, di sanalah terjadi penindasan perempuan. Ini berarti peran perempuan hanya dibatasi pada urusan seputar rumah tangga (tripel Sur: kasur, dapur, sumur). Akibatnya, perempuan kurang mendapat kesempatan untuk mengembangkan diri sehingga selalu termajinalisasi dalam kemajuan zaman. Kaum perempuan terlena dalam pengabdiannya sampai –sampai ia tak sanggup bicara tentang dirinya. Mereka terbuai angin tradisi yang sudah demikian jadinya. Tanpa disadari perempuan telah terperangkap dalam arus spiral pembodohan oleh pembungkaman yang melingkupi dirinya yang tentu merupakan ulah sebuah konstruksi sosial bernama patriarkhi.

Mari kita buang aksi kita dalam ”menyadra dewi”, menyandra kaum perempuan ke dalam pasungan ”rumah tangga”. Sebab wanita adalah ibu kita, wanita sejawat kita, wanita adalah sahabat kita.

Oh ya, sebelum menutup tulisan ini, saya ingin menyampaikan kabar duka kepada kita kaum pria, bahwa ternyata, Sandra Dewi yang jelita itu telah menikah. Lho kok? Dengan siapa? Masak Anda belum tahu?
Suaminya adalah Fredley Glenn. (Maaf, sekadar bercanda)


Salam,

Ferdinandus Setu

Rabu, 21 Mei 2008

Menyaksikan Kebangkitan

Lur biasa. 10 Televisi Nasional dan 50 televisi lokal menyiarkan kebangkitan, menyampaikan kepada seluruh pelosok nusantara, sebuah pagelaran akbar bertajuk: Indonesia bangkit, Indonesia Bisa, pada Selasa, 20 Mei 2008. Luar biasa. Selama 90 menit tanpa jedah, dari pukul 19.00 hingga 21.00, setidaknya 250 juta penduduk Indonesia tertuju ke lacar kaya, menyaksikan sebuah pesta akbar satu abad kebangkitan nasional. Luar biasa. Lebih dari 30.000 anak bangsa terlibat dalam pertunjukkan agung mengenang kembali perkumpulan agung : Boedi Utomo 100 tahun silam, yang menjadi cikal bakal persatuan dan kesatuan Indonesia. Sembilan puluh menit penuh sensasi, sembilan puluh menit yang membangkitkan nasionalisme, sembilan puluh menit yang menghipnotis untuk tidak beranjak pergi dari depan televisi.

10 Televisi Nasional dan 50 televisi lokal menyiarkan kebangkitan. Saya menyaksikan kebangkitan nasional. Istriku juga menyaksikan kebangkitan negeri ini. Anda juga telah menyaksikan kebangkitan yang sama, menit demi menit.

Menit pertama. Pengarah acara Tantowi Yahya dan Maudi Kusnaidi membuka pagelaran, sembari menyerukan Indonesia Bangkit, Indonesia Bisa, Indonesia Jaya. Mata saya menatap layar kaca dengan seksama, memperhatikan siapa saja yang datang di Senayan.

Menit kedua. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berserta Ibu Ani Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Nyonya Mufidah Kalla memasuki tribun utama, lalu melambaikan tangan kepada seluruh warga Indonesia, baik di Senayan, maupun di rumah. Mata ini terus menatap layar kaca, namun dari samping, istriku menggerutu : Lihat Presidenmu itu, hanya bisa tersenyum, hanya bisa tersenyum.

Menit ketiga dan menit keempat. Lima penerjun payung dari unsur sipil, polisi, angkatan udara, angkatan darat dan dan angkatan laut mempersiapkan peralatan dan perlengkapan (sepertinya adegan persiapan ini telah dishuting sebelumnya). Saya masih menatap layar kaca, istriku kembali menggerutu: ah paling nanti ada penerjun payung yang jatuh.

Menit kelima. Penerjun payung dari kalangan sipil mulai terlihat di langit Senayan. Jantungku berdegup kencang dan aku pun berdoa : jangan sampai jatuh, jangan sampai jatuh. Kalau jatuh apa kata dunia. Sejurus kemudian, sang penerjun kita mendarat tepat di karpet warna merah yang telah disediakan. Sebuah pendaratan yang sangat indah. Dada ini lega, hati ini senang. Istriku cemberut, si sipil tak jatuh.

Menit keenam hingga menit ke sembilan. Berturut-turut, penerjun payung dari angkatan udara, angkatan darat, angkatan laut dan terakhir dari kepolisian mendarat mulus di landasan yang dituju. Dada ini lega, hati ini senang. Namun istriku makin cemberut, sebab tebakannya keliru, tak ada penerjung payung yang terjatuh.

Waktu melaju hingga menit ke sepuluh, ketika Penyanyi Edo Kondologit tampil dan menyanyikan lagu kabangsaan: Indonesia Raya. Dada ini bergumuruh hebat ketika syair-syair lagu gubahan Wage Rudolf Supratman itu dikumandangkan sang penyanyi asal Papua. Tak terasa, bibir ini turut menggumam : Indonesia tanah airku, tanah tumpah darahku. Istriku tersenyum melihat saya berdengung tak menentu. Edo Kondologit bernyanyi dengan vokal luar biasa. Nampak di layar, pak SBY dan JK turut bergumam Indonesia Raya.

Menit kelima belas adalah menitnya perempuan, ketika Tiga Diva tampil di layar, menyanyikan lagu Bendera ciptaan Eross. Lagu yang dipulerkan grup band Coklat itu kembali menyentak alam bawah sadar, sebuah suasana kebatinan antara aku dan bangsaku. Saya malu, sudah lama saya tak pernah menghormati bendera bangsaku, sudah lama saya tak berdiri mengangkat tanganku untuk menghormati bendera negeriku.

Menit kesembilan belas, rasa maluku memuncak, ketika si cantik Agnes Monica tampil menyanyikan lagu Merah Putih. Lagu penuh hormat terhadap bendera bangsa ciptaah Gombloh itu sangat indah dibawakan sang biduanita kita yang jelita. Yang makin membuat saya terpaku di depan televisi, Agnes tak sendirian melantunkan Merah Putih. Ia ditemani 5.000 anggota paduan suara Mahasiswa Univeritas Indonesia. Istriku yang semula cemberut pun ikut berdengung.

Menit ke dua puluh lima, dimulailah rangkaian tarian terbaik anak bangsa yang dibungkus dalam acara bertajuk: Harmoni Nusantara, yang dibawakan oleh setidaknya 1.000 penari. Tari Saman dari Nanggroe Aceh Darusalam menyapa Indonesia. Sebuah tarian yang mengindikasikan kekompakan dan kerjasama seluruh penarinya yang berjumlah 600 orang. Saya menyaksikan dengan seksama. Baru kali ini, Saman ditarikan oleh 600 orang di lapangan terbuka.

Menit kedua puluh sembilan, Tari Sigulempong dari Sumatera Utara menyusuli napak tilas perjalanan Indonesia dari Pulau Andalas berikutnya. Sekitar 100 penari tampil membawakan tarian sembari diiringi lagu Sigulempong yang berirama Medley. Tarian Lisoy pun ditampilkan untuk menambah semarak suasana Senayan.

Menit ke tiga puluh dua giliran 50 anak Minang, yang menyajikan tarian Tak Tong Tong. Sebuah tarian yang menggabarkan persaudaraan warga Sumatera Barat dalam kerukunan hidup bermasyarakat. Di layar kaca juga nampak konfigurasi tulisan Indonesia Jaya oleh 4.000 tentara. Melihat tarian Minang, saya teringat dongeng Malin Kundang, si anak durhaka. Aku bisa menjadi Malin Kundang, jika tidak mengakui ”ibu” negaraku Indonesia.

Menit ketiga puluh lima, mata dan hati Indonesia beralih ke Jakarta, Ibo kota negara. Sekitar 100 warge Jakarte menampilkan tarian Ronggeng dan tarian khas Ondel-Ondel yang telah melegenda itu. Warna-warni baju khas Betawi terlihat manis di televisi. Saya membangunkan anak kami Serolf dan berbisik di telinganya : Nak, lihat tuh, tarian adatmu. (maklum anak kami lahir di Jakarta, dia tentu warge asli Jakarte).

Menit ke tiga puluh delapan, tradisi Sunda nampak di layar kaya. Tarian Manuk Dadali pun ditampilkan oleh 50 penari. Lewat tarian ini, warga Sunda ingin menyampaikan bahwa kebiasaan tiga A yakni Asah, Asih dan Asuh adalah sebuah kebiasaan yang harus terus dikembangkan. Istri saya sudah gelisah, malas berlama-lama di depan layar kaca.

Menit keempatpuluh dua, tarian Padang Bulan dari Jawa Tengah digelarkan oleh 50 pemuda. Kegembiraan terlihat di Senayan, kamera pun diarahkan ke Presiden kita yang terus bertepuk tangan memberikan penghargaan kepada para pengisi acara.

Menit keempat puluh empat, Tarian Lir Sale dari Jawa Timur pun diperlihatkan, yang dilanjutkan dengan Tari Bali yang diiringi dengan lagu berjudul Janger. Kultur pulau Dewata terlihat jelas lewatn tarian yang telah dikenal di manca negara tersebut. Hati saya tidak sabaran menunggu giliran NTT tiba. Entah kenapa, sukuisme atau rasa kedaerahan masih muncul juga, meski nasionalisme tetap yang utama.

Harmoni Nusantara lansung menuju Kalimantan. Tarian Perang khas adat Dayak pun dipentaskan. Pernak-pernik Burung Enggang yang menjadi khas Borneo pun terpampang. Dan yang menarik, ketika 50 anak-anak ikut ambil bagian dalam tarian ini. Suara Maudy : keterlibatan anak-anak ini adalah simbol regenerasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Patung Mudok yang menjadi menjadi lambang penolak bala juga dihadirkan. Istriku bertutur: semoga tak ada lagi bencana di negeri ini. Empat puluh delapan menit telah beranjak dari pukul sembilan belas malam.

Menit ke lima puluh, Jusuf Kalla tersenyum, ketika lagu Angin Mamiri yang mengiringi tarian khas Makassar dipentaskan. 100 penari memberi hormat kepada pemimpin negara sebelum melanjutkan atraksinya. Saya sudah mengambil kesimpulan: NTT tak akan tampil lagi. Ah sebuah sukuisme yang aneh, atau mungkin tepatnya kerinduan akan kampung halaman yang telah memuncak.

Namun ternyata kesimpulan saya salah, ketika irama lagu Anak Kambing Saya, terdengar jelas. Nah itu dia, sebuah tarian khas Nusa Tenggara Timur pun ditampilkan. Mana di mana anak kambing saya, anak kambing saya ada di kampung baru, caca marica hei hei, cara mari ca hei hei, caca mari ca ada ada di kampung baru. Saya pun tidak malu-malu untuk ikut bernyanyi, meski suara saya tidak mendukung. Waktu menunjukkan pukul 19.55 WIB.

Tari Goro-goro dari Tanah Maluku menjadi tujuan mata berikutnya, yang diikuti dengan Yamko Rambe Yamko dari Papua. Sekitar 100 penari yang didatanagkan langsung dari Papua mewarnai Istora Senayan. Dari Sabang sampai Merauke telah di gelar. Itulah Indonesia. Sebuah zamrud khatulistiwa yang kaya budaya. Di layar kacara terlihat konfigurasi peta kepulauan Indonesia yang ditampilkan oleh 4.000 tentara, berganti-ganti dengan konfigurasi bendera Merah Putih, Garuda Pancasila, bahkan potret Presiden SBY dan Ibu Negara.

Hampir sejam sudah pagelaran kebangkitan nasional ditayangkan. Memupuk nasionalisme lewat lacar kaca ternyata butuh perjuangan. Entah kenapa, acara selanjutnya bagi saya mulai membosankan, atau karena mata saya kelelahan.

Ketika drumband Taruna AU, Taruna dan Taruna AL tampil di Senayan, saya merasa haus, saya merasa dahaga, saya butuh air. Hendak mengambil air di galon, ternyata air minum kami telah kering. Maka, ketika 1.000 personil angkatan darat menampilkan atraksi bela diri, saya mohon pamit kepada televisi kami: ke warung sebelah membeli air minum. Nasionalis tetap butuh air untuk mengusir dahaga, bukan?

Ketika saya kembali dari membeli air, waktu telah menunjukkan pukul 20.35, berarti tinggal 25 menit lagi pagelaran kebangkitan nasional ini akan berakhir. Lalu tiba-tiba kain Merah Putih raksasa mememuhi lapangan Senayan. Bendera hasil karya Pak Sunadi ini diarak membentuk gelombang, sembari diiringi lagu Bangun Pemuda Pemudi. Nasionalisme saya makin memuncak ketika lagu Majulah Negeriku karya Presiden SBY dikumadangkan.

”Majulah Negeriku, bangunlah negeriku, sejahtera semua anak cucu. Rukunlah bangsaku, hidup dalam tanai airku, bangunlah negeriku, merah putih berkibar selamanya. Jangan sia-siakan kesempatan yang kita miliki bersama, untuk mengubah masa depan kita. Bangkitlah bangsaku, mari kita singsingkan lengan baju. Bangunlah negeriku, sejahtera semua anak cucu, rukunklah bangsaku, hidup dalam damai tanah airku. Majulah negeriku. Merah putih berkibar selamanya. Merah putih berkibar selamanya”.

Istri sudah hafal di luar kepala lagu ciptaak kepala negara kita ini. Istana tempat kami berteduh berada di samping markas Pasukan Pengaman Presiden (Paspampres). Nah, lagu yang aslinya dinyanyikan oleh Tantowi Yahya ini menjadi lagu wajib bangun pagi dan dan bangun tidur siangnya para pengawal presiden. Maka ketika lagu itu kembali dinyanyikan di puncak 100 tahun kebangkitan nasional, istri saya tak tinggal diam, dia pun bernyanyi. ”Nasionalis juga nih istriku’, gumam saya dalam hati.

Tepat pukul 21.00 pagelaran akbar itu berakhir. Ucapan terima kasih pun disampaikan kepada seluruh anak negeri yang telah berpartisipasi dalam perhelatan luar biasa tersebut. Saya beruntung masih memiliki mata untuk menyaksikan aneka tradisi negeri ini. Sembilan puluh menit penuh warna telah saya saksikan malam ini. Sebuah karya anak bangsa yang patut dicatat, yang patut dikenang.

Pukul 21.05, Deddy Miswar tampil di layar kaca dengan kata-kata indah : Bangkit itu susah, susah melihat orang susah , senang melihat orang senang. Bangkit itu takut, takut korupsi, takut makan yang bukan haknya. Bangkit itu mencuri, mencuri perhatian dunia dalam prestasi.Bangkit itu marah, marah bila martabat bangsa diinjak. Bangkit itu tidak ada, tidak ada kata menyerah, tidak ada kata putus asa. Bangkit itu malu, malu menjadi benalu, malu karena minta melulu. Bangkit itu aku, untuk bangsaku.

Pada pukul 22.00, ketika saya hendak ke peraduan, setelah menyaksikan sembiln puluh menit atraksi anak pertiwi merayakan kebangkitan nasional, saya menarik sebuah kesimpulan ini: Saya bangga menjadi anak Indonesia. Saya mencintai Indonesia. Saya akan mempersembahkan bakti dan pengabdian terbaikku untuk negeri ini, lewat caraku sendiri.

Salam,

Ferdinandus Setu

Senin, 19 Mei 2008

Mengenang Harkitnas

Kita mengenal cukup banyak hari yang diperingati secara nasional. Ada peringatan hari pahlawan, hari ibu, hari anak, hari lingkungan hidup, hari sumpah pemuda, hari proklamasi, hari perempuan, hari buruh, hari kebangkitan nasional dan hari peringatan lainnya. Apa yang kita buat pada hari-hari peringatan semacam itu? Tentu sesuai dengan jenisnya, pelaku peringatan adalah mereka yang menjadi bagian dari hari peringatan bersangkutan. Yang merayakan hari buruh adalah para buruh. Hari perempuan diisi dengan berbagai kegiatan oleh kaum perempuan. Demikian pun hari anak. Lalu untuk hari proklamasi, sumpah pemuda dan hari pahlawan, serta hari kebangkita nasional misalnya, siapa yang merayakannya? Sebagai warga bangsa, kitalah yang memberi makna dan merayakan peringatan hari-hari bersejarah itu.
Bukan para pahlawan, para pendiri bangsa ini dan pemuda era 1908.

Tahun 2008 ini, Indonesia memperingati hari kebangkitan nasional. Tahun ini adalah tahun istimewa, sebab kita mengenang 100 tahun kebangkitan nasional. Sebagai peringatan yang rutin tahunan, boleh jadi konsep kita tentang hari-hari peringatan itu telah membaku. Ada apel bendera, buat perlombaan memasak, lari karung, sepak bola, menulis. Bisa juga demonstrasi menuntut ini dan itu. Ada pula seminar, diskusi, pengobatan gratis. Hal-hal ini memang baik. Namun, merayakan hari-hari peringatan sebatas yang artifisial, seremonial, rutinitas, kontinuitas belum sepenuhnya tercakup dalam konsep memaknai hari peringatan itu. Hari-hari peringatan itu mesti dimaknai lebih dalam, digali lebih jauh dan diartikan lebih luas. Kita mesti sampai pada fokus menemukan spirit, roh, yang transendens, religiositas dari hari-hari peringatan nasional di negeri ini. Salah satu dari fokus itu adalah menyelami kultur ingatan dalam aksi-aksi melawan lupa.

Hari kebangkitan nasional yang dirayakan setiap tanggal 20 Mei merupakan bagian dari ingatan kolektif bangsa Indonesia. Sejarah bangsa ini telah dicatat dengan tinta darah kegigihan para pahlawan mempertahankan negeri ini dari kolonialisme. Sembilan puluh semblan tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 20 Mei 1908, berdirilah organisasi Boedi Oetomo, yang dikemudian dikenang sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Saat itu bangkitlah suatu kesadaran tentang kesatuan kebangsaan untuk menentang kekuasaan penjajahan Belanda yang telah berabad-abad lamanya berlangsung di tanah air Indonesia.
Boedi Oetomo pada saat itu, merupakan perkumpulan kaum muda yang cerdas dan peduli terhadap nasib bangsa, yang antara lain diprakarsai oleh ; Dr. Soetomo, Dr. Wahidin Soedirohoesodo dan Dr. Goenawan dan Suryadi Suryadiningrat (Ki Hadjar Dewantara).

Semangat kebangkitan nasional muncul, ketika bangsa Indonesia mencapai tingkat perlawanannya yang tidak dapat dibendung lagi, untuk menghadapi kekuasaan kolonial Belanda yang tidak manusiawi dan tidak adil. Penegasan tekad bangsa untuk bebas dan merdeka dari belenggu kolonialisme dan imperialisme.

Kebangkitan kesadaran atas kesatuan kebangsaan atau nasionalisme yang lahir pada 20 Mei 1908, kemudian menjadi tonggak perjuangan yang terus berlanjut. Muncullah kemudian Jong Ambon (1909), Jong Java dan Jong Celebes (1917) Jong Sumatera dan Jong Minahasa (1918). Pada tahun 1911 juga berdiri organisasi Sarikat Islam, 1912 Muhammadiyah, 1926 Nahdlatul Ulama, dan kemudian pada tahun 1927 berdiri Partai Nasional Indonesia.

Perjuangan yang panjang itu, akhirnya mencapai puncaknya pada kemerdekaan bangsa, yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Negara kita seperti ditegaskan oleh para pendirinya adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang ditegakkan berdasarkan prinsip Negara Hukum.

Tahun ini, kita mengenang kembali para pemuda era 1908 yang telah berjuang membangkitkan spiprit nasionalisme Indonesia. Beberapa Departemen akan merayakan secara khusus. Departemen Komunikasi dan Informartika juga akan melakukan hal yang sama, menggelar berbagai jenis perlombaan dan permainan untuk mengenang anak-anak muda pemberani kita dahulu.

Upaya kita mengenang, mengingat, menjaga ingatan dan berjuang melawan lupa adalah sebuah proses epistemologis. Bahkan dalam hal yang sangat sederhana, mengingat adalah awal dari proses mengetahui. Ingatan kita adalah pengetahuan kita. Ingatan sebagai pengetahuan adalah proses memuntahkan ke permukaan semua realitas yang telah terjadi yang terkubur dalam file-file memori kita.

Mengenang para pemuda yang menyampaikan spirit bangkit pada era 1908 adalah sebuah upaya yang tidak saja memutar pita memori kita pada deretan para pahlawan bangsa ini yang dikenal, diberi gelar pahlawan dan didokumentasikan dalam arsip-arsip bertinta emas di tumpukan-tumpukan arsip negeri ini. Ada banyak pahlawan yang tidak terdaftar, yang hidup mereka berakhir tragis karena risiko menempatkan kebenaran dan keadilan di atas segala-galanya. Ada banyak figur di negeri ini yang pantas menjadi pahlawan, namun ’dikalahkan’ sejarah bangsa sendiri. Kita kenang pejuang HAM, Munir, yang meninggal dalam kesendirian di atas pesawat dalam penerbangan menuju negeri Belanda.

Membahas ingatan, saya jadi teringat Milan Kundera penulis buku The Book of Laughter and Forgetting. Milan Kundera mengatakan bahwa perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan manusia melawan lupa. Bangsa kita memang kerap jatuh dalam dosa mudah melupakan sejarah, pun sejarah penderitaan. Kita cenderung melupakan dosa-dosa kekerasan masa lalu dan berbagai penyimpangan terhadap martabat manusia entah karena kita takut mengingatnya atau karena kita merasa itu bukan bagian dari sejarah hidup kita. Munir misalnyua selalu tampil mengingatkan kita semua agar tidak lupa. Mereka, seperti juga mendiang Bung Karno selalu berapi-api menggelegarkan jasmerah: jangan sekali-kali melupakan sejarah. Mereka dengan cara perjuangannya yang biasa namun konsisten hingga akhir telah berupaya melawan tindakan ”mematikan ingatan” oleh para penguasa sembari terus ”mempertahankan ingatan” terhadap berbagai penderitaan masa lalu.

Hari Kebangkitan Nasional hanya sehari. Namun, mengenang dan memaknai hari pahlawan haruslah setiap hari. Epistemologi ingatan kita tetap bertahan jika kita selalu me-refresh file memori kita dan bukan meniadakannya. Nilai-nilai kepahlawanan sangat kita butuhkan dalam zaman kita saat ini. Ada banyak penderitaan yang mendera hidup kita saat ini. Para penjajah itu tidak lagi dari negara lain, tetapi lahir dari negeri sendiri bahkan dalam diri pemerintah dan aparat kita. Korupsi masih merajalela. Kesewenangan-wenangan hukum masih berlaku; yang mencuri ayam dihukum, yang korup uang negara ratusan juta dan miliaran rupiah dibiarkan bebas. Para petani dan nelayan kita terus terjajah. Harga ditentukan sepihak oleh tengkulak dan pengusaha. Keringat mereka sering tak dihargai secara pantas. Kaum perempuan kita masih diperlakukan tidak adil, dijual, dijadikan budak seks. Nasib tenaga kerja juga tidak jelas, sering jadi korban di negeri orang.
Siapa yang harus jadi pahlawan untuk mereka-mereka ini? Boedi Oetomo hanyalah nama. Ki Hadjar Dewantara sudah tinggal kenangan. Para pemuda pemberani itu tinggal ingatan semata.

Kita yang hidup di zaman ini dengan berbagai kompleksitas hidup kita mempunyai tugas yang sama yakni melawan lupa, mendobrak aksi mematikan ingatan dan terus melestarikan kultur ingatan khususnya ingatan pada penderitaan itu sendiri, ingatan pada kebangkitan yang menggelorakan darah dan semangat kita.

Kita perlu merayakan kebangkitan nasional yang baru. Kebangkitan dari kebiasaan mengeruk uang rakyat untuk keuntungan pribadi. Mari kita bangkit bersama, kita bangkit bersama rakyat, bangkit untuk menggapai sesuatu yang lebih baik, sesuatu yang lebih indah.

Seabad kebangkitan nasional akan segera kita jelang. Siapkah kita bangkit dari ”tidur panjang” kita. Mari bangkit, mari melawan lupa.

Salam,

Ferdinandus Setu

Minggu, 18 Mei 2008

Meneladani Sophan

Sophan Sophian mendadak meninggalkan jagat Indonesia, Sabtu, 17 Mei 2008 akibat kecelakaan di sebuah desa di Ngawi, Jawa Timur. Ia telah pergi, agar kita yang hidup makin mencintai kehidupan. Mencintai kehidupan berarti tak takut dinyatakan berbeda dalam situasi apa pun. Sophan Sophian adalah teladan yang berani keluar dari pentas politik setelah menyaksikan dan mengalami sendiri bahwa politik yang dihidupkan di negeri ini adalah politik pentuh intrik, politik yang dijalankan demi kekuasaan semata.

Keteladananan Sophan itulah yang terekam dalam beberapa testimoni yang berhasil dirangkum Kompas Ketua Fraksi PDIP Tjahjo Kumolo menyebut Sophan sebaga pribadi pemegang teguh prinsip. ”Ia cukup unik, kala sudah punya prinsip, ya sudah,” kata Kumolo.

Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa bertutur : Sophan adalah tokoh nasional yang gugur saat sedang menjalankan tugas negara, yakni saat mengemban tugas dalam Kepanitiaan Nasional Peringatan 100 Tahun Kebangkitan Nasional. ”I sangat jujur dan konsisten memegang prinsip baik di dunia politik maupun di dunia seni. Rasa cinta tanah airnya tak perlu diragukan lagi, ” kenang Hatta.

Akbar Tanjung, Doktor Politik lulusan UGM berkomentar : Sophan sesorang yang memiliki idealisme dan jiwa nasionalisme tinggi. Rekan Sophan, Eros Djarot bertestimoni : Ia pribadi Luar biasa dan memegang teguh prinsip.Slamet Rajardjo Djarot punya ungkapan senada : Ia benar-benar putih, putih di hati, putih di ucapan. Itu yang membuat saya kagum dan cemburu

Untuk diingat kembali, sebelum terjun ke dunia politik, Pria kelahiran Makassar, 26 April 1944 itu, menjadi anggota Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pada tahun 1991. Suami Aktris Widyawati ini ini sempat menjadi Ketua UU Parfi (1977-1980) dan Sekjen parfi (1987-1988). Pada tahun 1999, Sophan menjadi Ketua DPP Partai PDIP dan terlilih sebagai ketua fraksi PDI Perjuangan DPR (1999-2004). Sebelum jabatannya berakhir, Sophan mengundurkan diri dari Ketua FPDIP dan angkat kaki dari Senayan. Keputusan mundur ia ambil setelah ia memlihat banyak yang tidak beres di lembaga parlemen itu. Ia menilai kebijakan partai banteng moncong putih sudah tidak sejalan lagi dengan idealismenya untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. Ia kecewa melihat banyak kaum opportunis di lembaga perwakilan rakyat itu.

Apa yang perlu kita teladani dari seorang ”Letnan Harahap” ini? Pengunduran diri Sophan dari PDIP pada tahun 2002 membuktikan bahwa partai politik saat ini masih sibuk dengan urusan mendapatkan kekuasaan dan lupa melaksanakan perannya sebagai sarana pendidikan politik bagi anggotanya dan masyarakat luas.
Untuk mendeteksi kerancuan arah partai politik itulah, kita perlu mengemukakan empat pathologi sosial ketika memotret demokrasi di Indonesia dalam era reformasi. Pertama, hilangnya rasa saling percaya antara berbagai kelompok kekuasaan sosial politik di dalam masyarakat. Kedua, kecenderungan menggunakan kekuatan massa untuk memenangkan bargaining politik. Ketiga, munculnya otoritarianisme populis dalam percaturan politik dan relasi-relasi kekuasaan yang semakin mempersulit proses pembangunan politik sebagai sistem. Keempat, berkaitan dengan demokrasi sebagai nilai, terlihat para aktor politik ibarat hanya memenuhi sebuah undangan dalam suatu resepsi yang segala sesuatunya telah dipersiapkan, dan di sana ia cuma duduk patuh tanpa kritik.

Potret pathologi sosial ini nampak juga dalam kehidupan partai politik. Dan boleh jadi, partai politik saat ini menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya pathologi sosial itu, karenanya Sophan hengkang dari PDIP. Hal ini terjadi karena parpol tidak berjalan sesuai arah dan tujuannya melainkan menyimpang oleh kepentingan sesaat pihak-pihak tertentu.

Peran Parpol

Secara konseptual, agar mampu memainkan perannya dalam penegakan demokratisasi, maka partai politik setidak-tidaknya harus mampu memainkan beberapa fungsi, antara lain: pertama, sebagai sarana komunikasi politik. Dengan fungsi ini partai politik harus mampu berperan sebagai penyalur aspirasi pendapat rakyat, menggabungkan berbagai macam kepentingan (interest aggregation), dan merumuskan kepentingan (interest articulation) yang menjadi dasar kebijakannya.

Kedua, sebagai sarana sosialisasi politik. Dengan fungsi ini partai politik harus mampu berperan sebagai sarana untuk memberikan penanaman nilai-nilai, norma dan sikap serta orientasi terhadap fenomen politik tertentu. Upaya parpol dalam sosialiasi politik antara lain meliputi penguasaan pemerintah dengan memenangkan setiap pemilu, menciptakan image bahwa ia memperjuangkan kepentingan umum, dan mampu menanamkan solidaritas dan tanggung jawab terhadap para anggotanya maupun anggota lain (in group dan out group).

Selain dua fungsi ini, fungsi yang ketiga adalah sebagai sarana rekruitmen politik. Dengan fungsi ini parpol mencari dan mengajak orang berbakat untuk turut aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota partai, baik melalui kontak pribadi maupun melalui persuasi. Fungsi keempat, sarana pengatur konflik. Parpol berfungsi mengatasi berbagai macam konflik yang muncul sebagai konsekuensi dari negara demokrasi yang di dalamnya terdapat persaingan dan perbedaan pendapat (Muhammad Zaenuddin: 2004, 121).

Berdasarkan uraian fungsi parpol di atas, rakyat tentu sangat mengharapkan agar parpol menjadi aktor yang baik dalam proses demokratisasi di negara ini. Artinya, parpol mesti menjadi pisau bedah bagi fenomen pathologi sosial yang kian menggejala di republik ini. Bahkan untuk semakin memperjelas dan mempertegas fungsi parpol, UU No.31 Tahun 2002 tentang Partai Politik menggariskan beberapa fungsi partai politik sebagai sarana:

Pertama, pendidikan politik bagi anggotanya dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Republik Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kedua, menciptakan iklim yang kondusif dan program konkrit serta sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa untuk menyejahterakan masyarakat. Ketiga, penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat secara konstitusional dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara. Keempat, partisipasi politik warga negara dan kelima, rekrutmen politik dalam pengisian politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan gender.

Pengunduran diri Sophan Sophiaan dari kancah PDIP pada tahun 2002, dan kembali kita kenang kini, tentunya patut menjadi pelajaran yang berarti bagi partai politik di negeri ini, yang konon menurut data Departemen Hukum dan HAM terakhir telah mencapai 40 partai.

Setiap kematian, selalu mengingatkan saya pada kata-kata Yukio Mishima (1925-1970) : ”If we value so highly the dignity of life, how can we not also value the dignity of death? No death may be called futile” . Dengan pernyataan itu, Mishima mau mengatakan bahwa apresiasi yang kita berikan pada kehidupan seharusnya berlaku sama pada kematian, karena kematian selalu membawa makna dan bukan hal yang sia-sia. Kematian Sophan bukanlalah hal yang sia-sia jika kita memaknai kematiannya sebagai awal dari perjuangan kita untuk membela kehidupan ini. Kematian hanyalah situasi batas, bukan situasi akhir. Sophan sudah terbatas bagi kita secara fisik, tetapi ia tidak pernah berakhir untuk kita.
Seperti yang dituliskan seorang feminis, Virginia Woolf, kepada Leonard, suaminya sebelum ia menenggelamkan dirinya, “…ada yang harus mati, agar kita semua bisa menghargai hidup.” Saya yakin, Sophan ingin agar kita memaknai kepergiannya seperti itu. Dan mau menunjukkan kepada kita bahwa hidup bisa menjadi sesuatu yang mewah, manakala kita telah berhenti menebarkan harapan dan membiarkan mesin kekerasan terus menggerus rasa kemanusiaan kita. Sophan Sophian, memang bukan sekadar nama. Di dunia lain pun ia tetaplah seorang demokrat tulen dan nasionalis sejati.


Rest in Peace, beristirahatlah dalam damai.

Salam,

Ferdinandus Setu