Kamis, 22 Mei 2008

Menyandra Dewi

Saat ini, siapa yang tidak kenal Sandra Dewi. Perempuan cantik bernama lengkap Monica Nichole Sandra Dewi Gunawan ini telah menyihir publik Indonesia dalam beberapa bulan terakhir. Kecantikannya tak diragukan lagi, yang oleh sebagian penggemar kecantikan, wajah Sandra Dewi adalah gabungan paras ayu dua pesohor layar kaca : Marsya Timothy dan Dian Sastro.

Perempuan kelahiran Pangkal Pinang (Bangka Belitung), 8 Agustus 1983 ini mencuri perhatian publik lewat akting memukaunya sebagai Indah di Sinetron Cinta Indah yang ditayangkan SCTV pada akhir tahun 2007. Sebelumnya dikenal sebagai Lila dalam film bertajuk Quickie Express yang kocak itu. Sejatinya Sandra Dewi telah mebintangi beberapa FTV seperti FTV Kejamnya Dunia, FTV Hidayah, FTV Kasih sebelumnya. Kesuksesan Sinetron Cinta Indah menghantarkan dia kepada publisitas yang luar biasa. Ia kemudian kita lihat berakting di Sinetron Elang yang ditayangkan di Antv, terakhir kita lihat ia nampang di video klip Wonder Woman-nya Mullan Jamilah (bukan Mulan Jamidong).

Keikutsertaan Sandra Dewi di video klip Wonder Woman itu, tentu karena kencantikannya telah menyihir Ahmad Dani, pentolan group band Dewa yang juga pendiri Manajemen Republik Cinta. Dalam suatu wawancara dengan media infotainment, Ahmad Dani pernah mengatakan bahwa kecantikan Sandra Dewi sungguh luar biasa.

Ahmad Dani tak sendirian. Sebagian besar lelaki Indonesia juga mengagumi kecantikan paras putri pasangan Andreas Gunawan Basri dan Catharina Erliani ini. Perempuan bertinggi badan168cm dengan bobot 49kg ini benar-benar menyihir para pria. Para pria yang terhipnotis oleh kejelitaannya, kemudian melakukan aksi ”menyadra Dewi” ke dalam imajinasinya, baik itu imajinasi positif, maupun imajinasi liar yang berujung pada tindakan negatif.

Salah satu aksi negatif yang berpangkal pada keinginan untuk ”Menyandra Dewi” untuk hidup dalam imajinasi pria, adalah dengan melakukan croping foto asli Sanda Dewi dengan foto-foto bugil. Maka beredarlah ”foto-foto” panas yang berwajah Sandra Dewi dengan tubuh wanita lain. Foto-foto tak senonoh itu pun muncul ke publik dan sempat menghebohkan jagat hiburan Indonesia.

Kenapa Sandra Dewi? Foto iseng itu mungkin membuktikan bahwa saat ini perempuan lulusan London School of Public Relation itu yang ada dalam benak banyak lelaki. Dialah nama dan wajah yang menguasai imajinasi para lelaki lajang dan nonlajang. Setelah wajah, yang paling empuk untuk diimajinasikan tentu ”tubuhnya”, bukan?
Siapa yang salah? Ada yang mengatakan bahwa itu kesalahan Dewi Sandra sendiri. Seperti lirik lagu Iwan Fals: Salah sendiri kau manis, punya wajah teramat manis. Orang yang berpendapat demikian menyatakan bahwa karena kecantikannya lah, ia mendapat perlakuan tidak etis tersebut. Sebagian perempuan yang tidak beruntung dilahirkan sebagai ”yang cantik dan ayu” justru beruntung karena tidak direkayasa fotonya untuk kepentingan imajinasi liar para pria.

Kita masih bisa berbeda pendapat apakah selebriti yang fotonya direkayasa itu menjadi korban atau malah diuntungkan. Ada yang berpendapat bahwa, ada sebagian artis yang sengaja melakukannya supaya namanya terdongkrak. Ah, saya tak perlu menyebut namanya. Yang pasti si korban sebenarnya adalah kata “rekayasa”. Ya, kata tersebut maknanya rusak hancur berantakan. ”Foto itu rekayasa...”, kata orang yang kerap disapa pakar Telematika.

Kita gampang saja mendengar kalimat itu bahkan ikut mengucapkannya. Padahal ada kesalahan besar pada pemakaian kata rekayasa di sana. ”Rekayasa”, pada awalnya diperkenalkan oleh Pusat Bahasa sebagai terjemahan kata ”engineering”. Kata itu misalnya dipakai untuk mengalihbahasakan frasa ”biotechnological engineering” menjadi ”rekayasa bioteknologi” atau ”genetical engineering” menjadi ”rekayasa genetika”, atau ”social engineering” menjadi ”rekayasa sosial”.

Tidak ada nada miring pada kata rekayasa dalam frasa-frasa di atas, bukan? Tapi, kini kata ”rekayasa” kita temukan dalam kalimat ”wah, kasus itu sudah direkayasa”, ”ada upaya-upaya merekayasa jalan persidangan”, ”proses pemungutan suara itu sudah tidak murni lagi, ada pihak-pihak yang merekayasa...”Nah, kenapa ada nada negatif pada kalimat-kalimat itu?

Mari kita renungkan bersama. Sandra Dewi atau artis manapun, adalah perempuan-perempuan perkasa yang tidak mau hanya berada di belakang layar, mereka ingin membuktikan kepada dunia bahwa perempuan pun bisa berkarya. Mereka berkarya lewat akting mereka di layar kaca. Mereka tak ingin menjadi perempuan yang selalu ditempatkan sebagai sub-ordinat.

Lewat peran mereka, mereka sejatinya ingin menyuarakan bahwa sudah saatnya bagi kaum perempuan untuk berjuang merebut kebebasan berbicara termasuk kebebasan berpendapat. Mereka mesti keluar dan membebaskan diri sendiri dari pasung pembungkaman yang membelenggunya. Tibalah saatnya untuk perempuan berbicara, menyuarakan hal yang paling mendesak ini “Stop violence against women”. Ini berarti bahwa pengabdian yang diberikan tidak boleh sampai mengorbankan harga diri dan martabat yang berakibat pada penindasan. Pengabdian haruslah menciptakan kebebasan memperoleh peluang dan hak yang sama dengan lelaki. Maka redefinisi pengabdian seorang wanita itu mutlak perlu dibuat. Katakanlah reformasi pengabdian. Sudah saatnya kaum perempuan berbicara dan berjuang bukan dengan perang melawan laki-laki atau mempersatukan kekuatan untuk menghancurkan lelaki, juga bukan untuk membalas dendam atas mereka tetapi bekerja sama dengan kaum lelaki dalam membangkitkan suatu masyarakat yang tanpa hubungan dominasi dan eksploitasi jenis kelamin. Perempuan mesti berbicara atas namanya sendiri tentang segala hal yang menimpa dirinya. Jika tidak mau dikatakan penghianat. Sebab ada diam yang mengkhianati suara batin, harga diri dan martabat. Inilah diam sebagai penghianatan. Wanita tidak perlu terlalu berharap pada bicara lelaki. Kaum wanita hendaknya menjadi tuan atas dirinya sendiri.

Namun, kita, para pria, (atau sebagian dari kita) banyak yang tidak menerima wanita berkarya. Kita menjegal mereka lewat cara-cara kita yang tidak bijak. Hemat saya, salah satu cara untuk menjegal wanita berkarya adalah dengan tindakan merekayasa foto perempuan seperti yang terjadi pada Sandra Dewi di atas. Dengan keisengan yang berlebihan ini, justru membuat langkah perempuan untuk berkarya menjadi sedikit terhambat. ”Lebih baik saya di rumah, kalau ke rumah saya pasti akan dilindas para pria,” guman sebagian perempuan.

Kita tidak sadar, bahwa dengan menindas serta merendahkan wanita dan pengabdiannya, kita sebenarnya kehilangan bagian yang sangat penting dari kekayaan manusia, dari suatu kecerdasan yang dihayati dalam kehidupan, dari semangat nyata untuk berbagi dan bekerja sama, padahal semua masyarakat sangat membutuhkannya. Karena selama masih ada penindasan itu, kaum perempuan harus mempertahankan diri terhadap kekuatan perusak dengan menggunakan kekayaannya yang berwujud kemurahan hati, kesabaran dan ketekunan. Merekalah yang memiliki berbagai kemampuan dan tenaga yang sangat dibutuhkan oleh generasi mendatang.

Siapapun makluk di bumi ini tak dapat menyangkal dan memungkiri keagungan seorang perempuan. Untuk melukiskan citra agung itu, penulis Christanand dalam bukunya Membangun jati diri wanita mengutip tulisan Yosef Mindszenty menulis, “Orang yang paling penting di dunia ini adalah seorang ibu. Ia memang tidak memperoleh kehormatan telah membangun Katedral Notre Dame. Tidak perlu. Ia telah membangun sesuatu yang lebih hebat dari Katedral manapun, sebuah rumah bagi jiwa yang kekal. Bahkan malaikat pun tidak dianugerahi berkat macam itu. Mereka tidak dapat mengambil bagian dalam satu karya ajaib Tuhan menciptakan orang – orang kudus baru bagi surga. Hanya ibu yang dapat…”
Inilah sebuah pengakuan kebenaran yang tulus bagi keagungan seorang ibu yang juga seorang perempuan. Bila direnungkan lebih jauh, keagungan seorang wanita tidak saja terletak dalam aspek prokreasi tetapi dalam pengabdian yang total bagi kehidupan. Perempuan mengabdi karena cintanya pada seorang anak manusia yang dikandung, dilahirkannya, hingga saat ia melihat dan merasakan dunia dengan segala panorama keindahan serta pahit getirnya kehidupan.

Tempora mutantur et nos mutantur in illis (waktu terus berubah dan manusia pun berubah di dalamnya). Paradigma berpikir tentang perempuan dan pengabdiannya pun tak lepas dari imbas perubahan itu. Ia yang kita kagumi, agungkan, sayangi ternyata menyimpan bilur lama dalam sejara pengabdian manusia. Perempuan telah dan sering di perlakukan sebagai the second class, dipandang rendah dan tak berarti di hadapan budayanya sendiri, dalam dunia tempat anak- anaknya yang dilahirkan berdiam. Pertanyaan retoris buat kita, siapah yang menindas perempuan: lelaki? dirinya sendiri? atau pengabdiannya? Perempuan makhluk sejuta misteri yang tak habis dipikirkan dan dipersoalkan.

Banyak sudah ulasan dan reportase yang diterbitkan hanya untuk membahas siapakah perempuan dan kehidupannya. Tak jarang , semua hal di atas hanya merupakan perulangan pembeberan fakta tentang kekerasan yang di alami perempuan serta kuasa patriarkhi diatasnya.
Annie Lecrec dalam bukunya Kalau Perempuan Angkat Bicara mengupas secara lugas dan berani mengenai apa yang ia dan kaum permpuan umumnya rasakan dan alami sebagai sebagai bukti dan wujud pengabdiannya. Dikatakan bahwa “Jika kebajikan lelaki adalah kekuatan, maka kebajikan perempuan disebut pengabdian. Dan yang menindas perempuan sebenarnya bukanlah kekuatan lelaki melainkan kebajikan perempuan sendiri yang yang selalu dianggap sebagai bernilai tertinggi: Pengabdian.” Dengan demikian, segala tugas yang diserahkan pada perempuam entah sebagai kontruksi budaya seperti tugas kerumahtanggaan, mengasuh anak ataupun secara alami seperti melahirkan harus dilaksanakan melalui dan dengan pengabdian.

Sebuah pengabdian yang tidak datang dengan sendirinya tetapi terungkap dalam bentuk tanpah pamrih, kerepotan dan pengorbanan.
Kita pun bisa bertanya , pengabdian macam manakah yang menindas perempuan? Ketika pengabdian perempuan terpasung belenggu domestifikasi perannya sendiri, di sanalah terjadi penindasan perempuan. Ini berarti peran perempuan hanya dibatasi pada urusan seputar rumah tangga (tripel Sur: kasur, dapur, sumur). Akibatnya, perempuan kurang mendapat kesempatan untuk mengembangkan diri sehingga selalu termajinalisasi dalam kemajuan zaman. Kaum perempuan terlena dalam pengabdiannya sampai –sampai ia tak sanggup bicara tentang dirinya. Mereka terbuai angin tradisi yang sudah demikian jadinya. Tanpa disadari perempuan telah terperangkap dalam arus spiral pembodohan oleh pembungkaman yang melingkupi dirinya yang tentu merupakan ulah sebuah konstruksi sosial bernama patriarkhi.

Mari kita buang aksi kita dalam ”menyadra dewi”, menyandra kaum perempuan ke dalam pasungan ”rumah tangga”. Sebab wanita adalah ibu kita, wanita sejawat kita, wanita adalah sahabat kita.

Oh ya, sebelum menutup tulisan ini, saya ingin menyampaikan kabar duka kepada kita kaum pria, bahwa ternyata, Sandra Dewi yang jelita itu telah menikah. Lho kok? Dengan siapa? Masak Anda belum tahu?
Suaminya adalah Fredley Glenn. (Maaf, sekadar bercanda)


Salam,

Ferdinandus Setu

Rabu, 21 Mei 2008

Menyaksikan Kebangkitan

Lur biasa. 10 Televisi Nasional dan 50 televisi lokal menyiarkan kebangkitan, menyampaikan kepada seluruh pelosok nusantara, sebuah pagelaran akbar bertajuk: Indonesia bangkit, Indonesia Bisa, pada Selasa, 20 Mei 2008. Luar biasa. Selama 90 menit tanpa jedah, dari pukul 19.00 hingga 21.00, setidaknya 250 juta penduduk Indonesia tertuju ke lacar kaya, menyaksikan sebuah pesta akbar satu abad kebangkitan nasional. Luar biasa. Lebih dari 30.000 anak bangsa terlibat dalam pertunjukkan agung mengenang kembali perkumpulan agung : Boedi Utomo 100 tahun silam, yang menjadi cikal bakal persatuan dan kesatuan Indonesia. Sembilan puluh menit penuh sensasi, sembilan puluh menit yang membangkitkan nasionalisme, sembilan puluh menit yang menghipnotis untuk tidak beranjak pergi dari depan televisi.

10 Televisi Nasional dan 50 televisi lokal menyiarkan kebangkitan. Saya menyaksikan kebangkitan nasional. Istriku juga menyaksikan kebangkitan negeri ini. Anda juga telah menyaksikan kebangkitan yang sama, menit demi menit.

Menit pertama. Pengarah acara Tantowi Yahya dan Maudi Kusnaidi membuka pagelaran, sembari menyerukan Indonesia Bangkit, Indonesia Bisa, Indonesia Jaya. Mata saya menatap layar kaca dengan seksama, memperhatikan siapa saja yang datang di Senayan.

Menit kedua. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berserta Ibu Ani Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Nyonya Mufidah Kalla memasuki tribun utama, lalu melambaikan tangan kepada seluruh warga Indonesia, baik di Senayan, maupun di rumah. Mata ini terus menatap layar kaca, namun dari samping, istriku menggerutu : Lihat Presidenmu itu, hanya bisa tersenyum, hanya bisa tersenyum.

Menit ketiga dan menit keempat. Lima penerjun payung dari unsur sipil, polisi, angkatan udara, angkatan darat dan dan angkatan laut mempersiapkan peralatan dan perlengkapan (sepertinya adegan persiapan ini telah dishuting sebelumnya). Saya masih menatap layar kaca, istriku kembali menggerutu: ah paling nanti ada penerjun payung yang jatuh.

Menit kelima. Penerjun payung dari kalangan sipil mulai terlihat di langit Senayan. Jantungku berdegup kencang dan aku pun berdoa : jangan sampai jatuh, jangan sampai jatuh. Kalau jatuh apa kata dunia. Sejurus kemudian, sang penerjun kita mendarat tepat di karpet warna merah yang telah disediakan. Sebuah pendaratan yang sangat indah. Dada ini lega, hati ini senang. Istriku cemberut, si sipil tak jatuh.

Menit keenam hingga menit ke sembilan. Berturut-turut, penerjun payung dari angkatan udara, angkatan darat, angkatan laut dan terakhir dari kepolisian mendarat mulus di landasan yang dituju. Dada ini lega, hati ini senang. Namun istriku makin cemberut, sebab tebakannya keliru, tak ada penerjung payung yang terjatuh.

Waktu melaju hingga menit ke sepuluh, ketika Penyanyi Edo Kondologit tampil dan menyanyikan lagu kabangsaan: Indonesia Raya. Dada ini bergumuruh hebat ketika syair-syair lagu gubahan Wage Rudolf Supratman itu dikumandangkan sang penyanyi asal Papua. Tak terasa, bibir ini turut menggumam : Indonesia tanah airku, tanah tumpah darahku. Istriku tersenyum melihat saya berdengung tak menentu. Edo Kondologit bernyanyi dengan vokal luar biasa. Nampak di layar, pak SBY dan JK turut bergumam Indonesia Raya.

Menit kelima belas adalah menitnya perempuan, ketika Tiga Diva tampil di layar, menyanyikan lagu Bendera ciptaan Eross. Lagu yang dipulerkan grup band Coklat itu kembali menyentak alam bawah sadar, sebuah suasana kebatinan antara aku dan bangsaku. Saya malu, sudah lama saya tak pernah menghormati bendera bangsaku, sudah lama saya tak berdiri mengangkat tanganku untuk menghormati bendera negeriku.

Menit kesembilan belas, rasa maluku memuncak, ketika si cantik Agnes Monica tampil menyanyikan lagu Merah Putih. Lagu penuh hormat terhadap bendera bangsa ciptaah Gombloh itu sangat indah dibawakan sang biduanita kita yang jelita. Yang makin membuat saya terpaku di depan televisi, Agnes tak sendirian melantunkan Merah Putih. Ia ditemani 5.000 anggota paduan suara Mahasiswa Univeritas Indonesia. Istriku yang semula cemberut pun ikut berdengung.

Menit ke dua puluh lima, dimulailah rangkaian tarian terbaik anak bangsa yang dibungkus dalam acara bertajuk: Harmoni Nusantara, yang dibawakan oleh setidaknya 1.000 penari. Tari Saman dari Nanggroe Aceh Darusalam menyapa Indonesia. Sebuah tarian yang mengindikasikan kekompakan dan kerjasama seluruh penarinya yang berjumlah 600 orang. Saya menyaksikan dengan seksama. Baru kali ini, Saman ditarikan oleh 600 orang di lapangan terbuka.

Menit kedua puluh sembilan, Tari Sigulempong dari Sumatera Utara menyusuli napak tilas perjalanan Indonesia dari Pulau Andalas berikutnya. Sekitar 100 penari tampil membawakan tarian sembari diiringi lagu Sigulempong yang berirama Medley. Tarian Lisoy pun ditampilkan untuk menambah semarak suasana Senayan.

Menit ke tiga puluh dua giliran 50 anak Minang, yang menyajikan tarian Tak Tong Tong. Sebuah tarian yang menggabarkan persaudaraan warga Sumatera Barat dalam kerukunan hidup bermasyarakat. Di layar kaca juga nampak konfigurasi tulisan Indonesia Jaya oleh 4.000 tentara. Melihat tarian Minang, saya teringat dongeng Malin Kundang, si anak durhaka. Aku bisa menjadi Malin Kundang, jika tidak mengakui ”ibu” negaraku Indonesia.

Menit ketiga puluh lima, mata dan hati Indonesia beralih ke Jakarta, Ibo kota negara. Sekitar 100 warge Jakarte menampilkan tarian Ronggeng dan tarian khas Ondel-Ondel yang telah melegenda itu. Warna-warni baju khas Betawi terlihat manis di televisi. Saya membangunkan anak kami Serolf dan berbisik di telinganya : Nak, lihat tuh, tarian adatmu. (maklum anak kami lahir di Jakarta, dia tentu warge asli Jakarte).

Menit ke tiga puluh delapan, tradisi Sunda nampak di layar kaya. Tarian Manuk Dadali pun ditampilkan oleh 50 penari. Lewat tarian ini, warga Sunda ingin menyampaikan bahwa kebiasaan tiga A yakni Asah, Asih dan Asuh adalah sebuah kebiasaan yang harus terus dikembangkan. Istri saya sudah gelisah, malas berlama-lama di depan layar kaca.

Menit keempatpuluh dua, tarian Padang Bulan dari Jawa Tengah digelarkan oleh 50 pemuda. Kegembiraan terlihat di Senayan, kamera pun diarahkan ke Presiden kita yang terus bertepuk tangan memberikan penghargaan kepada para pengisi acara.

Menit keempat puluh empat, Tarian Lir Sale dari Jawa Timur pun diperlihatkan, yang dilanjutkan dengan Tari Bali yang diiringi dengan lagu berjudul Janger. Kultur pulau Dewata terlihat jelas lewatn tarian yang telah dikenal di manca negara tersebut. Hati saya tidak sabaran menunggu giliran NTT tiba. Entah kenapa, sukuisme atau rasa kedaerahan masih muncul juga, meski nasionalisme tetap yang utama.

Harmoni Nusantara lansung menuju Kalimantan. Tarian Perang khas adat Dayak pun dipentaskan. Pernak-pernik Burung Enggang yang menjadi khas Borneo pun terpampang. Dan yang menarik, ketika 50 anak-anak ikut ambil bagian dalam tarian ini. Suara Maudy : keterlibatan anak-anak ini adalah simbol regenerasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Patung Mudok yang menjadi menjadi lambang penolak bala juga dihadirkan. Istriku bertutur: semoga tak ada lagi bencana di negeri ini. Empat puluh delapan menit telah beranjak dari pukul sembilan belas malam.

Menit ke lima puluh, Jusuf Kalla tersenyum, ketika lagu Angin Mamiri yang mengiringi tarian khas Makassar dipentaskan. 100 penari memberi hormat kepada pemimpin negara sebelum melanjutkan atraksinya. Saya sudah mengambil kesimpulan: NTT tak akan tampil lagi. Ah sebuah sukuisme yang aneh, atau mungkin tepatnya kerinduan akan kampung halaman yang telah memuncak.

Namun ternyata kesimpulan saya salah, ketika irama lagu Anak Kambing Saya, terdengar jelas. Nah itu dia, sebuah tarian khas Nusa Tenggara Timur pun ditampilkan. Mana di mana anak kambing saya, anak kambing saya ada di kampung baru, caca marica hei hei, cara mari ca hei hei, caca mari ca ada ada di kampung baru. Saya pun tidak malu-malu untuk ikut bernyanyi, meski suara saya tidak mendukung. Waktu menunjukkan pukul 19.55 WIB.

Tari Goro-goro dari Tanah Maluku menjadi tujuan mata berikutnya, yang diikuti dengan Yamko Rambe Yamko dari Papua. Sekitar 100 penari yang didatanagkan langsung dari Papua mewarnai Istora Senayan. Dari Sabang sampai Merauke telah di gelar. Itulah Indonesia. Sebuah zamrud khatulistiwa yang kaya budaya. Di layar kacara terlihat konfigurasi peta kepulauan Indonesia yang ditampilkan oleh 4.000 tentara, berganti-ganti dengan konfigurasi bendera Merah Putih, Garuda Pancasila, bahkan potret Presiden SBY dan Ibu Negara.

Hampir sejam sudah pagelaran kebangkitan nasional ditayangkan. Memupuk nasionalisme lewat lacar kaca ternyata butuh perjuangan. Entah kenapa, acara selanjutnya bagi saya mulai membosankan, atau karena mata saya kelelahan.

Ketika drumband Taruna AU, Taruna dan Taruna AL tampil di Senayan, saya merasa haus, saya merasa dahaga, saya butuh air. Hendak mengambil air di galon, ternyata air minum kami telah kering. Maka, ketika 1.000 personil angkatan darat menampilkan atraksi bela diri, saya mohon pamit kepada televisi kami: ke warung sebelah membeli air minum. Nasionalis tetap butuh air untuk mengusir dahaga, bukan?

Ketika saya kembali dari membeli air, waktu telah menunjukkan pukul 20.35, berarti tinggal 25 menit lagi pagelaran kebangkitan nasional ini akan berakhir. Lalu tiba-tiba kain Merah Putih raksasa mememuhi lapangan Senayan. Bendera hasil karya Pak Sunadi ini diarak membentuk gelombang, sembari diiringi lagu Bangun Pemuda Pemudi. Nasionalisme saya makin memuncak ketika lagu Majulah Negeriku karya Presiden SBY dikumadangkan.

”Majulah Negeriku, bangunlah negeriku, sejahtera semua anak cucu. Rukunlah bangsaku, hidup dalam tanai airku, bangunlah negeriku, merah putih berkibar selamanya. Jangan sia-siakan kesempatan yang kita miliki bersama, untuk mengubah masa depan kita. Bangkitlah bangsaku, mari kita singsingkan lengan baju. Bangunlah negeriku, sejahtera semua anak cucu, rukunklah bangsaku, hidup dalam damai tanah airku. Majulah negeriku. Merah putih berkibar selamanya. Merah putih berkibar selamanya”.

Istri sudah hafal di luar kepala lagu ciptaak kepala negara kita ini. Istana tempat kami berteduh berada di samping markas Pasukan Pengaman Presiden (Paspampres). Nah, lagu yang aslinya dinyanyikan oleh Tantowi Yahya ini menjadi lagu wajib bangun pagi dan dan bangun tidur siangnya para pengawal presiden. Maka ketika lagu itu kembali dinyanyikan di puncak 100 tahun kebangkitan nasional, istri saya tak tinggal diam, dia pun bernyanyi. ”Nasionalis juga nih istriku’, gumam saya dalam hati.

Tepat pukul 21.00 pagelaran akbar itu berakhir. Ucapan terima kasih pun disampaikan kepada seluruh anak negeri yang telah berpartisipasi dalam perhelatan luar biasa tersebut. Saya beruntung masih memiliki mata untuk menyaksikan aneka tradisi negeri ini. Sembilan puluh menit penuh warna telah saya saksikan malam ini. Sebuah karya anak bangsa yang patut dicatat, yang patut dikenang.

Pukul 21.05, Deddy Miswar tampil di layar kaca dengan kata-kata indah : Bangkit itu susah, susah melihat orang susah , senang melihat orang senang. Bangkit itu takut, takut korupsi, takut makan yang bukan haknya. Bangkit itu mencuri, mencuri perhatian dunia dalam prestasi.Bangkit itu marah, marah bila martabat bangsa diinjak. Bangkit itu tidak ada, tidak ada kata menyerah, tidak ada kata putus asa. Bangkit itu malu, malu menjadi benalu, malu karena minta melulu. Bangkit itu aku, untuk bangsaku.

Pada pukul 22.00, ketika saya hendak ke peraduan, setelah menyaksikan sembiln puluh menit atraksi anak pertiwi merayakan kebangkitan nasional, saya menarik sebuah kesimpulan ini: Saya bangga menjadi anak Indonesia. Saya mencintai Indonesia. Saya akan mempersembahkan bakti dan pengabdian terbaikku untuk negeri ini, lewat caraku sendiri.

Salam,

Ferdinandus Setu

Senin, 19 Mei 2008

Mengenang Harkitnas

Kita mengenal cukup banyak hari yang diperingati secara nasional. Ada peringatan hari pahlawan, hari ibu, hari anak, hari lingkungan hidup, hari sumpah pemuda, hari proklamasi, hari perempuan, hari buruh, hari kebangkitan nasional dan hari peringatan lainnya. Apa yang kita buat pada hari-hari peringatan semacam itu? Tentu sesuai dengan jenisnya, pelaku peringatan adalah mereka yang menjadi bagian dari hari peringatan bersangkutan. Yang merayakan hari buruh adalah para buruh. Hari perempuan diisi dengan berbagai kegiatan oleh kaum perempuan. Demikian pun hari anak. Lalu untuk hari proklamasi, sumpah pemuda dan hari pahlawan, serta hari kebangkita nasional misalnya, siapa yang merayakannya? Sebagai warga bangsa, kitalah yang memberi makna dan merayakan peringatan hari-hari bersejarah itu.
Bukan para pahlawan, para pendiri bangsa ini dan pemuda era 1908.

Tahun 2008 ini, Indonesia memperingati hari kebangkitan nasional. Tahun ini adalah tahun istimewa, sebab kita mengenang 100 tahun kebangkitan nasional. Sebagai peringatan yang rutin tahunan, boleh jadi konsep kita tentang hari-hari peringatan itu telah membaku. Ada apel bendera, buat perlombaan memasak, lari karung, sepak bola, menulis. Bisa juga demonstrasi menuntut ini dan itu. Ada pula seminar, diskusi, pengobatan gratis. Hal-hal ini memang baik. Namun, merayakan hari-hari peringatan sebatas yang artifisial, seremonial, rutinitas, kontinuitas belum sepenuhnya tercakup dalam konsep memaknai hari peringatan itu. Hari-hari peringatan itu mesti dimaknai lebih dalam, digali lebih jauh dan diartikan lebih luas. Kita mesti sampai pada fokus menemukan spirit, roh, yang transendens, religiositas dari hari-hari peringatan nasional di negeri ini. Salah satu dari fokus itu adalah menyelami kultur ingatan dalam aksi-aksi melawan lupa.

Hari kebangkitan nasional yang dirayakan setiap tanggal 20 Mei merupakan bagian dari ingatan kolektif bangsa Indonesia. Sejarah bangsa ini telah dicatat dengan tinta darah kegigihan para pahlawan mempertahankan negeri ini dari kolonialisme. Sembilan puluh semblan tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 20 Mei 1908, berdirilah organisasi Boedi Oetomo, yang dikemudian dikenang sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Saat itu bangkitlah suatu kesadaran tentang kesatuan kebangsaan untuk menentang kekuasaan penjajahan Belanda yang telah berabad-abad lamanya berlangsung di tanah air Indonesia.
Boedi Oetomo pada saat itu, merupakan perkumpulan kaum muda yang cerdas dan peduli terhadap nasib bangsa, yang antara lain diprakarsai oleh ; Dr. Soetomo, Dr. Wahidin Soedirohoesodo dan Dr. Goenawan dan Suryadi Suryadiningrat (Ki Hadjar Dewantara).

Semangat kebangkitan nasional muncul, ketika bangsa Indonesia mencapai tingkat perlawanannya yang tidak dapat dibendung lagi, untuk menghadapi kekuasaan kolonial Belanda yang tidak manusiawi dan tidak adil. Penegasan tekad bangsa untuk bebas dan merdeka dari belenggu kolonialisme dan imperialisme.

Kebangkitan kesadaran atas kesatuan kebangsaan atau nasionalisme yang lahir pada 20 Mei 1908, kemudian menjadi tonggak perjuangan yang terus berlanjut. Muncullah kemudian Jong Ambon (1909), Jong Java dan Jong Celebes (1917) Jong Sumatera dan Jong Minahasa (1918). Pada tahun 1911 juga berdiri organisasi Sarikat Islam, 1912 Muhammadiyah, 1926 Nahdlatul Ulama, dan kemudian pada tahun 1927 berdiri Partai Nasional Indonesia.

Perjuangan yang panjang itu, akhirnya mencapai puncaknya pada kemerdekaan bangsa, yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Negara kita seperti ditegaskan oleh para pendirinya adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang ditegakkan berdasarkan prinsip Negara Hukum.

Tahun ini, kita mengenang kembali para pemuda era 1908 yang telah berjuang membangkitkan spiprit nasionalisme Indonesia. Beberapa Departemen akan merayakan secara khusus. Departemen Komunikasi dan Informartika juga akan melakukan hal yang sama, menggelar berbagai jenis perlombaan dan permainan untuk mengenang anak-anak muda pemberani kita dahulu.

Upaya kita mengenang, mengingat, menjaga ingatan dan berjuang melawan lupa adalah sebuah proses epistemologis. Bahkan dalam hal yang sangat sederhana, mengingat adalah awal dari proses mengetahui. Ingatan kita adalah pengetahuan kita. Ingatan sebagai pengetahuan adalah proses memuntahkan ke permukaan semua realitas yang telah terjadi yang terkubur dalam file-file memori kita.

Mengenang para pemuda yang menyampaikan spirit bangkit pada era 1908 adalah sebuah upaya yang tidak saja memutar pita memori kita pada deretan para pahlawan bangsa ini yang dikenal, diberi gelar pahlawan dan didokumentasikan dalam arsip-arsip bertinta emas di tumpukan-tumpukan arsip negeri ini. Ada banyak pahlawan yang tidak terdaftar, yang hidup mereka berakhir tragis karena risiko menempatkan kebenaran dan keadilan di atas segala-galanya. Ada banyak figur di negeri ini yang pantas menjadi pahlawan, namun ’dikalahkan’ sejarah bangsa sendiri. Kita kenang pejuang HAM, Munir, yang meninggal dalam kesendirian di atas pesawat dalam penerbangan menuju negeri Belanda.

Membahas ingatan, saya jadi teringat Milan Kundera penulis buku The Book of Laughter and Forgetting. Milan Kundera mengatakan bahwa perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan manusia melawan lupa. Bangsa kita memang kerap jatuh dalam dosa mudah melupakan sejarah, pun sejarah penderitaan. Kita cenderung melupakan dosa-dosa kekerasan masa lalu dan berbagai penyimpangan terhadap martabat manusia entah karena kita takut mengingatnya atau karena kita merasa itu bukan bagian dari sejarah hidup kita. Munir misalnyua selalu tampil mengingatkan kita semua agar tidak lupa. Mereka, seperti juga mendiang Bung Karno selalu berapi-api menggelegarkan jasmerah: jangan sekali-kali melupakan sejarah. Mereka dengan cara perjuangannya yang biasa namun konsisten hingga akhir telah berupaya melawan tindakan ”mematikan ingatan” oleh para penguasa sembari terus ”mempertahankan ingatan” terhadap berbagai penderitaan masa lalu.

Hari Kebangkitan Nasional hanya sehari. Namun, mengenang dan memaknai hari pahlawan haruslah setiap hari. Epistemologi ingatan kita tetap bertahan jika kita selalu me-refresh file memori kita dan bukan meniadakannya. Nilai-nilai kepahlawanan sangat kita butuhkan dalam zaman kita saat ini. Ada banyak penderitaan yang mendera hidup kita saat ini. Para penjajah itu tidak lagi dari negara lain, tetapi lahir dari negeri sendiri bahkan dalam diri pemerintah dan aparat kita. Korupsi masih merajalela. Kesewenangan-wenangan hukum masih berlaku; yang mencuri ayam dihukum, yang korup uang negara ratusan juta dan miliaran rupiah dibiarkan bebas. Para petani dan nelayan kita terus terjajah. Harga ditentukan sepihak oleh tengkulak dan pengusaha. Keringat mereka sering tak dihargai secara pantas. Kaum perempuan kita masih diperlakukan tidak adil, dijual, dijadikan budak seks. Nasib tenaga kerja juga tidak jelas, sering jadi korban di negeri orang.
Siapa yang harus jadi pahlawan untuk mereka-mereka ini? Boedi Oetomo hanyalah nama. Ki Hadjar Dewantara sudah tinggal kenangan. Para pemuda pemberani itu tinggal ingatan semata.

Kita yang hidup di zaman ini dengan berbagai kompleksitas hidup kita mempunyai tugas yang sama yakni melawan lupa, mendobrak aksi mematikan ingatan dan terus melestarikan kultur ingatan khususnya ingatan pada penderitaan itu sendiri, ingatan pada kebangkitan yang menggelorakan darah dan semangat kita.

Kita perlu merayakan kebangkitan nasional yang baru. Kebangkitan dari kebiasaan mengeruk uang rakyat untuk keuntungan pribadi. Mari kita bangkit bersama, kita bangkit bersama rakyat, bangkit untuk menggapai sesuatu yang lebih baik, sesuatu yang lebih indah.

Seabad kebangkitan nasional akan segera kita jelang. Siapkah kita bangkit dari ”tidur panjang” kita. Mari bangkit, mari melawan lupa.

Salam,

Ferdinandus Setu

Minggu, 18 Mei 2008

Meneladani Sophan

Sophan Sophian mendadak meninggalkan jagat Indonesia, Sabtu, 17 Mei 2008 akibat kecelakaan di sebuah desa di Ngawi, Jawa Timur. Ia telah pergi, agar kita yang hidup makin mencintai kehidupan. Mencintai kehidupan berarti tak takut dinyatakan berbeda dalam situasi apa pun. Sophan Sophian adalah teladan yang berani keluar dari pentas politik setelah menyaksikan dan mengalami sendiri bahwa politik yang dihidupkan di negeri ini adalah politik pentuh intrik, politik yang dijalankan demi kekuasaan semata.

Keteladananan Sophan itulah yang terekam dalam beberapa testimoni yang berhasil dirangkum Kompas Ketua Fraksi PDIP Tjahjo Kumolo menyebut Sophan sebaga pribadi pemegang teguh prinsip. ”Ia cukup unik, kala sudah punya prinsip, ya sudah,” kata Kumolo.

Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa bertutur : Sophan adalah tokoh nasional yang gugur saat sedang menjalankan tugas negara, yakni saat mengemban tugas dalam Kepanitiaan Nasional Peringatan 100 Tahun Kebangkitan Nasional. ”I sangat jujur dan konsisten memegang prinsip baik di dunia politik maupun di dunia seni. Rasa cinta tanah airnya tak perlu diragukan lagi, ” kenang Hatta.

Akbar Tanjung, Doktor Politik lulusan UGM berkomentar : Sophan sesorang yang memiliki idealisme dan jiwa nasionalisme tinggi. Rekan Sophan, Eros Djarot bertestimoni : Ia pribadi Luar biasa dan memegang teguh prinsip.Slamet Rajardjo Djarot punya ungkapan senada : Ia benar-benar putih, putih di hati, putih di ucapan. Itu yang membuat saya kagum dan cemburu

Untuk diingat kembali, sebelum terjun ke dunia politik, Pria kelahiran Makassar, 26 April 1944 itu, menjadi anggota Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pada tahun 1991. Suami Aktris Widyawati ini ini sempat menjadi Ketua UU Parfi (1977-1980) dan Sekjen parfi (1987-1988). Pada tahun 1999, Sophan menjadi Ketua DPP Partai PDIP dan terlilih sebagai ketua fraksi PDI Perjuangan DPR (1999-2004). Sebelum jabatannya berakhir, Sophan mengundurkan diri dari Ketua FPDIP dan angkat kaki dari Senayan. Keputusan mundur ia ambil setelah ia memlihat banyak yang tidak beres di lembaga parlemen itu. Ia menilai kebijakan partai banteng moncong putih sudah tidak sejalan lagi dengan idealismenya untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. Ia kecewa melihat banyak kaum opportunis di lembaga perwakilan rakyat itu.

Apa yang perlu kita teladani dari seorang ”Letnan Harahap” ini? Pengunduran diri Sophan dari PDIP pada tahun 2002 membuktikan bahwa partai politik saat ini masih sibuk dengan urusan mendapatkan kekuasaan dan lupa melaksanakan perannya sebagai sarana pendidikan politik bagi anggotanya dan masyarakat luas.
Untuk mendeteksi kerancuan arah partai politik itulah, kita perlu mengemukakan empat pathologi sosial ketika memotret demokrasi di Indonesia dalam era reformasi. Pertama, hilangnya rasa saling percaya antara berbagai kelompok kekuasaan sosial politik di dalam masyarakat. Kedua, kecenderungan menggunakan kekuatan massa untuk memenangkan bargaining politik. Ketiga, munculnya otoritarianisme populis dalam percaturan politik dan relasi-relasi kekuasaan yang semakin mempersulit proses pembangunan politik sebagai sistem. Keempat, berkaitan dengan demokrasi sebagai nilai, terlihat para aktor politik ibarat hanya memenuhi sebuah undangan dalam suatu resepsi yang segala sesuatunya telah dipersiapkan, dan di sana ia cuma duduk patuh tanpa kritik.

Potret pathologi sosial ini nampak juga dalam kehidupan partai politik. Dan boleh jadi, partai politik saat ini menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya pathologi sosial itu, karenanya Sophan hengkang dari PDIP. Hal ini terjadi karena parpol tidak berjalan sesuai arah dan tujuannya melainkan menyimpang oleh kepentingan sesaat pihak-pihak tertentu.

Peran Parpol

Secara konseptual, agar mampu memainkan perannya dalam penegakan demokratisasi, maka partai politik setidak-tidaknya harus mampu memainkan beberapa fungsi, antara lain: pertama, sebagai sarana komunikasi politik. Dengan fungsi ini partai politik harus mampu berperan sebagai penyalur aspirasi pendapat rakyat, menggabungkan berbagai macam kepentingan (interest aggregation), dan merumuskan kepentingan (interest articulation) yang menjadi dasar kebijakannya.

Kedua, sebagai sarana sosialisasi politik. Dengan fungsi ini partai politik harus mampu berperan sebagai sarana untuk memberikan penanaman nilai-nilai, norma dan sikap serta orientasi terhadap fenomen politik tertentu. Upaya parpol dalam sosialiasi politik antara lain meliputi penguasaan pemerintah dengan memenangkan setiap pemilu, menciptakan image bahwa ia memperjuangkan kepentingan umum, dan mampu menanamkan solidaritas dan tanggung jawab terhadap para anggotanya maupun anggota lain (in group dan out group).

Selain dua fungsi ini, fungsi yang ketiga adalah sebagai sarana rekruitmen politik. Dengan fungsi ini parpol mencari dan mengajak orang berbakat untuk turut aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota partai, baik melalui kontak pribadi maupun melalui persuasi. Fungsi keempat, sarana pengatur konflik. Parpol berfungsi mengatasi berbagai macam konflik yang muncul sebagai konsekuensi dari negara demokrasi yang di dalamnya terdapat persaingan dan perbedaan pendapat (Muhammad Zaenuddin: 2004, 121).

Berdasarkan uraian fungsi parpol di atas, rakyat tentu sangat mengharapkan agar parpol menjadi aktor yang baik dalam proses demokratisasi di negara ini. Artinya, parpol mesti menjadi pisau bedah bagi fenomen pathologi sosial yang kian menggejala di republik ini. Bahkan untuk semakin memperjelas dan mempertegas fungsi parpol, UU No.31 Tahun 2002 tentang Partai Politik menggariskan beberapa fungsi partai politik sebagai sarana:

Pertama, pendidikan politik bagi anggotanya dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Republik Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kedua, menciptakan iklim yang kondusif dan program konkrit serta sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa untuk menyejahterakan masyarakat. Ketiga, penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat secara konstitusional dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara. Keempat, partisipasi politik warga negara dan kelima, rekrutmen politik dalam pengisian politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan gender.

Pengunduran diri Sophan Sophiaan dari kancah PDIP pada tahun 2002, dan kembali kita kenang kini, tentunya patut menjadi pelajaran yang berarti bagi partai politik di negeri ini, yang konon menurut data Departemen Hukum dan HAM terakhir telah mencapai 40 partai.

Setiap kematian, selalu mengingatkan saya pada kata-kata Yukio Mishima (1925-1970) : ”If we value so highly the dignity of life, how can we not also value the dignity of death? No death may be called futile” . Dengan pernyataan itu, Mishima mau mengatakan bahwa apresiasi yang kita berikan pada kehidupan seharusnya berlaku sama pada kematian, karena kematian selalu membawa makna dan bukan hal yang sia-sia. Kematian Sophan bukanlalah hal yang sia-sia jika kita memaknai kematiannya sebagai awal dari perjuangan kita untuk membela kehidupan ini. Kematian hanyalah situasi batas, bukan situasi akhir. Sophan sudah terbatas bagi kita secara fisik, tetapi ia tidak pernah berakhir untuk kita.
Seperti yang dituliskan seorang feminis, Virginia Woolf, kepada Leonard, suaminya sebelum ia menenggelamkan dirinya, “…ada yang harus mati, agar kita semua bisa menghargai hidup.” Saya yakin, Sophan ingin agar kita memaknai kepergiannya seperti itu. Dan mau menunjukkan kepada kita bahwa hidup bisa menjadi sesuatu yang mewah, manakala kita telah berhenti menebarkan harapan dan membiarkan mesin kekerasan terus menggerus rasa kemanusiaan kita. Sophan Sophian, memang bukan sekadar nama. Di dunia lain pun ia tetaplah seorang demokrat tulen dan nasionalis sejati.


Rest in Peace, beristirahatlah dalam damai.

Salam,

Ferdinandus Setu

Menulis Indonesia

Vokalis Band Letto, Noe, ternyata tak hanya pandai mencipta lagu dan mengolah vokal, tapi ternyata juga penulis yang baik. Tak tanggung-tanggung, topik yang ditulisnya adalah : Indonesia. Ya, Noe menulis artikel berbahasa Indonesia tentang Indonesia, dengan tajuk : Generasi Larva : Memulai 100 Tahun Kedua. Tulisan yang rupanya ditujukan untuk memoret kaum muda Indonesia pada saat merayakan 100 tahun kebangkita nasional itu, dimuat di harian Kompas, Minggu, 18 Mei 2008.

Ia mengawali tulisannya dengan menyampaikan idiom ”Indonesia banget” yang belakangan ini cukup mengemuka dan mengganggunya. Idiom Indonesia banget adalah merujuk pada konotasi perilaku negatif sebagian anak negeri ini. Perilaku-perlilaku negatif dan miring yang terkategorikan sebagai Indonesia Banget, menurut Noe, adalah : buang sampah sembarangan, merokok di kawasan no smoking, tidur saar rapat, koruptor tak terhukum, umbar janji saat pemilihan, bahkan ngiler. Kita mungkin bisa menambahkan sendiri list Indonesia Banget yang kita temukan sehari-hari: main hakim sendiri alias eigenrechtig, ugal-ugalan di jalan raya, bermain bola di jalan raya, dan seterusnya.

Menurut Noe, saat ini generasi muda Indonesia terkategorikan sebagai generasi larva. Mengapa generasi larva? Noe melihat siklus kehidupan nyamuk yang terus berulang dari : telur-larva-pupa-nyamuk-telur-larva, dan seterusnya, sebagai analaogi yang cukup pas untuk memotret peta permasalahan Indonesia dewasa ini. Generasi 100 tahun kedua setelah kebangkitan nasional, 20 Mei 1908, adalah generasi larva. Generasi larva akan memulai siklusnya mulai 20 Mei 2008 sampai dengan 20 Mei 2108.

Apa yang harus dilakukan generasi larva ini untuk men-delete idion megatif : Indonesia banget? Yang paling pertama menurut Noe Letto, generasi larva harus menolak menjadi nyamuk. Nyamuk adalah adalah kata yang merujuk pada generasi pertama Indonesia, yang menyebabkan terciptanya idiom Indonesia banget. Generasi larva adalah generasi baru dengan sikap dan pemikiran yang baru, generasi yang harus memiliki sikap dan pemikiran antitesis dari permasalahan yang melilit negeri ini selama ini. Untuk itu, dibutuhkan sikap yang mandiri, yang mau dan mampu mengubah dirinya sendiri untuk melepaskan diri dari lingkaran setan Indonesia Banget Generasi Nyamuk dan bisa mengubah pengertian atas idiom tersebut menjadi pengertian : sopan-santun, gotong-royong, saling memaafkan, cinta damai, tak main hakim sendiri, koruptor dihukum dan dikutuk, dan litani sikap positif lainnya. Litani karakter positif inilah yang menjadi idiom Indonesia Banget versi Generasi Larva.

Apakah kita bisa menjadi generasi larva yang sesakti garuda pancasila? Noe menjawab : tidak mudah itu pasti. Tidak mungkin itu salah persepsi. Artinya bukan mustahil bagi kita bisa mencapai hal itu.

Itulah gambaran Noe, vokalis Band Letto yang belakangan ini sangat populer di blantikan musik Indonesia, atas Generasi Larva dan Indonesia Banget. Noe yang lulusan sebuah univeritas di Edmonton, Kanada, membuat sebuah gambaran yang cukup simpel bagi generasi muda dalam melihat persoalan besar bangsa ini, sebuah persoalan yang berawal dari pilihan bernegara yakni : demokrasi. Tapi tentu kita bertanya apakah pilihan kita atas demokrasi adalah pilihan yang salah sehingga kita terjebak dalam praktik-praktik kehidupan berbangsa dan bernegara yang menciptakan sebuah idiom Indonesia Banget?

Persepsi Demokrasi

Hemat saya, untuk memulai 100 tahun kedua pasca kebangkitan nasional, Indonesia perlu kembali menata konsep demokrasinya. Konsep demokrasi Indonesia saat ini sudah keluar jalur (out of track) dari konsep demokrasi murni yang pernah diajarkan para bijak bestari demokrasi. Untuk itu, konsepsi John Locke dapat menjadi pisau bedah untuk melihat konteks demokrasi Indonesia hic et nunc, kini dan di sini.

John Locke merupakan salah seorang tokoh perintis Zaman Pencerahan (Enlightenment). Ia lahir di Wrington, dekat Bristol, Inggris, pada tahun 1632. Ia menempuh pendidikan dengan disiplin ketat di Westminster School dari tahun 1646 – 1652. Ia lalu melanjutkan ke Oxford dan menyelesaikan gelar B.A.-nya pada tahun 1656, dan gelar M.A pada tahun 1658. Di Oxford, ia juga belajar ilmu kimia dan fisika, bahkan ilmu kedokteran. Ijazah dan izin praktik baru diperoleh pada tahun 1674. Ia menduduki beberapa jabatan penting pada masa pemerintahan Pangeran William dari Oranje. Meninggal tahun 1704. Tulisan Locke yang terpenting adalah Essay Concerning Human Understanding, yang terbit pada tahun 1690. Ia juga menerbitkan karya dalam bidang politik, Two Treatises on Civil Governments.

Konsepsi Locke menjadi kiblat bagi demokrasi kerakyatan. Ia berpendapat bahwa terbentuknya dunia politik atau negara didahului oleh keberadaan individu-individu yang memiliki hak-hak kodrati. Baginya, pembentukan negara tidak berarti pengalihan semua hak warga negara kepada negara. Hak membuat undang-undang, yakni hak legislatif dan eksekutif serta pelaksanaannya diserahkan kepada negara, tetapi seluruh proses harus didasarkan pada syarat yang harus dipenuhi negara yakni: kelangsungan hak hidup, hak kebebasan dan hak milik. Kekuasaan tertinggi yaitu kedaulatan tetap menjadi milik rakyat (Locke: 2002, 11).

Menurut Locke, ada empat kewajiban pemerintah yang harus dipegang untuk menjamin fungsi pemerintahan demi kepentingan masyarakat. Pertama, kekuasaan legislatif tidak boleh digunakan untuk mengatur hidup dan nasib rakyat secara sembarangan. Kedua, kekuasaan tidak boleh dijalankan tanpa pertimbangan. Ketiga, pemerintah tidak boleh mengambil hak milik orang lain tanpa persetujuan; hal ini berlaku pula bagi pajak. Keempat, kekuasaan legislatif tidak dapat dialihkan kepada orang lain dan harus tetap berada pada kelompok yang menjadi wakil rakyat.

Locke membedakan secara jelas apa yang disebut ”masyarakat alamiah” (civil society) dan ”masyarakat politik” (civil government) atau negara. Pembedaan ini menjadi dasar demokrasi dan kedaulatan rakyat. Dengan demikian, ada pembatasan kewenangan negara. Tindakan politik bersifat instrumental, dalam arti menjamin terciptanya kondisi bagi kebebasan sehingga tujuan individu dapat terwujud dalam civil society. Oleh karena itu, pembentukan pemerintah diadakan untuk menjamin hak dan kebebasan warga negara. Warga negara itu sendirilah yang paling berkompeten dalam menentukan apa yang merupakan kepentingannya. Dengan itu, negara harus dibatasi ruang lingkupnya sehingga dapat menjamin semaksimal mungkin kebebasan warga negara.

Dalam praksis kehidupan berdemokrasi di Indonesia, telah terjadi apa yang disebut paradoks kedaulatan rakyat, yakni sebuah proses politik di mana prinsip kedaulatan rakyat mengalami pembalikkan dalam praktiknya (Dadang. J: 1998,21).

Pertama, dalam teori Locke tentang demokrasi, rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi dan kehadiran negara (baca: pemerintah) adalah untuk melayani kepentingan rakyat. Tetapi kepentingan yang dimaksud adalah kepentingan yang ditentukan sendiri oleh rakyat selaku pihak yang berkompeten atas kepentingannya. Rakyat dalam mekanisme demokrasi menyalurkan kepentingannya melalui wakil-wakilnya di legislatif. Namun, sikap pemerintah yang mengabaikan legislatif dan memanipulasi suara rakyat, menciptakan konflik antar kelompok massa adalah bukti bahwa pemerintah belum paham betul apa itu demokrasi kerakyatan. Pemerintah dalam hal ini sebenarnya sedang mempertontonkan paradoks penghayatan demokrasi.

Kedua, pemerintah yang dipilih melalui mekanisme demokratis justru jatuh dalam sikap dan pelayanan yang tidak demokratis (paradoks demokrasi). Pemerintah masih menghayati demokrasi dalam arti staatsform, demokrasi dalam forma suatu negara, demokrasi dalam undang-undang, demokrasi dalam peraturan, demokrasi di atas kertas. Bukan sebaliknya demokrasi dihayati sebagai staatsinhalt, penghayatan makna dan isi demokrasi atau tepatnya eine Lebenshaltung zu jeder Stunde, demokrasi dihayati sebagai sikap hidup pada setiap saat (Shindunata: 2000, 10).

Pendekatan dengan pola otoritas juga dilakoni pemerintah. Pendekatan model ini inilah yang mematikan gerakan civil society yang seharusnya lebih diaktifkan dalam mekanisme demokrasi yang jujur karena merekalah pemegang kedaulatan itu. Penguatan otoritas itu nampak dalam mekanisme defensif atau pola anti kritik yang kerap dilakukan pemerintah. Merasa sebagai yang punya otoritas, pemerintah alergi terhadap kritikan, meski kritik yang disampaikan adalah kritik yan g membangun (correctio critica).

Keempat, arus penyempitan ruang partisipasi masyarakat. Banyak kasus penolakan warga atas suatu produk hukum atau kebijakan di negeri ini yang berimbas pada konflik vertikal dan horizontal karena pemerintah lupa melakukan sosialisasi terkait suatu proyek atau program kepada masyarakat. Saat ini, kita lihat dan rasakan betapa pemerintah tengah mencari sebuah alasan yang paling tepat atau prinsipium (sumber sebagai dasar untuk melakukan sesuatu) yang pas untuk menjustifikasi rencana kenaikan tarif bahan bakar minyak. Kita saksikan di media massa, bahwa alasan ”penyelamatan APBN” menjadi prinsipium yang paling sering dikemukakan pemerintah. Saya ingatkan kembali bahwa tanpa melakukan sosialisasi atas program dan pilihan pembangunan kepada rakyat mengakibatkan ruang partisipasi rakyat menyempit. Sering ada argumentasi rakyat tunggu terima hasil. Prosesnya pemerintah yang atur. Ini justru keliru. Sebagaimana kata Locke, rakyatlah yang menentukan apa kepentingannya, maka rakyat harus diberi ruang gerak yang luas untuk terlibat dalam proses mewujudkan kepentingannya. Sering terjadi setelah proses mulai baru ada sosialisasi. Maka lahirlah penolakan rakyat karena apa yang dibuat itu tidak sesuai harapan dan kepentingan mereka. Nah protes rakyat yang marah atas kebijakan pemerintah tengah kita saksikan belakangan ini. Aksi demonstrasi menentang rencana pemerintah menaikkan harga BBM terjadi di mana-mana. Demonstrasi juga menolak solusi Bantuan Lansung Tunai (BLT) yang ditawarkan pemerintah, meski pemerintah mengiming-iming bahwa BLT kali ini adalah BLT Plus. Kita tak tahu, apa yang dimaksudkan dengan BLT Plus ini, apakah BLT Plus Penderitaan atau BLT Plus Kesejahteraan.

Dalam konsepsinya tentang ”masyarakat alamiah” (civil society) dan ”masyarakat politik” (civil government) atau negara, Locke sudah mengingatkan bahwa tindakan politik bersifat instrumental, dalam arti menjamin terciptanya kondisi bagi kebebasan sehingga tujuan individu dapat terwujud dalam civil society. Oleh karena itu, pembentukan pemerintah diadakan untuk menjamin hak dan kebebasan warga negara. Warga negara itu sendirilah yang paling berkompeten dalam menentukan apa yang merupakan kepentingannya. Dengan itu, negara harus dibatasi ruang lingkupnya sehingga dapat menjamin semaksimal mungkin kebebasan warga negara. Pemerintah adalah sarana politik yang bertujuan menggolkan kepentingan rakyat. Karena itu, ruang partispasi rakyat harus dibuka selebar mungkin. Sebab ketika ruaangan partisipasi rakyat dibuka, maka rakyat sebagai anak sah dari demokrasi tak lagi marah, tak lagi protes.

Itulah catatan saya atas demokrasi, merespon artikel positif dan menarik Noe Letto. Lamat-lamat terdengar suara Noe dari televisi di ruang tamu yang menyanyikan bait-bait Permintaan Hati dari album Don’t Make Me Sad:

......
Dengarkan permintaan hati
yang teraniaya sunyi
Dan berikanlah hati pada hidupku
yang terhempas, yang terlepas
pelukanmu ...bersamamu.
dan tanpamu aku hilang selalu .....

Jika pemerintah mendengarkan permintaah hati rakyatnya yang teraniaya oleh beban ekonomi tentu pemerintah akan menempuh kebijakan politik ekonomi yang prorakyat. Jika pemerintah mendengarkan permintaan hati rakyat yang teraniaya, tentu pemerintah akan menerapkan prinsip-prinsip demokrasi yang benar, yang tak akan membuat rakyatnya teraniaya, sebab negara tanpa rakyat, negara tanpa pelukan rakyat, negara tersebut akan ”hilang selalu”.

Salam,

Ferdinandus Setu

Kamis, 15 Mei 2008

Membaca Nasionalisme

Nasionalisme Indonesia bangkit dari alam baka. Nasionalisme yang telah lama hilang itu kembali menyapa kita dari gelaran piala uber-thomas di Senayan, Jakarta. Sebuah rasa aneh-tapi nyata yang hadir menggelorakan dada untuk membela bangsa hadir dari permainan bulu-angsa. Ah, sebuah rasa yang syarat makna, ketika anak bangsa sedang gelisah menunggu sang kepala negara meneken surat keputusan menaikkan harga bahan bakar minyak di akhir bulan lima. Nasionalisme yang untuk sementara mengobati kekecewaan warga nusantara atas melambungnya harga sembilan-bahan-utama gara-gara sang kepala negara tidak tegas menaikkan bahan bakar minyak.

Nasionalisme Indonesia adalah semangat dan gemuruh di dada Agum Gumelar sang pria yang tak pernah menang, Sutiyoso-sang mantan kepala daerah khusus ibukota Jakarta, Agnes Monica sang biduanita yang punya cita-cita go-interasional, Ishadi Es-Ka sang kepala pemberitaan tv-trans, dan Ari Dagink-Desta sang penghibur di layar kaca.

Nasionalisme adalah isme yang memantapkan langkah Agum Gumelar untuk sejenak melupakahan kekalahannya yang ketiga dalam pemilihan kepala daerah Jabar - kita ingat kekalahan pertama Ayah Mertua Taufik Hidayat itu adalah ketika ia bersama Hamzah Haz gagal melaju ke putaran kedua pemilihan presiden di tahun dua ribu empat. Kita ingat kekalahan kedua ayah Ami Gumelar ini adalah ketika dia gagal melaju dalam putaran pilkada DKI Jakarta- ia benar-benar melupakan sejenak kegagalan demi kegagalannya dan datang menyaksikan perjuangan Pia Zubaidah dan kawan-kawan di Senayan guna merebut tiket emas ke babak final, hari kamis, tanggal lima belas, di bulan lima, dua ribu delapan, tadi malam.

Nasionalisme adalah isme yang menggelorakan semangat sang mantan kepala daerah khusus ibukota jakarta, Sutiyoso untuk bergabung bersama ribuan masyarakat Indonesia menyorakkan yel-yel kemenangan bagi srikandi-Indonesia. Sang penggagas bus-transjakarta sejenak melupakan agenda politiknya , sebuah agenda yang akan menghantarkan sang mantan tentara ini ke dalam kancah pertarungan kursi Indonesia-esa di tahun depan. Atau jangan-jangan nampang di senayan adalah salah satu ajang buat dia menjual nama kepada anak muda demi dua ribu sembilan, ah entahlah, saya tak mau berburuk sangka.

Nasionalisme adalah isme yang menguatkan tekad dan niat Agnes Monica untuk bergabung di istora senayan menyampaikan dukungan moral untuk pasukan garuda pancasila yang sedang berjuang melawan sang panser-jerman. Permainan dari India bernama poena telah menorehkan semangat membela bangsa sang biduanita kita sehingga untuk sementara dia lupa hasratnya berkarya di mancanegara yang masih kandas.

Nasionalisme adalah isme yang membuat bapak ishadi es-ka rela tertawa lepas-bebas-puas atas kemenangan srikandi-indonesia melaju ke babak final dalam empat pertandingan sahaja. Nasionalisme itu kuat membekap nafas bos-besar tv-trans untuk tidak menjaga citra, meski telah menjadi pengusaha kelas atas, tertawa di ramai-khalayak guna merayakan sebuah kemenangan.

Nasionalisme yang sama hadir merasuki urat syaraf sang pelawak ari dagink dan desta untuk membuat tawa para bulutangkis-mania di senayan dengan ulah-jenaka tanpa harus meminta bayaran seperti biasanya. Nasionalisme adalah isme yang menghadirkan jenaka-tawa di lapangan dalam sorak gegap gempita masyarakat khatulistiwa atas kedigdayaan putri-jelita indonesia mengkandaskan impian terliar Jerman masuk ke babak final.

Nasionalisme yang sama yang memaksa saya untuk segera menghilang dari kantor di merdeka barat jam tujuh malam, pulang ke rumah menatap lacar kaca, menyaksikan sang bulu angsa terbang di atas langit-langit istora senayan. Nasionalisme itu memaksa saya berteriak kegirangan ketika sang bulu angsa tepat menghujam sasaran lawan, dan sejenak mengacuhkan anak tercinta yang tak paham atas ulag sang ayah yang girang meloncat atas kemenangan wanita-Indonesia. Nasionalisme itu yang menyebabkan sang istri tercinta ngambek-marah lantaran harus kalah melawan saya memperebutkan saluran tv-trans dan tivi-wan.

Ah nasionalisme yang aneh, yang membuat saya harus mandi pada jam setengah sepuluh malam setelah memastikan kemenengan tim uber kita melaju ke babak final. Sebuah rasa yang telah lama pergi menghilang, kini datang menyapa saya, anda, kita semua yang masih bangga dengan sebutan warga Indonesia. Sebuah doa terlintas di kepala, bangkitlah indonesia, jayalah nusantara.

Salam,
Ferdinandus Setu

Menyelami "Memberi"

Pada suatu pagi di bulan Mei, sebuah bungkusan-rapi tiba di ruangan kantor kami yang tak lagi sepi. Seorang petugas Tiki, menghampiri meja seorang ibu pegawai negeri dan menyampaikan: selamat pagi, terima bingkisan ini, tanda tangan di sini. Si pemuda bercelana jins segera angkat kaki. Sang ibu yang kebetulan bernama Kartini segera memeriksa bingkisan dengan teliti. ”Ahai ini ada pemberian dari kawan karib, makanan serba manis, yang harganya cukup selangit”. Kami datang menghampiri dan mulai menikmati. Sang ibu Kartini berdiri dan bersabda sekali lagi : ”Kawanku pantas memberi, dia bergaji sangat tinggi”. Saya diam bagai terpaku mati mendegar sabdanya yang terakhir. Tak terima, saya pun berdiri menatap pasti ke mata ibu berpakaian safari ini, dan keluarlah sebait puisi : ”memberi adalah memberi, memberi tak terkait gaji tinggi, meski bergaji tinggi, kalau pelit ya pelit, ia tak akan berbagi, memberi ya memberi, meski miskin, kalau berniat memberi pasti dilakoni”. Saya diam dan kembali ke kursi, dan kembali mengetik.

Apa arti memberi? Mari kita telisik siji demi siji. Pada bagian kelima kitab Sang Nabi, Khalil Gibran, sang penyair-sufi berpuisi tentang Pemberian-Giving. ”Tidak banyak berarti, bila kita memberi dari harta kita sendiri. Bila kau memberi dari dirimu sendiri, itulah pemberian yang penuh arti”.

Gibran ingin menasihati, harta atau gaji bukanlah esensi dari memberi. Memberi itu mesti niat dari hati. Memberi diri. Memberi senyum lewat bibir. Menyapa kawan dan musuh sejati dengan ucapan: selamat pagi.

Lebih lanjut sang penyair sufi ini merangkai syair : ”Orang yang menumpuk harta duniawi, seperti anjing kikir yang menimbun tulang di bawah pasir. Apa artinya? Karena toh nanti si anjing harus melanjutkan perjalanan bersama musafir tuannya ke kota suci.”

Menyelami arti memberi, saya teringat salah satu cerita sang nabi Isa Almasih yang terpatri di dalam kitab injil. Ada dua warga Yahudi datang ke bait suci untuk menghadap sang Ilahi. Yang satu janda miskin, yang lain orang Farisi. Si janda miskin memasukkan 2 koin sebagai upeti, secara sembunyi, kepada sang ilahi. Sementara si farisi mengambil duit dari peci sejenak menjentikkan jari seakan menunjukkan ke khalayak ramai bahwa dia memberi lebih dari janda miskin.

Kepada dua belas murid, sang nabi pun bertanya retorik : siapa dari kedua orang ini yang upetinya diberkati sang ilahi? Dua belas murid tidak bisa memberi jawaban pasti, mereka tak bisa membuka bibir, mulut mereka terkunci rapi. Sang Nabi pun menjawab sendiri : upeti si janda miskin-lah yang berkenan di hati penghuni surgawi, sebab ia memberi dari hati, memberi dari sedikit yang ia miliki. Upeti si farisi dijauhi sang Ilahi karena memberi demi pamer diri yang berlebih. Si Farisi hanya memberi sedikit dari harta dan gaji-nya yang selangit.
Dua belas murid pun menyimpan di hati nasihat-bajik dari sang guru sejati untuk bekal hidup mereka nanti di kemudian hari, saat sang guru pergi menuju takhta-surgawi.

Setelah menyelami arti memberi, anda masih punya nyali untuk memberi demi gengsi dan pamer diri?

Salam Sejati,

Ferdinandus Setu

Mencapai Orgasmaya

Saat ini kita hidup dalam sebuah zaman yang kerap disebut sebagai globalisasi. Suatu era di mana telah terjadi proses penyeragaman format budaya, politik, sosial, ekonomi pada masyarakat di belahan dunia manapun. Globalisasi adalah era yang mana jarak, ruang dan waktu tidak lagi membatasi ruang gerak individu untuk menjelajahi setiap sudut bumi yang kita tempati ini dan berinteraksi dengan individu lain dari manapun. Batas-batas geografis telah hilang (borderless); dunia bisa dilipat oleh siapapaun yang berkepentingan dengannya. Kita hidup dalam sebuah Desa Buana (global village), di mana bumi tak lagi bundar, melainkan datar. The world is flat (Thomas Friedman).

Tak dapat dipungkiri bahwa globalisasai telah merombak dan membawa manusia pada kehidupan yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan. Hidup penuh dengan kemudahan-kemudahan berkat terciptanya ragam teknologi canggih. Pertumbuhan ekonomi setiap negara meningkat. Semua pemimpin dunia bisa bersatu dan bekerja sama membangun sebuah narasi besar peradaban yakni kemajuan. Namun dibalik itu semua, globalisasi juga menyimpan ironi tersendiri. Globalisasi yang dibesarkan dalam buaian kapitalisme, ternyata juga membuat manusia kehilangan makna kualitas hidupnya. Ritzer menyebut kondisi saat ini penuh dengan waktu, tidak manusiawi dan hancurnya kearifan lokal di seluruh penjuru dunia.”Globalization is Nothing”, kecam Ritzer.

Kapitalisme global, telah melahirkan masyarakat yang terjebak dalam arus budaya pasar, yang selalu mendasarkan pada logika jual beli pada setiap aktivitasnya dan mengkonsumsi apapun yang ditawarkan pasar. Jean Paul Baudrillard menyebut masyarakat seperti ini dengan masyarakat konsumen (consumer society), atau masyarakat komoditas dalam bahasa Teodore W Adorno. Istilah konsumen dan komoditi sendiri sudah menyiratkan pada suatu mekanisme jual beli barang dagangan yang pasti tujuan akhirnya adalah mencari keuntungan.
Pada masyarakat komoditas, semua hal yang menyangkut kehidupan manusia dikomodifikasikan agar bisa dijual; pendidikan, hiburan, olahraga, informasi, kesehatan, kepribadian, penampilan, ilusi, halusinasi, fantasi, hasrat, seks sampai kematian. Semuanya menjadi barang dagangan (komoditi) yang diciptakan untuk perputaran dan akumulasi kapital sebesar-besarnya. Persoalan seks juga tidak luput dari jamahan tangan rakus kapitalisme. Seks dikomodifikasi sehingga muncul industrialisasi seks dalam berbagai macam bentuknya, baik di media massa maupun dalam masyarakat. Seks menjadi barang yang begitu mudah dijamah, dikonsumsi oleh siapapun yang ingin mengkonsumsinya, dengan hanya menyediakan beberapa lembar rupiah, bahkan gratis.

Dalam media massa, komodifikasi seks menemukan tempatnya yang sempurna untuk mengafirmasikan diri melalui tayangan televisi, media massa cetak dunia cyber. Bahkan dalam cyber space khususnya internet, seks telah mempunyai daya tawar tinggi yang mampu menyedot ribuan orang yang berkeinginan untuk mecicipinya, karena berbagai keunggulannya seperti aman, murah, dan selalu up to date dan tentu saja tidak terbatas ruang dan waktu.
Munculnya teknologi informasi dan komunikasi, sejatinya adalah untuk menjembatani dan melayani manusia kontemporer dalam saling tukar informasi. Awal mula kehadirannya ibarat oase di padang pasir, yang bisa memuaskan kebutuhan manusia akan informai, baik antar daerah dalam suatu negara (domestik) maupun antar negara (internasional). Teknologi cyber telah banyak membantu pertumbuhan ekonomi, sosial dan politik karen aksesibilitasnya dalam proses transaksi dan tukar menukar informasi. Cyber culture bahkan bisa dianalogikan sebagai Juggernaut (meminjam istilahnya Giddens) lokomotif raksasa yang bisa menghancurkan siapa saja yang tidak sanggup mengendalikannya. Kita akan tergilas olehnya, mau tidak mau, sadar atau tidak, jika kita buta informasi, jika kita gaptek alias gagap teknologi.

Pada periode selanjutnya, perkembangan teknologi cyber memunculkan cyber culture atau e-culture yang menjadi alat dominan kapitalis untuk menjual berbagai produknya, termasuk seks. Para pemilik modal mengerti betul bahwa seks dilahirkan dari sisi biologis, sehingga ketika direkayasa akan menjadi sebuah kebutuhan yang selalu dicari manusia. Kondisi inilah yang pada tahap berikutnya melahirkan situs-situs porno di internet, bacaan-bacaan cabul, milis-milis lendir dan chatting sex online di internet yang memang bertugas untuk memuaskan dahaga manusia akan seks.

Cyber sex, seperti terlihat dari namanya, adalah kegiatan virtual, rekaan, ciptaan yang bukan sesungguhnya. Dominannya teknologi virtual, bukan tanpa sebab. Ia menunjukkan keunggulan yang tidak bisa diciptakan teknologi informasi lainnya. Audio, visual, kebaruan, permainan identitas, anonimitas, keterlibatan dan lain-lain semua disediakan cyber space. Kita bisa menjadi pemain dunia maya, bukan hanya penonton. Dalam cyber sex, khususnya ketika melakukan chatting online, permainan identitas memegang peranan penting. Cyber sex sangat memungkinkan pemakainya untuk menggunakan identitas apapaun yang diinginkannya, meski tidak sesuai dengan kenyataan yang melekat pada dirinya. Seseorang bisa dengan mudahnya mengidentifikasikan dirinya sebagai laki-laki atau perempuan. Seseorang yang buruk rupa pun bisa menjelmakan dirinya seperti David Bechkam, karena sifat anonimitasnya dalam cyber sex. On the internet no one knows that you are a dog.On the internet no one knows that you are a ugly duck.

Ketika melakukan cyber sex, seseorang melampiaskan fantasi-fantasi seksualnya secara bebas, gamblang dan vulgar. Karena bersifat fantasional, maka apapun yang terjadi sekali lagi adalah bukan kenyataan (unreal). Fantasi-fantasinya bahkan bisa melebihi kenyataan yang sesungguhnya, karena bisa dilakukan oleh siapapun termasuk orang yang “tidak mengerti” seks sekalipun. Realitas yang terjadi di ruang chatting adalah realitas semu, realitas buatan atau dalam bahasa Baudilard disebut sebagai sebuah simualkrum (kenyataan semu) atau hyper realitas . Meskipun demikian, para pecandu cyber sex menikmati semuanya sebagai sesuatu yang nyata.

Hyper realitas dapat mengaburkan antara duni nyata dan dunia bukan sungguhan (realitas semu). Para pelaku cyber sex, tidak mampu lagi membedakan kebenaran kenyataaan dan kebenaran semu. Mereka terjebak dalam kehidupan sosial baru dalam dunia cyber, dunia sosial yang pasrah menerima pelampiasan sebesar apapaun hasrat yang ingin ditumpahkan para pelaku cyber sex. Dari kondisi ini bisa dikatakan bahwa manusia berada dalam perbudakan teknologi. Teknologi yang diciptakan untuk membantu manusia, justru berbalik memperbudak manusia sebagai penciptanya.

Siapa yang diuntungkan dari industrialisasi seks ini? Tentunya adalah para cukong kapitalis, yang sudah menjadikan uang sebagai tuhan mereka di bumi, para pemburu dolar yang menghalalkan segala cara, termasuk mengkomersialkan seksualitas. Sejatinya seksualitas adalah sesuatu yang suci, sakral. Namun, industriawan seks membelokkan hal yang suci itu menjadi barang dagangan yang dapat dihitung dengan recehan rupiah. Kita sebagai konsumen situs porno, tidak diuntungkan sepeserpun atas komersialiasi selangkangan ini. Kita hanya objek dari lalulintas ”orgasmaya” Terkait orgasme di dunia maya ini, penyair Hasan Aspahani memberi nama orgasmaya.

Atas dasar premis-premis di atas, pemerintah memasukkan larangan penyebaran konten melanggar kesusilaan pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pasal 27 ayat 1 UU ITE berbunyi :Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. Apa artinya bahwa ketika kita dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan konten (baik lewat internet, handphone, media elektronik lainnya) yang melanggar kesusilaan, maka kita akan dikenakan ancaman pidana Pasal 45 ayat (1) UU ITE yakni dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pemerintah berkeyakinan bahwa risiko yang harus dihadapi pelaku cyber sex bukan langsung dari cyber-nya tapi dari efek-efek sosial yang ditimbulkannya. Pertama, seperti telah diungkapkan di atas, risiko kehilangan sentuhan dunia nyata, asosial karena lebih menyukai dunia yang unreal, realita semu daripada kenyataan sesungguhnya. Pemerintah berharap bahwa cyber culture dan cyber sex tidak memasung rasionalitas kita. Pemerintah yakin bahwa teknologi informasi dan komunikasi lebih banyak mendatangkan manfaat ketimbang mudaratnya, bila dikelola dengan baik. Pengaturan larangan penyebaran informasi elektronik ke dalam salah satu ketentuan UU ITE, adalah salah satu langkah untuk memaksimalkan benefit teknologi informasi dan komunikasi.

Bayangkan berapa bandwith yang kita hemat, jika semakin sedikit dari kita yang mengakses situ XXX. Lalu lintas internet kita menjadi lancar, kita bisa mengupload konten-konten lokal secara lebih cepat. Kita beralih dari generasi downloader menjadi generasi uploader, baik lewat media blog, milis, wikipedia, atau youtube. Pemerintah percaya bahwa pengaturan atas ”pornografi” di dunia cyber, bukan untuk memasung kebebasan berkespresi warga negara yang dijamin oleh konstitusi kita. Kita bisa membayangkan betapa dekadensi moral akan lebih cepat terjadi pada generasi kita, bila pemerintah sebagai regulator membiarkan para cukong kapitalis berbulu porno meraja dan melela di dunia cyber. Pemerintah tentu sangat berapresiasi terhadap beberapa situs dewasa dalam negeri yang telah ”menutup” situsnya, setelah UU ITE disahkan. Pemerintah juga berharap situs-situs sejenis yang masih online untuk mengikuti jejak ini. Termasuk forum-forum milis yang masih menjadikan ”sekitar wilayah dada” sebagai tema utama, diminta dengan sangat untuk segera cabut dari ”wilayah cyber”.

Tentu pemerintah bukanlah penjaga moral. Kita semua adalah penjaga moral. Namun upaya pemerintah mengatur pemanfataan teknologi informasi dan komunikasi, termasuk dengan mengatur pornografi online, patut didukung semua pihak. Kita tentu tak ingin anak-anak kita menjadi korban budaya cyber sex, yang membuat mereka teralienasi dari dunia nyata. Kita tak ingin generasi muda kita menghabiskan waktu dengan aktfitas pencapaian orgasmaya yang menjauhkan diri mereka dari lingkungan sosial mereka. Karenanya, pengaturan pornografi online dalam UU ITE menjadi keniscayaan, sebuah hipotesis yang diharapkan bisa diterima oleh semua kita. Karena masih merupakan hipotesis dan bukan aksioma, tentu pemerintah tetap menerima berbagai masukan atas soal ini. Kebenaran bukanlah monopoli pemerintah, karenanya upaya penyempurnaan atas materi-materi cyber law Indonesia selanjutnya, menjadi tanggung jawab kita bersama.

Salam,

Ferdinandus Setu

Menghitung Waktu

Pasangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla memasuki tahun keempat masa kepemimpinan mereka. Mereka tinggal menghitung waktu untuk segera mengakhiri periode leadership mereka pada bulan September 2009 tahun depan.

Sebelum mengakhiri masa jabatan mereka, SBY dan JK telah mengakrabi dan bergelut dengan hari-hari panjang. Tak lama setelah terpilih sebagai Presiden dan Wapres pada September 2004, SBY dan JK dikejutkan dan dikagetkan dengan gempa dan tsunami yang menghantam Aceh dan Nias. Lalu kita ingat, bencana yang mendera negeri ini tak berhenti di situ. Berturut-turut gempa bumi meremuk-redamkan Daerah Yogyakarta dan sekitarnya. Lalu bencana lumpur di Sidoarjo yang sampai saat ini belum berhasil diatasi juga.

Tak dapat dimungkiri bahwa ada banyak kisah yang telah ditulis SBY dan JK, juga kita sepanjang kurang deari empat tahun terahkir, rupa-rupa gambaran yang kita desain. Kisah dan gambaran itu menjadi hal yang berharga ketika kita memasuki sebuah babak baru kehidupan kita pada periode kepemimpinan 2009-2014 mendatang.
Ditinjau dari aspek kontinuitas, ada hal-hal positif yang mau kita teruskan dan pertahankan. Sesuatu yang positif itu bisa berupa pola laku dan sikap kita di rumah, kantor, dan dalam hidup bermasyarakat. Bisa juga kinerja dan tanggung jawab kita terhadap kepercayaan yang didaulatkan oleh orang lain, komitmen populis kita terhadap jabatan publik yang kita emban. Apa yang menurut kita sukses pada masa kepemimpinan SBY-JK ini sebaiknya terus dipertahankan dan ditingkatkan di waktu yang tersisa. Dalam aspek diskontinuitas, dengan pergantian kepemimpinan nanti, ada hal-hal tertentu yang harus dilupakan dan ditanggalkan dari memori kita. Hal-hal yang cenderung berusaha untuk dilupakan itu seperti pengalaman yang menyakitkan, penderitaan hidup, kisah tragis. Pertanyaan untuk kita; apakah kita boleh melupakan segala hal di tahun yang lama demi sesuatu yang baru?

Kita bertanya, apakah SBY dan JK telah melakukan sesuatu pada rentang waktu 2004-2008 sekarang ini? Beberapa yang membekas di memori kita adalah prestasi SBY menaikkan gaji pegawai negeri sipil, beberapa kasus korupsi sudah terungkap (meski masih lebih banyak kejahatan kerah putih itu yang belum disentuh dan diusut), dan beberapa tindakan politik lainnya yang sudah sewajarnya memang harus dilakukan oleh SBY dan JK.

Telah empat tahun SBY dan JK berkuasa, berkuasa mengatur waktu untuk memimpin negeri ini. Tinggal setahun, waktu mereke tersisa. Karenanya, kita berharap SBY dan JK bisa memiliki manajemen waktu.

Apat itu manajemen waktu? Secara filosofis, manajemen waktu terkonsep dalam dua perspektif ini. Pertama, waktu dalam pengertian kronos. Dalam perspektif ini waktu adalah peralihan hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan dan tahun demi tahun. waktu dalam perspektif ini adalah waktu fisik yang terus bergulir, yang kita alami dan rasakan setiap saat. Kedua, waktu dalam perspektif khairos. Ini berarti waktu dilihat sebagai peluang yang membawa keselamatan, saat yang menyelamatkan. Waktu dalam perspektif ini adalah waktu yang berdaya mesianis, waktu yang berdaya transformis.

Menjalankan kepemimpinan dalam waktu sisa setahun SBY dan JK dalam dua perspektif waktu ini. Dalam perspektif kronos, setahun menjadi terasa sangat singkat.. Waktu datang dan pergi tak berbekas . Menjalani perputaran waktu hanya dalam perspektif ini bisa saja membuat hidup menjadi tak terlalu bermakna. Orang-orang bergumul dan bertekuk pada waktu hanya karena hukum dan peraturan.

Waktu yang tersisa ini, harus diselami SBY dan JK sebagai saat khronos, saat yang menyelamatkan. Dengan waktu yang tersisa ini, waktu mesti dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh SBY dan JK bagi kemaslahatan hidup banyak orang. Sudah saatnya SBY dan JK mentransformasi waktu menjadi kesempatan yang menyelamatkan, waktu yang berdaya mesianis untuk melayani rakyat Indonesia. Waktu dalam perspektif kronos akan menjadi sia-sia, jika SBY dan JK menggunakan waktu tersisa untuk berkonsolidasi demi kepentingan politik kekuasaan semata, guna mempertahankan kekuasaan semata. Saya percaya bahwa SBY dan JK memanfaatkan waktu setahun yang sisa ini untuk mengayomi masyrakat, mengangkat harkat hidup orang banyak, amanah kekuasaan itu akan datang mendekat. Kebijakan menaikkan Bahan Bakar Minyak yang terlalu dibiarkan berlama-lama justru dimanfaatkan para spekulan untuk menimbun BBM. Waktu setahun bisa menjadi kekuatan SBY dan JK untuk menarik kembali kepercayaan masyarakat yang sudah mulai menipis. Asalkan, SBY dan JK menjalankan waktu sebagai konsep kayros, bukan waktu dalam konsep kronos.

Salam,
Ferdinandus Setu

Membela Axis

Bertubi-tubi SMS maut itu menyerbu handphone saya pada Jumat, 9 Mei 2008. Dengan varian teks, yang intinya idalah : ”Tolong dingat-ingat baik, kalau ada telepon dari nomor 0866 atau 0666, jangan diangkat, karena bisa menelan jiwa, har ini sudah disiarkan di berita, telah ada korban di Jakarta dan Batam. Sekarang masih diusut keplolisian, dugaan sementara kasus pembunuhan jarak jauh melalui handphone”. Masih ada terusan dari SMS yang sama.

Seminggu sebelumnya, saya menerima SMS dari sahabat saya, yang intinya meminta saya jangan membeli dan/atau memakai kartu Axis, karena Axis adalah kartu setan.Axis kalau dibalik jadi Six-A. Seluruh tarif Axis menggunakan angka 6. SMS ke seluruh operator Rp 60, telepon ke sesama Axis Rp 60 dan Telpon antar operator Rp 600. Katanya kalau angka itu digabung menjadi angka 666, yang menurut kepercayaan diyakini sebagai angka setan atau lambang Anti Kristus.

Kepada sahabat yang mengirim SMS tersebut, saya membalas : Kawan, kalau ini sebagai joke, saya terima dan saya akan tertawa, tapi kalau dianggap sebagai berita benar, maka kita sudah dibodohin.
Siapa Diuntungkan?
Kita tentu bertanya, siapa yang kira-kira diuntungkan dengan penyebaran SMS seperti ini? Yang jelas, yang pertama-taman menangguk laba dari SMS berantai adalah operator telekomunikasi yang sudah eksist (bukan Axis). SMS dengan 400 karakter tersebut akan menguras pulsa setidaknya Rp 300 setiap kali pengiriman. Pengguna telpon selular saat ini, dilaporkan setidaknya sudah mencapai 90 juta. Jika setengahnya saja melakukan aksi pengiriman pesan singkat berantai, kita hitung saja berapa kentungan yang dirah operator selular? Axis dintungkan? Bisa ya bisa tidak. Jika teori underdog effect yang terjadi, maka Axis akan mendapatkan simpati masyarakat, sehingga masyarakat akan terdorong hatinya untuk membeli dan menggunakan kartu Axis. Namun jika terjadi sebaliknya, maka Axis sebagai GSM pemula akan dijauhkan dari calon konsumen.

Siapa Penyebar SMS? Kita belum mengetahui secara pasti siapa penyebar SMS Teror itu untuk pertama kalinya. Apakah operator telekomunikasi yang telah eksist yang melakukan karena alasan persaingan? Ataukah pihak Axis sendiri untuk mendongkrak nilai jual merek mereka. Jika hal itu dilakukan oleh operator telekomunikasi lain, kita tentu sangat menyayangkan hal ini. Praktik persaingan adalah sah selama masih dilakukan dalam koridor yang sehat dan legal. Tapi jika praktik persaingan seperti ini yang diciptakan, tentu sangat disesalkan. Kalau Axis sendiri yang melakukan penyebaran SMS berantai itu, maka kita sangat mengutuk cara-cara curang seperti ini. Mendongkrak merek tidak perlu dilakukan dengan cara-carab ”hitam” seperti ini, cara-cara yang dapat menciptakan keresahan masyarakat. Tapi sekali lagi, kita belum mengetahui pasti siapa penyebar awal SMS tersebut. Kita menunggu upaya pihak kepolisian untuk mengungkap peristiwan ini. Bukankan Undang-Undang No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik telah menjadikan SMS sebagai salah satu jenis informasi dan/atau dokumen elektronik yang dapat dijadikan alat bukti dalam proses hukum? Paling tidak, jika polisi bisa mengungkap siapa the man behind this scenario dan mendapatkan apa motif di balik aksinya, kita segera disadarkan akan arti penting ketaatan hukum dalam pemanfafatan teknologi informasi, termasuk dalam aktivitas berkirim pesan pendek.


Siapa Dibalik Axis?
Axis adalah nama merek atau brand PT Natrindo Telepon Seluler (NTS)).NTS selaku pemegang brand AXIS merupakan operator penyedia layanan seluler GSM dan 3G di Indonesia yang menawarkan layanan komunikasi yang inovatif dan ekonomis. AXIS didukung oleh dua operator terkemuka di Asia: Saudi Telecom Company, penyedia layanan telekomunikasi nasional Arab Saudi; dan Maxis Communications Berhad, penyedia layanan telekomunikasi terbesar di Malaysia. Siapa sajakah para pemegang saham AXIS?Pemegang saham utama AXIS adalah Saudi Telecom Company (51%) dan Maxis Communications (44%) sementara 5% sisanya dimiliki oleh perusahaan local.

GSM Setan?
Axis memiliki tagline GSM Yang Baik. Tapi gara-gara SMS berantai yang disebarkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Kalau Six atau angka 6 dihubungkan dengan angka setan, lalu bagaimana dengan ”SIXAXIS Joystick PS3”, atau album Project Pop SIX-A-SIX yang lagunya memang asyik-asyik itu.
Tapi benarkah nomor prefix (awal) Axis itu 0866 seperti yang disampaikan lewat SMS? "Kita sih melihat ini sebagai hoax saja karena benar-benar nggak mendasar. Bahkan ada yang mengait-ngaitkan dengan 666 theory, padahal nomor Axis sama sekali tidak berhubungan," ujar Anita Avianty, Head of Corporate Communication Natrindo Telepon Seluler saat dihubungi Kamis (8/5) sore Nomor pengguna Axis menggunakan prefix 0838 bukan 0866 atau 0666, seperti dilansir www.kompas.com.
Apa yang harus dilakukan?
Sebagai konsumen, kita tentu tak boleh ditipu begitu saja oleh ulah pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Jika menerima SMS-SMS sejenis, saran saya, jangan lekas dipercaya. Jangan melakukan aksi forward ke nomor handphone orang lain. Bayangkan jika Anda melakukan forward kepada 30 orang saja, sudah berapa rupiah yang Anda kuraskan untuk menyebarkan informasi hoax seperti itu? Jadi sederhana saja tindakan kita. Jika menerima SMS hoax ini, jangan mengirim kembali kepada orang lain. Saya percaya, bahwa jika kita semua melakukan hal ini, pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab tak akan melakukan hal yang sama di waktu mendatang. Tulisan "Membela Axis" ini bukan pesan sponsor. Tulisan ini dibuat untuk mengungkap fenomena sosial yang terjadi di sekitar kita.
Salam,
Ferdinandus Setu

Menggugat Sekolah

Akhir-akhir ini kita dikagetkan, dikejutkan sekaligus disadarkan untuk kembali menggugat konsep sekolah yang telah ada. Bagaimana tidak. Ujian Nasional (UN) yang belakangan ini menjadi program top-down ternyata menciptakan korban tidak sedikit. Banyak sekolah, baik SMP maupun SMU, yang sengaja membentuk tim khusus untuk meningkatkan ”mutu” sekolah mereka dengan cara-cara curang. Beberapa guru dipaksa atau terpaksan mengerjakan terlebih dahulu soal-soal UN sebelum ujian dimulai, lantas kunci jawaban atas soal-soal tersebut disampaikan kepada siswa. Guru dipaksa kepala sekolah. Kepala sekolah dipaksa kepala dinas pendidikan. Kepala dinas pendidikan dipaksa bupati, walikot ataupun gubernur di wilayahnya masing-masing untuk meningkatkan ”mutu” pendidikan. Alhasil segala cara pun dilakukan, termasuk dengan cara curang sekalipun. Sekolah akan mendapatkan citra buruk jika angka kelulusan di sekolahnya kecil. Hal ini tentu berujung pada ditutupnya sekolah tersebut.
Kompas, Minggu (11/5/08) menurunkan laporan ”perang Gerilya si Umar Bakri”. Kompas menulis : Kekisruhan dalam UN belekangangn mungkin mencerminkan sikap bangsa yang hipokrit. DI satu sisi, pemerintah ngotot mematok standar kelulusan sebagai cermin peningkatan mutu. Saat bersamaan, standar itu dicapai dengan berbagai tipu muslihat, trik, artau lewat perang gerilya yang melibatkan para guru. Laporan pada section ”kehidupan” itu benar-benar membuka mata kita untuk melakukan redefinisi atas konsep sekolah yang ada.


Redefinisi Sekolah
Banyak kebodohan tidak selalu dibawa sejak lahir tetapi seringkali diciptakan orang setelah dilahirkan ke dunia. Kebodohan yang sama kerap dilestarikan setelah orang menjadi dewasa dan hidup di tengah masyarakatnya. Untuk itu, mengupayakan kecerdasan merupakan kondisi mutlak demi humanisasi. Seorang pakar pendidikan, M. J. Lengeveld menilai bahwa pada prinsipnya manusia adalah makhluk yang dapat dididik (animal educabile), makhluk yang harus dididik (animal educandum), makhluk yang dapat dan harus dididik dan sekaligus mendidik (homo educandus).

Hampir selama 30 tahun siswa SD sampai SMU tidak mengalami pendidikan yang sungguh membebaskan, tetapi justru pemaksaan dan pemasungan kebebasan berpikir para siswa. Hal ini terutama karena pendidikan di Indonesia telah lama digunakan sebagai alat politik penguasa untuk tetap melanggengkan kekuasannya dengan dalih kesatuan dan nasionalisme (Suparno, 2001:150).

Kecemasan akan masa depan pendidikan sudah berkali-kali dinyatakan oleh para pemikir pendidikan. Sinisme, satire, dan kredo yang berjuang menyingkap selubung praktik-praktik kotor pendidikan muncul tanpa henti: deschooling society (masyarakat bebas dari sekolah) dari Ivan Illich, the end of school menurut Everett Reimer, pedagogy of the oppressed dalam pandangan Paulo Freire dan the end of education menurut Neil Postman.

Neil Postman sebagai seorang pedagog dalam bukunya The End of Education (Kematian Pendidikan) menyatakan bahwa pendidikan di sekolah bisa jadi sangat konservatif, terutama ketika sekolah lebih banyak berperan sebagai tembok pembatas daripada ruang yang lapang untuk pergerakan pikiran. Proses pendidikan di sekolah tampak sebagai sosok yang tidak mengenal belas kasihan. Pendidikan, demikian Postman, juga lebih banyak mengajarkan ketidakberdayaan (Postman, 2001: viii). Sekolah, menurutnya, telah kehilangan maknanya sebagai wahana pendewasaan bagi seluruh penghuni di dalamnya dan otoritas-otoritas yang bersinggungan dengan keberadaannya.
”Apa bedanya sekolah dengan penjara jika ruang-ruang kelas bagi siswa lebih mirip kerangkeng-kerangkeng; pintu yang tertutup ketika pelajaran berlangsung sehingga siswa kehilangan cakrwala optik alternatif; bangku-bangku memaku tubuh para siswa supaya tidak sedikitpun bergerak; dan tentu saja guru-guru yang berperan mirip sipir penjara, marah jika dikritik, menolak jika ada usulan, membentak jika ada kesalahan dan memukul ketika ada yang dirasakannya pantas dipukul,” demikian Postman.

Secara lebih spesifik, ada tiga sasaran emansipatorik dalam pendidikan, yaitu mengantar peserta didik menjadi: pertama, manusia eksplorator yang suka mencari, bertanya, berpetualang, dengan bertolak dari keyakinan bahwa manusia yang bertanya jauh lebih tinggi tingkatnya dibandingkan dengan yang hanya pintar menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sudah ada. Kedua, manusia kreatif, pembaru, berjiwa terbuka dan merdeka, kritis, kaya imajinasi dan fantasi, tidak mudah menyerah pada nasib. Ketiga, manusia integral yang paham dan sadar akan multidimensional kehidupan, paham akan kemungkinan jalan-cara alternatif, pandai membuat pilihan yang benar atas dasar pertimbangan yang benar, yakin akan pluralitas kehidupan sekaligus mampu mengintegrasikannya ke dalam suatu keranga pengertian dan perilaku yang sederhana (Supratiknya, 1999: 273).

Apa yang harus dilakukan?
Sekolah-sekolah kita dewasa ini membutuhkan redefinisi atas peran dan fungsinya. Menggagas redefinisi sekolah berarti: pertama, - mengutip pemikiran John Dewey, bapak pendidikan demokratis modern Amerika – para murid harus diajak melihat dan memahami kebenaran sebagai alat bagi manusia untuk memecahkan berbagai persoalan kehidupan. Pendidikan harus berubah sesuai dengan perubahan masalah yang dialami masyarakat. Dewey menolak keras metode pengajaran otoriter dan yang menekankan hafalan karena ini berarti para murid tidak diberi kesempatan untuk menyelidiki dan menemukan kebenaran. Kedua, metode pembelajaran perlu dibenahi lagi supaya lebih dialogis. Guru dan siswa saling belajar membangun pengetahuan dan mengusahakan sistem pembelajaran yang lebih demokratis.

Ketiga, perlu diusahakan kejujuran dalam pencarian pengetahuan. Persoalan menyontek, menyuap guru untuk menaikkan nilai dan memanipulasi nilai siswa, jual beli ijazah, pemakaian gelar akademik palsu, harus diberantas dengan tegas. Keempat, policy pendidikan harus lebih otonom dan bukan sentralisasi ketat. Penyeragaman kurikulum hanyalah kamuflase dari penipuan dan kelicikan sepihak, malah membebani pelaku pendidikan di daerah-daerah.Policy UN adalah salah satu contoh nyata betapa policy pendidikan di negeri ini cenderung sentralistik. Pemerintah Pusat terlalu mendaulat dirinya sebagai ”sang maha tahu” yang berhak mendikte seluruh komponen bangsa.

Kelima, fungsi guru tetap penting. Karena itu perlu guru yang kritis, yang terbuka terhadap kritikan dan yang kritis terhadap setiap aturan dari atas. Keenam, perlu ditingkatkan pendidikan nilai (humaniora), pendidikan budi pekerti demi penanaman nilai-nilai luhur kehidupan. Ketujuh, menurut John Dewey, sekolah sebaiknya tidak diasingkan dari masyarakat, sehingga para siswa dapat belajar dari masyarakat dan sebaliknya masyarakat sekitar dapat diikutsertakan dalam menghidupi dan membangun sekolah. Masyarakat adalah sekolah yang sejati. Melalui interaksi dengannya peserta didik dapat diarahkan untuk menjadi anggota masyarakat yang baik dan bertanggung jawab.

Kedelapan: orang tua adalah pendidik yang pertama dan utama. Keluarga adalah sekolah yang pertama. Karena itu fenomena home scholling yang belakangan ini tumbuh menjamur patut diapreasiasi sebagai tanggung jawab keluarga atas proses pendidikan buah hatinya.

Saya teringat proverbia Latin: Non scholae sed vitae discmus. Kita belajar bukan untuk sekolah tapi unttuk hidup. Artinya bahwa nilai yang kita raih, angka yang kita dapat, prestasi yang kita capai di bangku sekolah bukanlah yang utama, sebab yang paling penting adalah bagaimana kita menimba sebanyak-banyak sari kehidupan dari sekolah untuk bekala perjalanan hidup kita.

Membahas sekolah, saya juga teringat satu ungkapan klasik yang cukup membekas di hati : setiap orang adalah guru, setiap tempat adalah sekolah, dan setiap aktivitas kita adalah belajar.

Menatap Perssik

Beberapa pekan lalu, Dewi Perssik, penyanyi dangdut yang terkenal dengan goyang gergajinya itu dilarang ’manggung’ di wilayah Tanggerang. Larangan itu disampaikan langsung oleh sang wali kota Tangerang : Wahidin Halim. Kontroversi pun merebak. Ada pro dan kontra atas larangan sang pemimpin kota tangerang tersebut. Bagi pihak yang pro Walikota, berpendapat bahwa performance sang biduanita Dewi Perssik sudah kelewat batas, sudah terlalu vulgar, dan sudah selayaknya dicekal, sudah selayaknya disensor. Sedangkan pihak yang kontra dengan Walikota, berargumen bahwa tindakan walikota berlebihan, Dewi Perssik tidak bisa disalahkan, dia hanya menjalankan profesinya sebagai penyanyi dangdut. Eksistensinya diakui oleh konstitusi. Dalil : ”setiap orang bebas memilih pekerjaan” (termasuk pekerjaan sebagai penyanyi dangdut) sebagai salah satu butir hak asasi manusia pun disampaikan.

Ada juga pihak yang pro Dewi Perssik yang berpendapat bahwa
“goyangan Dewi” itu menyehatkan. Bukan tidak mungkin goyangan ngebor itu bisa menguatkan otot pinggang dan melangsingkan tubuh. Secara klinis boleh diamini. Apalagi untuk saat ini kita hampir sulit menemukan batas demarkasi antara bergoyang (dangdut, disko, triping) dengan olahraga. Karena “orang” sering berolahraga dengan bergoyang/menari. Bila secara klinis hal ini merupakan sebuah anjuran, kita pun bertanya: apakah secara etis goyang gergaji ala Dewi Perssik’ masih termasuk kategori sehat? Mari kita sedikit membedah fenomena Dewi Perssik ini dengan pisau analisis filsafat dan hukum.

Boleh dikatakan bahwa fenomena ini adalah setitik hitam dari kekelaman sejarah inferioritas kaum hawa. Ada berbagai media massa dan media elektronik yang mengeksploitasi tubuh perempuan. Walau ditampilkan dengan berbagai alasan hingga dengan dalih yang begitu human sekalipun, namun secara etis moral patutlah dipertanyakan. Patut diingat bahwa suatu tindakan akan bernilai etis atau tidak tergantung pada ada atau tidaknya pribadi lain yang menyaksikan dan menilai. Di dalam kamar seorang diri kita dapat duduk dengan berbagai posisi. Namun hal yang sama tidak dapat dibuat dalam kendaraan umum. Yang melakukannya akan dinilai tidak etis. Demikian pun goyang gergaji ala Perssik menjadi soal ketika ia berani mengeksplorasi tubuh dalam gerakan dan goyangan mautnya yang menggoda di hadapan massa. Memperdebatkan Dewi Perssik memang tidak habisnya, apalagi soal goyangnya. Namun, atas peristiwa seperti ini sebuah proses dan tindak pemaknaan sudah semestinya dibuat demi menyelamatkan generasi masa kini dan mungkin bagi generasi pasca-Perssik.

Setiap hari kita membaca di surat kabar atau mendengar siara televisi mengenai tindak kriminal pemerkosaan dengan berbagai sebab. Mungkin tidak sedikit yang terpaksa harus “didiamkan” karena berbagai alasan. Yang selalu menjadi korban pemerkosaan tentulah kaum perempuan. Sulit memang memungkiri hal ini. Namun, pada tataran ini kita berusaha untuk selalu melihat setiap kemungkinan yang bisa menyebabkan terjadinya perkosaan.

Dari dulu masalah pelecehan seksual terhadap kaum perempuan sudah ada. Hanya saja karena perkembangan media massa, maka baru bisa dipublikasikan dan ditonjolkan saat ini. Perempuan selalu dipandang sebagai objek seksual pria. Hal ini menjadi suatu ekses bila kaum perempuan sendiri yang menciptakan kemungkinan bagi terjadinya tindak perkosaan. Seperti dengan mengenakan pakaian yang super mini atau membuat gerakan yang merangsang dan menggoda lawan jenisnya.

Acapkali justru kaum perempuanlah yang dianggap mengundang pria untuk menggoda, sebagaimana goyang gergajinya Dewi Perssik, atau goyang patah-patahnya Anissa Bahar. Perempuan yang mengenakan baju seksi dan bergaya ala artis Barat sering dibilang menggoda. Ternyata, merupakan hak kaum perempuan untuk mengenakan apa yang dikehendaki. Hak kaum perempuan untuk menonjolkan segi feminisnya. Namun haruslah selalu diingat ada hak ada pula risiko. Memang ada pria yang mengatakan bahwa ia terangsang karena si perempuan mengenakan baju yang seksi atau rok mini atau gerakan-gerakan tertentu. Terangsang boleh-boleh saja. Tetapi manusia bukan binatang yang langsung kawin begitu mengenal birahi. Ada norma-norma yang harus ditaati. Namun apakah saat kadar ketergodaan dan rangsangan itu datang, orang masih bisa mengendalikan diri dan mengontrol emosi?

Ketika Dewi Perssik mengguncang pangung dengan goyangan mautnya, mungkin tak disadari bahwa ribuan pasang mata menyaksikan aksinya. Pada saat ini terjadilah momen tatapan. Jean Paul Sartre seorang filsuf eksistensialis jauh-jauh hari telah menelorkan sebuah teori yang disebut Teori Tatapan Mata. Saya menatap orang lain dan saya berusaha untuk tidak ditatap olehnya. Namun orang lain juga sama halnya. Ia menatap saya dan berusaha supaya tidak saya tatap. Jadi saya berusaha menatap tanpa ditatap oleh orang lain. Dan orang lain juga berbuat hal yang sama. Yang terjadi adalah bahwa saya dan orang lain itu mau saling mengobyekkan. Saya menjadikan dia obyek saya, dengan demikian dia juga berusaha mengobyekkan saya. Saya sebagai subyek akan berusaha menjadikan orang lain sebagai obyek tatapanku. Di dalamnya terjadi aksi saling mengobyekkan. Namun saya tidak mau menjadi obyek, maka saya akan memperlakukan orang lain sebagai obyek melulu dengan cara apapun.

Dalam kasus Dewi Perssik, menjadi jelas bahwa ia adalah obyek tatapan ribuan masang mata, dan lebih dari itu ia dipandang sebagai obyek seksual yang pelampiasannya bisa saja pada sesamanya yang lain, yang mungkin inosens namun karena adanya adalah seorang perempuan. Situasi diperparah katika orang yang diperlakukan sebagai obyek tidak menyadarinya bahkan apatis demi kepentingan lain seperti reputasi, prestise dan tentu saja duit. Dewi Perssik adalah korban tatapan. Tatapan mengobyekkan perempuan merupakan sebuah bentuk perendahan fitrah dirinya. Fenomena Dewi Perssik adalah sebuah representasi dari begitu banyak perempuan yang menjadi korban tatapan, yang menjadi obyek kaum lelaki. Ketika kita berbicara tentang perempuan di titik nol, maka menjadi jelas bahwa titik nol adalah situasi pengobyekkan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan. dan tubuhnya dijadikan obyek eksploitasi demi hiburan, bisnis, kesenangan lelaki. Perempuan seringkali tidak berani menatap ketika lelaki menatapnya. Pada titik inilah ia sebenarnya melegalkan status inferior dirinya sebagai obyek dalam konstruksi kultur dan pemikiran lelaki.
Senada dengan hal ini, relasi subyek-obyek juga menjadi salah satu pokok pemikiran Martin Buber. Menurutnya, relasi yang melihat orang lain sebagai obyek semata adalah sebuah relasi berpola Ich-Es atau I-It. Dalam relasi ini selalu ada upaya untuk memiliki, memonopoli, mengeksperimentasi pihak lain sebagai barang atau benda. Erich Formm, membahasakan hal ini sebagai modus memiliki (having). Perempuan belum menjadi dirinya sendiri (being). Ia justru baru menjadi berada ketika ditentukan oleh pihak lain atau oleh kepemilikan orang lain.
Di lain pihak, ketika kita terlibat dalam aksi saling tatap, sadarkah kita bahwa kita sedang diobyekkan pihak lain? Sulit memang menilai hal semacam ini, ketika kita selalu melihat sesuatu berdasarkan pemahaman diri subyektif. Namun, fakta serupa ini jelas ada. Dalam aksi goyang gergaji Dewi Perssik, kita boleh jadi telah menjadi obyek tatapannya. Kita begitu luluh lantak di hadapan sorot matanya. Inilah situasi obyektivitas diri kita. Kita begitu pasrah menuruti emosi dan mungkin naluri. Ratio kita menjadi kurang aktif, ungkapan-ungkapan perasaan sulit dikendalikan, kita menjadi seperti orang mabuk, sulit membedakan mana yang layak dan mana yang tidak layak, yang baik dan yang buruk, mengikuti segala gerak dan apa yang dikatakannya, apalagi kalau sampai mengidolakan Mantan Istri Saiful Jamil tersebut menguasai kita, pun kalau pikiran kita cuma terisi olehnya, kita terbelenggu dalam pengaruhnya. Dia adalah subyek, bukan lagi obyek. Kita tidak mampu menjadi seperti orang lain, seperti Dewi Perssik, bergaya, bergoyang seperti Dewi Perssik. Kita membiarkan diri dibentuk oleh orang lain. Artinya orang lain menguasai kita, memiliki kita. Dewi Perssik telah memiliki kita kalau dirinya menjadi tujuan dan orientasi hidup kita. Dewi Perssik, sebuah paradoks tatapan kita.
Tatapan saya, tatapan kita telah mendatangkan kegelisahan dan kecemasan ketika benturan relasi subyek-obyek tidak dapat dihindari. Kegelisahan mendalam itu berlanjut saat kesadaran setiap kita dibenturkan pada fenomen kematian realitas budaya. Budaya kita mulai permisif, yang menerima semua pengaruh baru atau pengaruh dari luar tanpa filter. Kaum futurolog telah meramalkan kondisi seperti ini sebagai hasil modernitas, ketika ia berkembang terlampau pesat. John Naisbitt menempatkan manusia modern dalam zona yang ditandai oleh adanya hubungan yang rumit dan sering bertentangan antara teknologi dan upaya manusia mencari makna hidupnya.
Dalam bukunya High Tech High Touch, ia menuliskan beberapa gejala manusia mabuk teknologi, seperti lebih suka menyelesaikan masalah secara kilat, mengaburkan perbedaan antara yang nyata dan yang semu, menerima kekerasan akibat teknologi sebagai suatu yang wajar, menjadi hidup yang berjarak. Sadar atau tidak, kita semua tengah digiring ke sebuah situasi mabuk teknologi. Banyak di antara kita yang telah menjadi korban teknologi. Kita menjadi seperti orang mabuk karena teknologi. Teknologi dan modernitas telah memposisikan kita sebagai hamba saat kita menjadikan mereka sebagai orientasi dan tujuan hidup (means), bukannya sebagai sarana (tools) untuk mencapai tujuan hidup itu sendiri. Teknologi telah memperalat manusia dan menjadikannya teralienasi dengan diri, sesama dan lingkungannya. Perkembangan individu dipengaruhi oleh kemajuan dunia elektronik seperti televisi, VCD, internet, yang telah banyak mengeksploitasi tubuh perempuan untuk kepentingan bisnis. Kekerasan terhadap perempuan ditampilkan secara transparan. Ada pemerkosaan yang justru berawal dari menonton blue film yang kini banyak dijual kepingan-kepingan CD-nya secara bebas di lorong-lorong kota tanpa pengawasan yang ketat. Kita adalah korban teknologi ketika tatapan kita selalu mengandung upaya pelampiasan nafsu birahi tanpa sebuah pengendalian yang sehat. Fenomena Dewi Perssik bisa menjadikan kita korban teknologi, korban tatapan.

Lalu salahkan Walikota Tangerang mencekal Dewi Perssik untuk tampil di wilayahnya. Tentu tidak, seara hukum, Kota Tanggerang telah memiliki Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur kesusilaan. Tentu larangan sang walikota tidak hanya ditujukan kepada Dewi Perssik seorang. Bahasa hukum adalah generalis. ”setiap orang dilarang bla bla bla....” atau ”barang siapa yang.....”. Tentu Walikota Tangerang tak ada persoalan pribadi dengan seorang Dewi Perssik. Persoalan goyangan maut Dewi Perssik adalah persoalan hukum, persoalan etika, persoalan moral, yang tentu memerlukan jawaban hukum, jawaban etika, jawaban moral juga.


Salam,

Ferdinandus Setu

Melindungi Anak

Anak adalah amanah dan karunia Tuhan yang di dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Anak merupakan tunas bangsa yang memiliki segudang potensi dan akan merupakan generasi muda sebagai penerus cita-cita perjuangan bangsa. Ia mempunyai peran strategis dan ciri serta sifat khusus yang nantinya akan menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara di masa depan. Melindungi anak berarti menjaga bangsa ini tetap eksis. Karenanya persoalan anak menjadi suatu keniscayaan untuk mendapat perhatian kita semua, terutama negara.

Anak bukanlah manusia dalam bentuk kecil, tetapi ia dipandang sebagai manusia yang membutuhkan perlindungan dan penanganan khusus (special safeguard and care), termasuk perlindungan hukum (legal protection), baik setelah maupun sebelum dilahirkan”. Lalu siapakah anak itu? Menurut UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak, yang tergolong anak adalah manusia pada kelompok umur di bawah 18 tahun.

Melindungi anak berarti mehami persoalan anak. Mehami persoalan anak berarti memahami derita anak. Anak-anak Indonesia yang kini tengah menghadapi bahaya penderitaan dapat digolongkan dalam dua “wajah”. Pertama, yakni anak-anak yang menjadi korban (victim), terutama yang disebabkan oleh faktor-faktor kondisi ekonomi, sosial, politik dan kultural. Korban itu sendiri bisa berarti korban kejahatan (victim of crime) juga bisa berarti korban penyalahgunaan kekuasaan (victim of abuse of fower). Kedua, anak-anak “bermasalah” (anak dilinkuen/delinquency child) yang mengalami bahaya pederitaan karena terlibat dalam proses-proses dan perilaku-perilaku yang asosial maupun proses-proses reaksi sosial terhadap perilakunya yang bermasalah itu sendiri, termasuk peradilan pidana yang dihadapinya. Kendati anak-anak bermasalah hakikatnya juga sebagai korban karena ia sebenarnya belum sempurna perkembangan fisik, psikis, dan sosialnya, namun dalam hal ini dipisahkan untuk memperoleh kajian secara lebih mendalam. Bagi anak-anak itu, hari-hari ini adalah hari-hari buruk, suatu masa penderitaan yang rasanya tak berujung, dan tak berlebihan jika ia dikatakan mengalami proses pengorbanan ganda (double victimization). Kasus-kasus masih maraknya eksplotasi anak-anak jalanan (exploitation of street children) seperti pengemisan maupun sebagai subyek physical abuse dan sexually abused, pekerja anak (child labaour), penjualan anak (sale of children), prostitusi anak (child prostitution), keterlibatan dalam lalu lintas obat-obatan terlarang (drug trafficking), dan berbagai bentuk kekerasan yang menciptakan penderitaan anak-anak (violence against children) adalah bukti konkret anak-anak menjadi korban. Meskipun anak-anak dalam kasus-kasus itu tampak menjadi pelaku, tetapi hakikatnya adalah korban, baik korban akibat “disabilitas” (ketidakmampuan) diri, ketidakberdayaan keluarga secara ekonomi, atau karena pandangan kultural yang mensubordinasi anak-anak pada kepentingan di luar kepentingan utama dan pertama bagi anak-anak maupun pengaruh perilaku-perilaku jahat yang muncul dari lingkungan hidupnya yang tidak bisa dihindari dan ditampiknya secara bebas, yang acapkali disebut sebagai child abuse. Semua itu terakumulasi dalam “wajah anak-anak yang menjadi korban”, yang menampilkan kesulitan dan penderitaan untuk sekedar mencapai kelangsungan hidupnya. Krisis ekonomi serta terjadinya tragedi-tragedi kemanusian yang melanda di sejumlah daerah belakangan ini, tentu saja justru makin menggelembungkan angka pengorbanan (viktimisasi) anak-anak di negeri ini. Jangankan krisis ekonomi, ketidakadilan ekonomi (economic injustice) yang telah terjadi di negeri ini pada masa lalu selama lebih tiga dasawarsa telah menciptakan kemiskinan yang memustahilkan pemenuhan kebutuhan yang merupakan hak-hak dasar anak-anak yang hidup dalam lingkaran kemiskinan itu. Berdasarkan data, setidaknya masih terdapat lebih dari 10 juta anak di Indonesia yang tidak memperoleh pendidikan yang memadai, formal maupun non formal. Sehingga besarnya angka anak-nak jalanan dan pekerja anak-anak yang mengais rejeki karena kemiskinannya dan ketidakcukupan alokasi budjet negara memenuhi kebutuhan hak-hak dasar mereka menjadi pemakluman yang sebenarnya tidak dapat dipermaklumkan. Realitas tersebut sekaligus menunjukan kegagalan pemerintah mengambil langkah-langkah yang efektif untuk mencegah dan melindungi anak-anak dari child abuse, ekplotasi dan diskriminasi. Karena itu, agenda politik mengenai perlindungan anak-anak dari praktik-praktik pengorbanan (victimisasi) di samping perlindungan hak-hak anak-anak pada umumnya menjadi urgen dan krusial.

Sementara itu, menyoal anak-anak Indonesia yang tergolong “bermasalah” (delinquent) masih sangat problematis. Persoalan riil yang dihadapi terutama menyangkut aktualisasi dan implementasi prinsip umum bahwa “state shall ensure each child enjoy full rights without discrimination or distinctions of any kind” (negara menjamin setiap anak menikmati hak-haknya secara penuh tanpa diskriminsasi dan perbedaan dalam berbagai bentuk) di samping prinsip bahwa “the child’s best interest shall be a primary consideration in all actions concerning childern” (kepentingan terbaik anak-anak harus dijadikan perimbangan utama dalam segala aksi yang berhubungan dengan anak-anak). Implementasi dari prinsip-prinsip ini masih menjadi slogan belaka, sehingga proses-proses resolusi permasalahan anak-anak acapkali justru melahirkan anak-anak yang makin bermasalah. Contoh sederhana mengenai kasus ini bisa dibuktikan dalam lingkungan lembaga pemasyarakatan anak (Lapas anak). Kesan jorok, kumuh dan lingkungan pembinaan yang kurang mencerminkan “child enjoy full right” masih sangat menonjol. Meskipun anak-anak itu “bermasalah”, namun prinsip-prinsip anti diskriminasi dan anti distingsi, mulai dari proses-proses peradilan sampai pemberian “tindakan” atau “treatment” (penanganan) tidak boleh bertentangan atau mengeliminasi hak-hak anak-anak. Karena anak-anak adalah “a different kind of human beings”, maka praktik-praktik penanganan anak-anak bermasalah yang mencerminkan sifat-sifat yang menderitakan, penyiksaan (torture), kekejaman (cruel), termasuk yang menghinakan (degrading or inhuman) adalah pelanggaran terhadap hak-hak asasi anak-anak. Bahkan sebaliknya, kepentingan terbaik (best interst) anak-anak “bermasalah” itulah yang harus dikedepankan. Oleh karena itu, pendekatan-pendekatan yang sifatnya “distance” (mengambil jarak) terhadap anak-anak bermasalah saatnya ditinggalkan dan menuju pendekatan yang “closeness” yang melihat “kebermasalahan” anak-anak sebagai bentuk penderitaan yang membutuhkan aksi-aksi (bukan reaksi) yang menciptkan hubungan pemberian perhatian secara lebih. Sehingga, bentuk penanganan dan perlindungan kepada anak-anak adalah “special treatment” dan “special protection”, yang memberi ruang-ruang untuk menyalurkan kebebasan untuk berekspresi (freedom of expression), kebebasan untuk berpikir (freedom of thought), mengungkapkan kata hatinya (conscience), maupun keberagamannya. Dunia internasional saat ini meneguhkan suatu era baru pembangunan hak-hak (children’s rights). Hal ini menandai adanya paradigma baru dalam memandang anak-anak dan hak-haknya. Indonesia sebenarnya telah memiliki starting point yang baik dengan meratifikasi Konvensi Hak-hak Anak dan berbagai perundang-undangan yang berorientasi pada penghargaan terhadap hak-hak anak-anak. Karena itu, persoalan yang masih di depan mata adalah justru implementasi pemenuhan dan perlindungan hak-hak anak-anak serta menegakkan dalam setiap terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak itu, baik yang terjadi dalam lingkungan keluarga, masyarakat, maupun kehidupan bernegara sekalipun.

Dalam konteks Konvensi Hak-hak Anak, adalah kuno jika menganggap bahwa orang tua “memiliki” anak-anak mereka secara absolut. Konsep kuno tersebut diganti dengan konsep baru, yakni “orang tua bertanggung jawab untuk melindungi hak-hak anak-anak mereka”. Ingat pesan Kahlil Gibran, sang penyair kondang dari Libanon yang mengatakan bahwa ”anakmu bukanlah milikmu, mereka adalah milik sang hidup, berikanlah rumah untuk raga mereka, tapi bukan untuk jiwa mereka”. Artikel 5 Konvensi Hal Anak menegaskan bahwa “orang tua tidak memiliki hak pada anak-anak mereka, kecuali hak-hak yang secara langsung berhubungan dengan kebutuhan orang tua untuk melindungi hak-hak anak-anak mereka”. Pertanggungjawaban orang tua atas hak-hak anak berkurang ketika anak-anak menginjak dewasa (children mature), yakni saat anak-anak mulai mengerti nilai-nilai, budaya dan norma-norma masyarakat dan mereka mulai berinteraksi atas dasar toleransi, saling menghormati dan solidaritas dalam keluarga dan masyarakat. Konvensi Hak-hak Anak memperkenalkan “keseimbangan” antara hak dan pertanggungjawabannya. Anak-anak memiliki hak untuk: melangsungkan hidupnya (the rights to survival); Perlindungan dari pengaruh, perlakuan dan eksploitasi secara kejam (the rights to protection from harmful influences, abuse and exploitation); Partisipasi secara penuh dalam lingkungan kehidupan keluarga, budaya dan sosial (the rights to participate fully in family, cultural, and social life).

Ketika menulis ikhwal anak ini, saya teringat anak kami, yang saat ini berusia tujuh bulan. Serolf, Anak Kami, adalah generasi TIK, yang ketika lahir, di sekitarnya bersileweran sinyal wi-fi. Ia adalah anak kandung teknologi informasi, sebab ketika ia lahir, berita kelahirannya segera dikabarkan kepada sahabat dan handai taulan lewat media elektronik bernama handphone. Melindungi anak, saat ini, adalah persoalan berat. Sebagai generasi melek internet, anak sekarang cenderung mengalami percepatan kematangam, yang tentunya membutuhkan bimbingan, perhatian, dan teladan orang tua. In


Perlindungan anak adalah tanggung jawab orang tua, juga tanggung jawab negara. Indonesia telah memiliki berbagai perangkat hukum peraturan perundang-undangan yang secara khusus memberikan perlindungan dan penghormatan kepada hak-hak anak. Produk-produk peraturan perundang-undangan dimaksud adalah:
1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak;
2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak;
3. Undang –Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
4. Keputusan Presiden No 36 Tahun 1990 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Anak.

Meski sudah diatur dalam beragam varian produk peraturan perundang-undangan, masih banyak kasus pelanggaran dan kejahatan hak asasi anak terjadi. Peraturan perundang-undangan yang memberikan perlindungan dan penghormatan terhadap anak-anak perlu diikuti dengan tindakan penegakan hukum. Untuk itu, dibutuhkan para penegak hukum, mulai dari hakim, jaksa, dan pengacara yang memahami dan memberikan perhatian yang serius kepada masalah dan kepentingan anak, yang memiliki kepekaan atas kebutuhan anak-anak (sense of child needs).

Selain itu perlu penguatan peran lembaga Komisi Perlindungan Anak Indomnesia (KPAI) yang telah ada saat ini, sehingga benar-benar memberikan perlindungan yang komprehensif terhadap anak-anak Indonesia. Diharapkan KPAI tidak menjadi lembaga di atas kertas semata. Karena itu, pimpinan KPAI diharapkan memiliki sense of child needs.

Ketika saya mengakhiri tulisan ini, anak saya tengah tidur pulas dalam pelukan mama tercintanya. Segera setelah mengakhiri tulisan ini, saya pun mematikan laptop, dan bergabung ke peraduan, mendekap sang buah hati kami, memberikan dia perlindungan. Melindungi anak adalah puncak dari tindakan mencintai anak.

Salam,

Ferdinandus Setu